“…/kau entah memesan apa/… aku memesan rasa sakit yang tak putus yang nyaring lengkingnya memesan rasa lapar yang asing itu/…” – sajak di restoran Sapardi Joko Damono
Food and Energy Estate yang digaungkan oleh Jokowi adalah repetisi kegagalan dari proyek sebelumnya. Tahun 2010 pemerintah SBY mencanangkan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Kegagalan dalam membangun sektor pertanian selama dua puluh tahun masa kepresidenan ini tentu menimbulkan tanya, apa yang sebenarnya dilakukan dengan proyek mangkrak tersebut. Jokowi memberikan status Proyek Strategis Nasional (PSN), sebuah status yang bisa melibas semua aturan, baik tata ruang maupun kawasan hutan.
Sejak lama semangat kolonialisme atas rezim pangan melekat dalam proyek-proyek pertanian di Negara Berkembang. Mc Michael (2020) menggambarkan ketakterputusan penutupan terhadap akses atas tanah (enclosure) berbagai rezim pangan – konsisten dengan sejarah kapital. Baik rezim pangan, dan sekarang rezim energi terbarukan yang menggunakan biomasa, tebu, dan sawit juga memapankan kolonialisme, konsisten dengan sejarah kapital, mengubah relasi ekologis: menggadaikan masa depan masyarakat lokal untuk masa depan kaitalis yang tak stabil dan berisiko. Rezim pangan dan energi menjadi musuh bagi kebutuhan sosial ekologis.
Edward Said dalam bukunya Kebudayaan dan Imperialisme (1994) mengatakan semacam pergeseran paradigma tengah terjadi; kita mungkin sekarang menyetujui suatu cara baru yang lebih bersemangat dalam memandang perjuangan atas geografi dengan cara yang menarik dan imajinatif. Lokalitas adalah sebuah ruang. Keadilan dalam ruang (spasial) sekarang dibenturkan dengan PSN, dan keadilan ruang bukan semata keadilan bagi manusia, juga satwa dan flora, biotik dan abiotik. Edward Soja (2010) menyatakan keadilan spasial bukanlah pengganti atau alternatif bagi bentuk-bentuk keadilan lain, tetapi lebih merupakan penekanan dan perspektif interpretatif atas ruang. Mencari keadilan atas ruang adalah perebutan geografi, dimana kolonialisme sampai saat memiliki alih rupa-alih wahana.
Dalam kasus Kalimantan misalnya, mulai dari Bulungan di tahun 2010 food estate mengalami kegagalan parah. Masyarakat lokal tetap tidak bisa mengakses lahan yang dibuka paksa, sebagian lahan gambut dan merupakan habitat bagi Bekantan, hama tikus merajelela karena lahan terbuka menjadi semak terlantar yang menghilangkan predator tikus ketika lahan dibuka, banjir semakin sering – . Delta Bulungan kehilangan karagaman hayati, pesut tidak lagi terlihat, sungai yang sudah kotor oleh oli tumpah dari tongkang batu-bara, sekarang ditambah oleh proses sedimentasi parah dari lahan terbuka yang tergerus, ikan-ikan endemik banyak yang berkurang. Pendekatan teknokratis yang dianggap sebagai bagian dari ‘sains murni’ gagal menciptakan sentra pangan, secara ekologis ide sains medioker tersebut ditolak oleh alam, setidaknya itulah alasan para perampas lahan yang gagal menanam padi disana. Bagaimana dengan kelayakan proyek? Akademisi bidang pertanian selalu membela pemerintah dengan memberikan prasyarat teknokratik yang seringkali tidak mungkin dipenuhi – tak bernyali untuk terus-terang menyatakan bahwa malapetaka akan terjadi jika proyek diteruskan.
Proyek PSN pangan Jokowi di bekas lahan gambut sejuta hektare di Kalimantan juga gagal, panen dilakukan di lahan yang itu-itu juga. Juga dengan Merauke, panen dilakukan di tempat itu-itu juga sejak jaman Belanda. Ada beberapa percobaan yang dilakukan oleh tentara, membuka lahan panen sekali kemudian terlantar dan menjadi sarang tikus, mengganggu sawah transmigran. Pembukaan hutan di Merauke juga menambah durasi dan frekuensi banjir di kawasan tersebut. Program yang digagas Kementan di Gunung Mas juga gagal, hutan dibabat dan proyek singkong gagal, yang mengejutkan adalah panen jagung dalam polibag, setelah itu selesai. Mangkrak. Banjir datang seiring kawasan yang bertambah panas saat musim kemarau panjang dan risiko kebakaran lahan meningkat. Program food estate yang telah masuk sebagai program strategis nasional di tahun 2020—2024 dikembangkan di Sumatra Utara, Kalimantan Tengah, Sumatra Selatan, dan Nusa Tenggara Timur. Ada 3 juta hektare untuk perluasan cetak sawah baru. Artinya ada 3 juta lahan yang akan dirampas oleh perusahaan.
