
Menyimak tanggapan publik atas rencana lockdown adalah membaca persepsi orang terhadap bencana. Banyak yang mengira pandemi ini bukan bagian dari bencana, sehingga menyangka himbauan, instruksi, dan keputusan gubernur DKI Jakarta adalah sikap panik. Termasuk rencana lockdown. Dalam manajemen kebencanaan bencana bisa dilihat sebagai temporal reality, yaitu realitas sementara dimana terdapat awal dan akhir dalam bencana, dimulai dari pencegahan dan mitigasi (sebelum bencana), kemudian tanggap darurat (saat awal bencana dan selama bencana berlangsung), pemulihan dan rehabilitasi (pasca bencana). Realitas sementara ini dikenal juga sebagai siklus bencana. Sehingga keputusan akhir untuk melakukan lockdown sebagai aksi tangap bencana tidaklah datang mendadak atau serampangan tanpa kajian dan data. Beberapa diantaranya lewat himbauan, seruan dalam bentuk nota ke dalam (kedinasan pemda DKI Jakarta) atau keluar (pemangku kepentingan lain).
Disisi lain ketakutan akan kepanikan di pihak publik adalah bentuk respon terhadap realitas yang terjadi, yang dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi, kultural, dan kepercayaan/keimanan. Sehingga realitas spasial bahwa DKI Jakarta adalah episentrum Covid19 dipengaruhi ‘bawah sadar’ yang didominasi oleh latar belakang di atas. Sebagai tambahan, alam bawah sadar ini mendorong orang-orang untuk mencari informasi lewat ‘apa yang mereka percaya’ walaupun jebakan hoaks muncul, sebagai kebisingan dalam membuat keputusan. Bencana pandemi ini juga merepresentasikan keseluruhan kosmos pada satu even luar biasa (outbreak covid19), lebih dalam dari sekedar realitas, namun dihubungkan dengan suasana batin atau psikologi masyarakat. Pemerintah DKI Jakarta pada akhirnya menetapkan keadaan bencana ini sebagai fase tanggap darurat, setelah ditunda beberapa karena permasalahan kewenangan dalam otonomi daerah. Padahal dalam UU Kebencanaan, baik Pemerintah Pusata maupun Pemerintah Daerah memiliki wewenang untuk menentukan situasi bencana yang sedang berlangsung.
Selanjutnya jika terjadi pembangkangan sipil secara antropologis tidak semata-mata disebabkan faktor ekonomi, misalnya penerapan social distancing yang sempat dianggap sebagai ‘kepanikan seorang gubernur’ secara sosial juga dipengaruhi oleh otoritas lain yang lebih tinggi (bisa juga dibaca dominan) seperti Presiden, Mentri, Gubernur daerah lain, bahkan tokoh masyarakat yang meremehkan bencana ini, dengan candaan bahkan celetukan makan nasi kucing, minum jamu, dsb. Atau para akademisi yang panik karena kehilangan ‘momen’ untuk mengatakan kepada otoritas tersebut, bahwa social distancing tidak semata-mata diberlakukan tanpa tahapan, bahkan akan terjadi tahapan yang sifatnya memaksa/represif terhadap orang-orang yang tidak patuh. Sampai pada membatasi secara ketat mobilitas orang, seperti tidak diperkenankan mudik menjelang dan saat puasa nanti, yang dimulai tanggal 24 April 2020.
Secara ruang, penjarakan sosial ini diberlakukan di ruang publik dan angkutan publik, terutama angkutan massal yang memiliki potensi untuk penyebaran virus secara massif. Sebagai episentrum. warga Jakarta diberikan kesempatan untuk belajar, penjarakkan sosial, bekerja di rumah, dan skenario lockdown adalah cara memperhankan diri, bertahan hidup, dan hidup bersama pandemi yang sedang berlangsung. Semoga bencana ini cepat berlalu.
Untuk saran dan masukan silakan ke link berikut: