oleh:
Imam Baehaqie Abdullah
Apakah karya sastra sanggup mengubah dunia? Yann Martel, penulis novel Life of Pi—yang difilmkan sutradara Ang Lee dan meraih Piala Oscar baru-baru ini, meyakini kekuatan literer tersebut. Lantaran itulah, selama tiga tahun ia tak bosan-bosan mengirimkan novel, kumpulan puisi, maupun drama kepada Stephen Harper, Perdana Menteri Kanada.
Secara teratur ia mengirim karya sastra kepada Harper dengan maksud untuk “mendidik”-nya perihal tradisi sastra berbahasa Inggris yang begitu luas. Mungkin langkah Martel itu terkesan kurang ajar, terbukti ia tidak memperoleh satu pun surat balasan. Walau barangkali, niat Martel baik, mempromosikan karya sastra kepada orang-orang yang sehari-hari lekat dengan kehidupan politik. Tambahan pula, ia mendengar Harper menyebutkan bahwa buku favoritnya adalah The Guinness Book of Records.
Karena tak berbalas, Martel kini punya buku baru. Surat-suratnya kepada Harper rupanya diterbitkan menjadi sebuah buku. Dalam buku berjudul 101 Letters to a Prime Minister itu, Martel mengatakan salah satu buku yang ia kirimkan kepada sang perdana menteri ialah To Kill a Mockingbird, karya mashur Harper Lee. “Saya mengirim 101 buku kepadanya, dan ia tidak menulis satu suratpun kepadaku,” kata Martel.
Martel mengaku, sebenarnya ia tak mau tahu apa yang dibaca orang lain.
Masalahnya menjadi lain ketika orang lain tersebut terjun ke politik dan berkuasa. “Begitu seseorang berkuasa atas diri saya, seperti Stephen Harper,” kata Martel, “saya berkepentingan untuk mengetahui watak dan kualitas imajinasinya, sebab mimpi-mimpinya bisa menjadi mimpi buruk bagi saya.”
Sebagai warga Kanada, Martel mengaku tergetar oleh komentar Presiden AS Barack Obama setelah membaca karyanya, Life of Pi. Obama menulis surat dengan tulisan tangan kepada Martel dan mengakui “Life of Pi adalah bukti elegan keberadaan Tuhan dan kekuatan bercerita.”
Lalu kenapa ia tetap mengirimi Harper surat dan buku-buku walau tidak berbalas? Sebab Martel meyakini bahwa pemimpin dunia yang tidak membaca, atau tidak ingin mengetahui tentang orang lain—artinya, pengalaman atau kehidupan yang sangat berbeda dari dirinya—akan punya visi yang membutakan. “Fiksi adalah cara terbaik untuk mengeksplorasi yang lain,” kata Martel.
Obama sendiri, selain membaca karya Martel, juga membaca karya-karya Mark Twain, puisinya Ralph Waldo Emerson (laiknya mendiang Presiden John Kennedy menyukai syair Robert Frost), Cancer Ward-nya Alexander Solzhenitsyn, dan yang menjadi favoritnya ialah karya mashur Toni Morrison, Song of Solomon. Karya yang memadukan puisi, nyanyian, dan prosa tradisional ini menjadi novel liris yang mengilhami Obama.
Vladimir Putin, Presiden Rusia, memiliki kesukaan lain. Penguasa Rusia ini menyukai novel-novel Jack London, Jules Verne, serta Ernest Hemingway karena mengisahkan petualangan manusia. Karakter-karakter yang dilukiskan dalam buku-buku mereka, kata Putin, membentuk inner self dirinya dan membangkitkan kecintaan Putin kepada dunia luar. “Mereka karakter pemberani,” ujarnya.
Apa saja karya sastra yang dibaca oleh para politisi di Indonesia hari ini? Entahlah, saya tak pernah mendengar cerita tentang hal itu.
Ya….kita memang bisa bersikap acuh tak acuh perihal apakah mereka membaca atau tidak, atau membaca apa, atau membaca karya sastra siapa. Tapi, meminjam perkataan Martel, “Begitu seseorang berkuasa atas diri saya, saya berkepentingan untuk mengetahui watak dan kualitas imajinasinya, sebab mimpi-mimpinya bisa menjadi mimpi buruk bagi saya.