Desain ahli mengenai food estate adalah diletakan atas dasar keterpaduan sektor dan subsektor dalam suatu sistem agribisnis. Memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan lestari dikelola secara prosedural, didukung SDM berkualitas, menggunakan teknologi tepat guna, berwawasan lingkungan, dan kelembagaan yang kokoh. Food estate diarahkan pada sistem agribisnis yang berakar kuat di pedesaan dan berbasis pemberdayaan masyarakat adat atau penduduk lokal yang merupakan landasan dalam pengembangan wilayah. Sementara desain yang terjadi menempatkan korporasi sebagai aktor yang mengeluarkan masyarakat dari proyek. Dalam kasus Delta Kayan Bulungan di atas telah merudinkan masyarakat adat yang kehilangan mata pencaharian lestari mereka yang bersumber dari sungai dan rawa. Dalam kasus Merauke telah merampas ruang hidup masyarakat adat setempat yang kehidupannya berburu dan meramu di dataran rendah Merauke, yang merupakan ekosistem unik di Indonesia, karena hutannya berupa hutan semak dan savana, yang hilang dan terancam hilang seluas 2 juta hektare.
Gula-gula bagi Perampas
Dalam Pepres 40/2023 disebutkan dalam Pasal 3: Dalam rangka percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (biofuel) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, disusun peta jalan (road map yang meliputi: a. peningkatan produktivitas tebu sebesar 93 (sembilan puluh tiga) ton per hektar melalui perbaikan praktik agrikultur berupa pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, dan tebang muat angkut; b. penambahan areal lahan baru perkebunan tebu seluas 700.000 (tujuh ratus ribu) hektar yang bersumber dari lahan perkebunan, lahan tebu rakyat, dan lahan kawasan hutan; c. peningkatan efisiensi, utilisasi, dan kapasitas pabrik gula untuk mencapai rendemen sebesar 1 1,2% (sebelas koma dua persen); d. peningkatan kesejahteraan petani tebu; dan e. peningkatan produksi bioetanol yang berasal dari tanaman tebu paling sedikit sebesar 1.200.000 kl (satu juta dua ratus ribu kilo liter). Di Merauke di wilayah yang dimaksud belum terdapat lahan perkebunan tebu dan tebu rakyat, sehingga yang terjadi adalah pelepasan kawasan hutan saja. Bagian d. Peningkatan kesejahteraan petani tebu juga absurd karena tidak ada petani tebu di lokasi yang dimasud, karena skema PSN dijalankan oleh korporasi yang menggunakan konsep mekanisasi penuh.
Sementara Kepres No. 15/2024 menyatakan kemudahan investasi dalam pasal 3. ayat b. memfasilitasi ketersediaan lahan yang sesuai dengan komoditas tebu; c. mengoordinasikan penyelesaian administrasi pertanahan atas tanah yang diperoleh melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan dan/atau mekanisme pengadaan tanah; d. memfasilitasi pelaku usaha dalam pemenuhan persyaratan dasar dan perizinan berusaha untuk percepatan pembangunan dan pengembangan perkebunan tebu terintegrasi dengan industri; e. memfasilitasi pemberian fasilitas investasi yang dibutuhkan pelaku usaha untuk percepatan pembangunan dan pengembangan perkebunan tebu terintegrasi dengan industri beserta sarana dan prasarana penunjang. Kepres ini sesuai dengan Pepres 40/2023 Pasal 10 ayat c. memberikan kemudahan proses sertipikasi tanah untuk lahan perkebunan tebu, pabrik gula, dan/atau pabrik bioetanol, sesuai perundangan yang berlaku. Sementara lahan-lahan yang tersedia sebagian besar termasuk ke dalam kawasan adat dan sedang dilakukan registrasi wilayah adat. Gula-gula lain dalam adalah Pasal 11 ayat a importasi gula kristal mentah (raw sugar) berupa rencana kebutuhan industri dalam neraca komoditas. Importasi gula ini diberikan subsidi waktu tujuh tahun, dibolehkan impor gula mentah untuk memenuhi kebutuhan industri bioetanol. Para pemain gula mengatakan keuntungan besar selama tujuh tahun bisa diraup disini, apalagi dengan keringanan pajak dalam pengembangan industri gula dan bioetanol ini. Peluang korupsi dalam pengadaan gula kristal mentah ini sangat terbuka lebar.
