Gaya Hidup Konsumsi Berkelanjutan

oleh: widhyanto muttaqien

Sekilas Konsumerisme

Konsumerisme, mengonsumsi barang dan jasa lebih dari kebutuhan dasar seseorang. Gelombang pasang konsumtif yang signifikan melanda Eropa dan Amerika Utara pada abad pertengahan ke-18 sebagai akibat dari Revolusi Industri dan transformasi ekonomi Eropa Barat dan Amerika Utara. Mekanisasi sejumlah proses dalam pertanian dan hilangnya penggunaan tenaga kerja manusia dalam persentase tertentu memicu Revolusi Industri dan pertumbuhan penduduk perkotaan (juga perdesaan karena gizi yang baik dan akses terhadap energi yang lebih merata).

Hasil dari industrialisasi menciptakan kondisi produksi massal dan konsumsi massa, untuk pertama kalinya dalam jumlah besar. Barang-barang manufaktur tiba-tiba tersedia untuk semua orang dengan harga luar biasa rendah. Pada abad ke-19, konsumsi mencolok (conspicuous consumption) diperkenalkan oleh ekonom dan sosiolog Thorstein Veblen (1857-1929), dalam buku Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions (1899), untuk menggambarkan perilaku karakteristik orang kaya baru (OKB). Sebuah kelas sosial yang muncul sebagai akibat dari akumulasi modal selama Revolusi Industri Kedua (sekitar tahun 1860-1914).

Perang Dunia II membawa kebutuhan yang kuat untuk melestarikan sumber daya alam, karena akibat perang menyebabkan kelangkaan sumber daya. Perang menyebabkan prioritas penggunaan sumberdaya fokus pada pembuatan senjata penghancur, yang menghacurkan pertanian, menghancurkan sumber pangan, menghancurkan sumber air, menghancurkan sumber energi, menghancurkan peradaban. Walaupun ada persoalan bisnis di balik perang, termasuk dalam bisnis minyak dan pangan.

 

http://www.zejournal.mobi/id/index.php/news/show_detail/8744

Untuk pertama kalinya kampanye untuk pelestarian sumberdaya yang melibatkan warga dilakukan oleh Pemerintah AS. Mereka meluncurkan kampanye besar-besaran mendesak warga untuk menjadi patriotik dengan melestarikan sumber daya, menggunakan kembali dan mendaur ulang, menanam makanan mereka sendiri, dan untuk berbagi. Akibatnya, berhemat menjadi norma baru.

Dalam pengertian lain beberapa penulis, memiliki istilah seperti ‘konsumsi ceroboh’ (profligate consumption), yaitu bentuk konsumsi yang dalam pepatah Indonesia, disebut ‘lebih besar pasak daripada tiang’. Konsumsi ceroboh ini bukan hanya menghinggapi kaum kaya atau OKB, namun juga sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki kekayaan begitu besar. Beberapa kajian kemiskinan di Indonesia memperlihatkan bahwa bentuk-bentuk konsumsi seperti ini mengawetkan kemiskinan menjadi ‘lingkaran setan’ kemiskinan.

Istilah lain terkait konsumerisme adalah Masyarakat Berkelimpahan (1958) oleh ekonom Harvard John Kenneth Galbraith. Buku ini berusaha untuk menguraikan situasi pasca-Perang Dunia II, dimana Amerika Serikat telah menjadi kaya di sektor swasta, tetapi tetap miskin di sektor publik, kurang infrastruktur sosial dan fisik, dan mengabadikan perbedaan pendapatan.

Catatan Galbraith dalam buku ini adalah permintaan barang dan jasa tidak organik. Artinya, tuntutan tidak diciptakan secara internal oleh konsumen. Tuntutan tersebut – makanan, pakaian, dan tempat tinggal – telah dipenuhi untuk sebagian besar orang Amerika. Tuntutan baru yang dibuat oleh pengiklan dan “mesin untuk penciptaan permintaan konsumen” sebagai dampak dari peningkatan belanja konsumen. Konsumsi terus menerus diciptakan dari rasa kepuasan, artinya keinginan adalah hasrat untuk mencapai kepuasan-namun kepuasan dalam hal ini adalah imaji yang diberikan oleh iklan bukan disebabkan kebutuhan.

Sampai saat ini Amerika menghasilkan separuh dari limbah padat di dunia meskipun hanya 5 persen dari populasi dunia (2014).

Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan

Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan adalah penggunaan (baca: konsumsi) barang dan jasa untuk merespon kebutuhan dasar dan memenuhi syarat kehidupan, dengan cara (baca: produksi) meminimalkan penggunaan sumber daya alam, bahan beracun, dan emisi limbah dan polutan selama siklus hidup, sehingga tidak membahayakan kebutuhan generasi mendatang ( Symposium Sustainable Consumption. Oslo, Norway; 19-20 January 1994).

World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) mencatat beberapa hal yang menjadi tantangan pembangunan berkelanjutan, dimana sektor bisnis dapat membantu mengembangkan tingkat yang lebih berkelanjutan dan pola konsumsi.

Dari sisi kompetisi kesempatan ini bagi sektor bisnis membantu konsumen memilih dan menggunakan barang-barang mereka dan layanan secara berkelanjutan. Untuk melakukannya, bisnis harus menciptakan nilai yang berkelanjutan bagi konsumen dengan menyediakan produk dan layanan yang memenuhi fungsional mereka dan kebutuhan emosional – sekarang dan untuk generasi mendatang – sementara menghormati batas lingkungan dan nilai-nilai bersama.

Beberapa isu yang menjadi tantangan bagi sektor bisnis adalah:

1. Pendorong Konsumsi Global

  1. Pertumbuhan cepat populasi global – Penduduk 9 miliar diharapkan pada tahun 2050
  2. Kenaikan kemakmuran global dan terkait konsumsi – kelas menengah global diperkirakan tiga kali lipat pada tahun 2030;
  3. Konsumen berpenghasilan rendah merupakan pasar dari US $ 5.000.000.000.000
  4. Budaya “konsumerisme” di antara kelompok pendapatan yang lebih tinggi, yang jumlahnya terbesar dari sisi pendapatan per kapita global

2. Pola konsumsi global & dampaknya

  1. Ekosistem Bumi – 60% dari jasa ekosistem bumi telah terdegradasi dalam 50 tahun terakhir.
  2. Pasokan energi dan bahan sumber daya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan industri – konsumsi sumber daya alam diperkirakan meningkat hingga 170% dari bio-kapasitas bumi tahun 2040
  3. Sistem sosial manusia dan kesejahteraan – Kesejahteraan manusia tidak selalu bergantung pada tingginya tingkat konsumsi

3. Peran konsumen

  1. Konsumen semakin khawatir tentang isu-isu lingkungan, sosial dan ekonomi, dan semakin bersedia untuk bertindak atas kekhawatiran mereka
  2. Kesediaan Konsumen sering tidak diterjemahkan ke dalam perilaku konsumen yang berkelanjutan karena berbagai faktor -seperti;
    a. ketersediaan,
    b. keterjangkauan,
    c. kemudahan,
    d. kinerja produk,
    e. prioritas yang saling bertentangan,
    f. skeptisisme dan,
    g. kekuatan kebiasaan

4. Peran bisnis

Pengarusutamaan konsumsi berkelanjutan. Kasus bisnis: Bisnis pendekatan untuk konsumsi berkelanjutan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori:

  1. Inovasi – proses bisnis dalam pengembangan produk baru dan peningkatan layanan dan pergeseran bisnis untuk menggabungkan ketentuan yang disepakati yaitu memaksimalkan nilai sosial dan meminimalkan biaya lingkungan sebagai ‘raison d’etre bisnis’ (bottom line)
  2. Pilihan memengaruhi – penggunaan pemasaran dan kampanye peningkatan kesadaran untuk mengaktifkan dan mendorong konsumen untuk memilih dan menggunakan produk yang lebih efisien dan berkelanjutan.
  3. Pilihan penyuntingan – penghapusan “tidak berkelanjutan” produk dan jasa dari pasar dalam kemitraan dengan aktor lain dalam masyarakat.

5. Tantangan ke depan & pilihan untuk perubahan

Untuk dapat mengarahkan gaya hidup yang berkelanjutan berdasarkan keputusan informasi pembelian dan perubahan perilaku, konsumen membutuhkan dukungan dari semua aktor: bisnis, pemerintah dan masyarakat sipil.

  1. Bisnis melihat kebutuhan untuk dialog lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan (seperti konsumen, pengecer, pemasar, pembuat kebijakan, LSM) dan antara perusahaan untuk menentukan produk yang berkelanjutan dan gaya hidup serta merumuskan tanggapan balik untuk ditindaklanjuti
  2. Pemimpin bisnis mesti memiliki kapasitas untuk memilih pola konsumsi yang berkelanjutan dan pemangku kepentingan menyambut kesempatan untuk bekerja bersama bisnis bergerak maju.

