Genosida Banda: Kejahatan Kemanusiaan Jan Pieterzoon Coen
- 0 Comments
- 30 January 2025

Pengulas: Widhyanto Muttaqien

Buku ini membuka mata kita dengan penjelasan bagaimana cara kolonialisme bekerja. Terdiri dari enam bab, buku ini mengulas tentang masa lalu di kepulauan Nusantara, bagaimana sejarah tentang tindakan, pelaku, dan peristiwa genosida terjadi di Kepulauan Banda. Narasi kolonialisme dibongkar habis oleh penulis, bagaimana sejak awal diskriminasi dilakukan lewat sistem apartheid, penghinaan harga diri (humiliation), dan adu domba politik. Yang terakhir masih menyisakan wacana pembelahan sosial lewat karya antropologi (etnologi) yang ditulis kaum kolonialis sebagai bagian dari justifikasi mereka atas tindakan brutal selama masa penjajahan, termasuk didalamnya stigmatisasi terhadap penduduk asli sebagai malas, bodoh, primitif, pengamuk, dan barbar. Stigmatisasi ini sialnya masih dipercaya sampai detik ini dan dilakukan oleh pemerintah Indonesia yang berdaulat terhadap suku bangsa di Nusantara yang memiliki pandangan dan cara hidup yang berbeda.
Kolonialisme dan pendudukan wilayah masih berlangsung sampai sekarang, genosida merupakan bagian dari ‘rencana’ besar kaum kolonialis, tidak ada genosida tak sengaja, tidak ada pendudukan tanpa perampasan. Genosida yang paling telanjang di milenium kedua dilakukan oleh pemerintah pendudukan Israel dengan semangat zionisme-nya. Genosida ini dicatat oleh sejarah – bahkan masih berlangsung saat tulisan ini ditulis real time. Rasa hormat kepada leluhur di Maluku dikutip penulis “bahaslah sejarah sejak dari benih hingga menjadi pohon, hingga buahnya jatuh dan kemudian menumbuhkan pohon lain – pepatah Maluku“. Pepatah ini berasal dari pepatah Arab, dimana kata sejarah sendiri juga diambil dari bahasa Arab syajaratun, syajarah, serta syajarah an-nasab. Sejarah adalah pohon silsilah. Sejarah memberi penjelasan tentang asal-usul, keturunan, atau silsilah. Dalam bab dua tentang asal-usul orang Banda dijelaskan bahwa sebagian besar sudah memeluk agama Islam, sekurangnya Islam sudah berkembang sejak 1400 Masehi (abad 15). Pembagian wilayah (juga serapan dari bahasa Arab) di Kepulauan Banda dilakukan dengan penyebutan Ulu Lima dan Ulu Siwa (Ulu diambil dari kata Ulil Amri, pemimpin – dari penulis)
Bab tiga menjelaskan bagaimana tindakan kolonial dalam usahanya menduduki Kepulauan Banda, adu domba politik dan strategi pengendalian sosial sepihak oleh otoritas usaha dagang Belanda (VOC) dijelaskan dalam bab ini. Walaupun belum ada istilah kriminalisasi, namun Belanda ingin menjadi penguasa, bukan sekadar berdagang, Ketidaksetujuan pemimpin lokal dianggap sebagai pembangkangan ‘kekuasaan’ terhadap oligarki pertama di dunia ini (VOC). Bab ini menjelaskan bagaimana proses dialektika antara pelaku-pelaku sejarah (historical actors) dalam struktur kebudayaan yang ditinjau ulang oleh penulis. Disini penulis membuka kembali catatan di jaman tersebut dan menafsirkan ulang secara kritis. Data yang diangkat cukup dalam, pengulas melihat ketelitian penulis dalam membuka arsip dan karya penulis sebelumnya dengan telaten. Penggunaan prajurit bayaran Ronin misalnya, dalam pembantaian Banda ini juga disampaikan penulis. Bagaimana sebuah perusahaan dagang bisa memperdaya sebuah aliansi kerajaan di jazirah ini, beserta saudagar lokal yang disebut Orang Kaya dijelaskan gamblang dalam bab ini.