Keberadaan food dan energy estate ini, khususnya di Merauke tidak bisa memenuhi kriteria deforestasi yaitu tidak membuka lahan pada areal yang memiliki nilai konservasi tinggi (HCV) atau terdapat habitat flora dan fauna yang dilindungi dan memiliki nilai stok karbon tinggi (HCS) dan kawasan ekosistem esensial. Konsep yang sedang dijalankan tidak bersesuaian dengan Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tanggal 04 Juli 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
Deforestasi dan perampasan lahan bukanlah bagian dari praktek pembangunan berkelanjutan (PB), karena seluruh tujuan dalam PB tidak mungkin dicapai oleh ketidakadilan seperti dalam praktek sekarang. Lingkungan hidup yang koyak secara ekologis menimbulkan bencana dan kondisi tidak berdaya pulih. Eksklusi dan industri footloose tidak menciptakan kesetaraan. Masyarakat asli Papua tetap dipandang secara rasis, sebagai liyan yang tidak memiliki hak untuk memiliki cara hidupnya sendiri, bahkan keragaman ekonomi dipandang sebagai sebuah keterbelakangan jika bukan primitif. Bagaimana kata keberlanjutan bisa dibangun dengan dasar pikir rasis dan diskriminatif. Amartya Sen pernah menuliskan bahwa rezim yang tidak demokratis tidak bisa menahan laju pemiskinan masyarakat, sebaliknya kebebasan dan demokrasi sebagai tolok ukur kesejahteraan, yang bukan semata-mata dilihat dari kenaikan pendapatan atau PDB pada tingkat wilayah, namun ketidakberdayaan secara umum. Bagi Sen, pembangunan adalah pembebasan yang menyangkut bukan hanya kesejahteraan (wellbeing freedom), tapi juga kebebasan individu (agency freedom).
Menggunakan konsep ‘hijau’ seperti pembangunan berkelanjutan saja PSN FOOD DAN ENERGY ESTATE sudah bermasalah. Konsep hijau pembangunan berkelanjutan tersebut ingin memitigasi ketegangan konsep kolonial, dalam prakteknya ‘korporat-ramah lingkungan’ masih belum mewujud, setidaknya dalam pengaturan rezim pangan dan energi terbarukan di Indonesia. Salah satu praktek di kedua rezim tersebut adalah (1) perampasan lahan oleh pengusaha Indonesia bekerjasama dengan elit lokal, (2) menjual hak guna usaha ke investor baru, baik pemain (oligarki) lokal, maupun asing. Perampasan lahan seperti ini menjadi bagian dari spekulasi keuangan global. Proses ini memindahkan kekayaan dan kekuasaan dari kelas miskin dan kelas produsen ke kelas orang superkaya (oligarki). Dalam kasus-kasus rezim pangan dan energi terbarukan petani subsisten dan lahan-lahan produktif berupa sumberdaya bersama (common resources) beralih dari pengaturan oleh masyarakat adat, diambil alih Negara, dan diberikan ke korporasi. Tujuan negara dalam mendirikan bank tanah untuk menampung aset-aset tanah yang tak bertuan, hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), dan hak pakai yang sudah habis masanya kemudian digunakan untuk kepentingan umum tidak tercapai, bahkan kawasan hutan pun dicaplok bersar-besaran untuk korporasi. Kementerian ATR/BPN pernah memaparkan bahwa rasio gini tanah di Indonesia sudah mendekati 0,58. Artinya, satu persen dari total jumlah penduduk Indonesia menguasai 58 persen total luas tanah di Indonesia.