Pendekatan di atas adalah pendekatan yamg tetap bertumpu pada kepentingan pasar. Nair (2013) menjelaskan bahwa sumbu utama dalam menyelamatkan Asia, dalam bingkai konsumsi dan produksi berkelanjutan adalah dengan pembatasan terhadap cara-cara pengelolaan lingkungan yang tidak ramah, dengan menghitung biaya kerusakan sumberdaya, emisi, dan jasa lingkungan. Model pelarangan penggunaan jaring pukat, sebenarnya sudah alam diterapkan, namun dalam era pemerintahan Jokowi, penegakkan hukum sungguh-sungguh dilaksanakan. Model pelarangan pembukaan lahan, menggantikannya dengan merestorasi lahan kritis dapat menjadi alternatif bagi pemerintah untuk pengembangan hutan produksi, hutan tanaman industri.

Kedua, dengan menyediakan barang publik dan mengecilkan posisi atau status barang, misalnya dengan memberikan pajak yang besar terhadap mobil yang mengonsumsi bahan bakar besar, memberikan infrastruktur bagi mobil yang ramah lingkungan. Untuk penyediaan barang publik, kasus transformasi di PT. Kereta Api Indonesia, dengan pelayanan Commuter Line nya merupakan contoh bagaimana publik diberikan pilihan yang rasional, menyangkut kecepatan dan ketersediaan jasa transportasi massal.

Konsumen Hijau

Dalam beberapa tahun terakhir, isu-isu lingkungan telah menerima banyak perhatian, mencerminkan meningkatnya perhatian publik dan kesadaran masalah lingkungan. Kampanye berbagai kelompok lingkungan telah menyebarkan pengetahuan dan kesadaran masalah lingkungan. Liputan media pada isu-isu lingkungan telah meningkat secara dramatis. Lingkungan kebijakan juga banyak dipengaruhi oelh protokol internasional, seperti kesepakatan yang dibangun dalam serial Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi.

Ada bukti bahwa sebagian besar pasar Barat telah dipengaruhi oleh perilaku konsumen hijau, yang berarti perilaku yang mencerminkan kepedulian tentang efek dari manufaktur dan konsumsi pada lingkungan alam.

Selain perubahan hukum, selama dekade terakhir banyak perusahaan mulai merasakan dampak dari kekuatan pasar, konsumen telah berubah dari tidak peduli menjadi lebih peduli terhdap lingkungan. Bahkan sekarang, konsumen sering memboikot perilaku yang dihasilkan produsen berdasarkan pelaporan media dan aktivitas kelompok penekan.

Pertanyaan penting dalam melihat pelaku konsumen hijau dapat dilihat dalam daftar pertanyaan sebagai berikut.

  1. Apa yang mendorong konsumen hijau? Apa nilai-nilai, motif, dan keinginan dibalik perilaku konsumen hijau?Apa yang mendorong emosi dan perasaan yang terhubung dengan belanja hijau?
  2. Apakah perilaku konsumen hijau membawa etika, agama dan / atau dimensi spiritual?
  3. Apakah pengetahuan dan pemahaman tentang isu-isu lingkungan dipegang oleh konsumen hijau? Bagaimana pembelajaran terjadi mengenai konsumsi hijau?
  4. Apakah konsumen hijau memiliki profil khas secara sosio-demografis? Apakah perilaku konsumen hijau dapat dikaitkan dengan usia, jenis kelamin, pendapatan, pandangan politik, dll?
  5. Pengaruh apa yang diberikan oleh kelompok sebaya dan jaringan sosial untuk membuat orang berperilaku dalam cara yang ramah lingkungan?
  6. Apakah perilaku konsumen hijau adalah ekspresi dari pilihan gaya hidup tertentu?
  7. Seberapa jauh perilaku konsumen hijau dibentuk oleh iklim budaya yang sedang terjadi?Seberapa jauh perilaku konsumen hijau mengembangkan dampak budaya sendiri?
  8. Apakah perilaku konsumen bagian hijau dari budaya-tanding yang terlepas dari masyarakat yang lebih luas? Apakah konsumen hijau mencerminkan perilaku keterasingan dengan praktik sosial konvensional?

Pustaka

Nair, Chandran. 2013. Consumptionomics. Peran Asia Dalam Menciptakan Model Kapitalisme Baru. Red & White Publishing. ISBN 978-979-1008-69-3

Wagner, Sigmund A. 1997. Understanding Green Consumer Behaviour: A qualitative cognitive approach. ISBN 0-203-75227-9 (Adobe eReader Format). Routledge.

The Business Role Focus Area. 2008. Business Role Focus Area’s Sustainable Consumption & Consumers. ISBN 978-3-940388-30-8. World Business Council for Sustainable Development.

Comments

comments