Bab empat masih menyimpan catatan tentang kelindan antara gold, glory, and gospel. Dalam halaman 88 dijelaskan bagaimana Coen digambarkan sebagai Calvinis yang taat, Kompeni adalah alat yang dikirim oleh Tuhan (menurut Coen). Pandangan dunianya adalah kebencian terhadap muslim. Bab ini menggambarkan bagaimana Coen memperdagangkan budak lewat perusahaannya, VOC. Budak tersebut juga digunakan sebagai prajurit perang. Kedatangan besar budak dari Macau juga dijelaskan dalam Bab ini, yang dalam sub bab-nya menggunakan kata ‘penjarahan manusia’, bukan cuma orang Jawa, Bali, namun juga orang Cina di Macau dijadikan budak dengan cara dirampas hak hidupnya.
Bab lima menjelaskan siapa kompeni, bagaimana dinasti Oranye membangun Belanda, perebutan kekuasaan yang didanai dari penjarahan alam dan sumberdaya manusia Nusantara. Masih dilanjutkan dengan gold, glory, and gospel – bab ini menjelaskan bagaimana kolonialisme merupakan kontinuitas dari Perang Salib. Bagaimana Belanda belajar ‘membenci muslim’. Kepulauan Banda dianggap sebagai bagian dari mata rantai peradaban Islam, Jazirah Al Mulk. Di semenanjung Iberia, kemunduran kekhalifahan Islam yang disebut sebagai orang Moor, yang dianggap sebagai tidak beriman (kafir) oleh Portugis dan Spanyol menimbulkan inkuisisi – pembantaian besar-besaran terhadap kaum muslim di semenanjung Iberia (sekarang bagian Portugal, Spanyol, dan sedikit Prancis), beriman kepada Kekristenan atau dibunuh. Coen menggunakan alasan yang sama dalam genosida Banda. Keberhasilan genosida Banda ditutupi dnegan karya etnologi sebagai ‘perang biasa’. Dalam bab ini diungkap saham kompeni VOC pada tahun 1673 jika dikonversikan sekarang adalah 7,5 trilyun Euro. Setara dengan 16 perusahaan multinasional sekarang digabung, termasuk Apple, Google, Unilever. Tesla dll.
Bab terakhir, bicara tentang bagaimana pahlawan Belanda ini dirayakan dalam perayaan 400 tahun VOC pada tahun 2002 (sebelumnya dirayakan pada tahun 1987). Festival VOC dirayakan di Belanda. Dan kritik orang Maluku terhadap genosida Banda menjadi bagian dari motif penulisan buku ini. Dari Bab pertama telah disampaikan bagaimana tipu daya Belanda (sekarang) lewat Banda Working Group, sebuah panitia yang menyelenggarakan Festival VOC yang sejak 2002 dikritik oleh orang Indonesia. Demonstrasi keturunan orang Banda yang lolos dari genosida dan bermigrasi ke Kep. Kei dan Seram (pengulas menemukan kisah yang sama di P Buru bagian Utara) pada saat perayaan dihadap-hadapkan dengan beberapa tokoh Maluku dan sejarawan. Salah satu ekonom Indonesia Kwik Kian Gie (halaman 161) mengatakan kebingungannya ketika disuruh memberikan kata sambutan dengan tidak diperbolehkan menyebutkan VOC pada perayaan kelahiran VOC!
Kritik penulis juga diberikan pada film Banda The Dark Forgotten Trail ( Full movie documenter) (tahun 2017) yang disutradarai oleh Jay Subijakto yang dianggap penulis berdasarkan kepalsuan sejarah. Pemalsuan sejarah ini juga dilakukan dengan cara membuat karya fiksi untuk anak-anak di Belanda, novel grafis (hal 144-158). Ini mirip proyek orientalis yang dilakukan oleh novelis Richard Burton, Rudyard Kipling, TE Lawrence dalam menggambarkan Afrika, Timur Tengah, India dan Joseph Conrad yang pernah menulis tentang petualangannya di Kalimantan dan perjumpaannya dengan orang Bugis yang oleh Edward W Said, dianggap sebagai bagian dari narasi kolonial untuk mendemonisasi sang liyan atau bukan Eropa (kulit putih).
Judul Buku: Genosida Banda: Kejahatan Kemanusiaan Jan Pieterszoon Coen
Penulis: Marjolein van Pagee
Penerbit: Komunitas Bambu
Tahun terbit: Januari, 2024