Campbell (2009) memperkenalkan ‘ekologi tempat jauh’ (ecologies at a distance) dimana pangan memiliki hubungan produksi/konsumsi global diproduksi dari ‘wilayah entah dimana’ dan dikonsumsi oleh masyarakat ‘entah dimana’ yang memiliki konsep murah dan berlimpah, bukan pada permasalahan ekologi di tempat dimana pangan tersebut dihasilkan. Dan tanggapan ekologis (ecological feedback) untuk melawan rezim pangan korporat menyembunyikan dampak ekologis. Gagasan Campbell adalah pengembangan suatu sistem pangan dengan membumikan kembali produksi pangan ke dalam ekosistem lokal. Patahan metabolis ini yang menurut Saito (2017) menyebabkan ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan secara bersamaan di berbagai wilayah negara berkembang. Dalam kasus MIFEE ini patahan metabolis terjadi pada alam dengan hancurnya ekosistem dan relasi sosial, yaitu pencurian dari mata pencaharian masyarakat dan industrialisasi yang meninggalkan masyarakat setempat. Kemudian pada perluasan polusi. Suku Yei menyoal pencemaran di sungai Maro dan danau di wilayah mereka akibat perkebunan sawit swasta. Demikian pula suku Marind Anim dan Awyu yang juga menyoal pencemaran di Sungai Bian dan Digoel disebabkan oleh kebun sawit dan pembukaan lahan selama proyek lumbung pangan dijalankan sejak jaman SBY sampai saat ini.
Patahan metabolis versi Saito ini memperlihatkan bahwa ada keretakan temporal (temporal rift), dengan adanya upaya mekanisasi proses produksi secara cepat, efektif dan masif. Yang ternyata membutuhkan sirkulasi modal dan yang terjadi adalah siasat keuangan, bahkan spekulasi keuangan dengan perampasan tanah terlebih dahulu sebagai bagian dari jaminan. Via Campesina (2004) mencatat bahwa kapital keuangan tidak hanya membeli tenaga kerja dan penguasaan tanah, tapi juga mengubah cara kerja, pengetahuan, teknologi cara tanam, teknologi benih, sebagai milik pribadi (dan korporasi). Selain hal tersebut dua patahan sebelumnya yaitu hubungan manusia dengan alam dan manusia dengan manusia sebagai tenaga kerja juga membuat pilihan-pilihan yang disebutkan Amartya Sen sebagai indikator kebebasan semakin terbatas.
Apakah kita akan mengalami krisis? Jika modus perampasan lahan dan peminggiran hak masyarakat terjadi tentu kita di ambang krisis, secara partikular di masing-masing kawasan tempat food dan energy estate akan mengalami krisis. Secara nasional krisis akan dialami lewat efek domino. Krisis pertama adalah krisis keuangan karena kehancuran institusi keuangan jika kepercayaan investor spekulan terhadap kondisi politik tidak stabil. Dibutuhkan pemerintah yang otoriter untuk menjalankan skenario PSN. Tentu investor spekulan tidak peduli dengan kerungkadan yang dialami masyarakat sepanjang rente mereka terpenuhi, kita akan mengalami krisis demokrasi. Krisis Kedua, krisis ekologi yang parah yang akan memiskinkan masyarakat karena risiko bencana akibat perubahan iklim meningkat, risiko gagal panen di luar perkebunan dan komoditas milik korporasi meningkat, karena secara ekosistem kawasan perkebunan swasta dengan pertanian rakyat saling terhubung. Krisis Ketiga, pemiskinan akibat tidak terserapnya tenaga kerja lokal dari sistem kerja dan teknologi baru, termasuk didalamnya proletarisasi akibat masyarakat lokal baik Orang Papua Asli dan transmigran yang dibeli lahannya oleh korporasi dan memilih menjadi pekerja atau kembali ke Jawa daerah PSN lain, seperti PSN sektor pertambangan atau diserap sebagai buruh cadangan di perusahaan sawit di Provinsi Papua Selatan. Krisis keempat, krisis pangan lokal sebagai paradoks pengembangan lumbung pangan dunia. Masyarakat lokal harus membeli bahan pangan dengan harga lebih tinggi karena kehilangan lahan dan sumber protein lain, termasuk kehilangan etno-farma atau obat-obatan tradisional mereka.
Widhyanto Muttaqien | Wakil Ketua Bidang Politik Sumberdaya Alam LHKP PPM
Featured Image diambil dari Wisata Papua: Melihat Pesona Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional Wasur Merauke – Tribun-papua.com (tribunnews.com)