When Policies and Markets Fails The Poor
Penulis: A Pesticides Action Network Asia and The Pacific
Penerbit: PAN AP, 2008
Sejak jaman Presiden SBY menjabat, Lembaga Swadaya Masyarakat di Indonesia berharap agar bidang pertanian dapat dibenahi lebih dulu. Ekspektasi ini tentu tidak tinggi sebab Presiden yang rajin belajar ini merupakan Doktor Ilmu Pertanian di Institut Pertanian Bogor (2004) yang memiliki judul Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Sebagai Upaya Mengatasi Kemiskinan dan Penggangguran: Analisa ekonomi Politik Kebijakan Fiskal. Disertasi terssebut dibukukan menjadi Republik Desa: Sebuah Strategi Kebudayaan Rekonstruksi Pemikiran Susilo Bambang Yudhoyono, terbit tahun 2014 bersamaan berkahirnya jabatan SBY di periode kedua yang menyisakan UU Desa untuk disahkan. Buku Politics of Hunger ini terbit tahun 2008 yang ingin menyampaikan bahwa pangan sebagai hak dasar warga, dimana sebagian besar petani kecil di desa sebagai produsen pangan terbesar di dunia, telah kehilangan sumber nafkah mereka, tanah dan sumber kehati yang disebabkan kebijakan dan pasar.
Dunia saat ini menghadapi krisis pangan yang menyebabkan kerusuhan di Haiti, Meksiko, Kamerun, Filipina, Banglades, dan Indonesia. Pekerja dan petani di negera-negara ini menjadi berkurang kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan pangan, ironisnya negara ini penyuplai pangan untuk dunia. Pangan yang terdiri dari karbohidrat, lemak, proteini, dan vitamin ini tidak dapat dipenuhi angka kecukupan gizinya, sehingga ancaman stunting menjadi ancaman besar bagi generasi masa depan di negara-negara di atas.
Dalam laporan Grain di buku ini disebutkan bahwa stok pangan di negara-negara ini ada di level terendah dalam 30 tahun terakhir sejarah pangan mereka. Krisis pangan dengan resep IMF, WTO, World Bank, ADB, dan FAO sangatlah kuno dan mengarah pada liberalisasi pertanian yang semakin meluas di sektor pertanian negara-negara ini. Beberapa resep liberalisasi yang diceritakan dalam buku ini adalah liberalisasi perdagangan dan investasi, privtisasi sektor publik seperti irigasi, sumberdaya air, diikuti dergulasi bidang pertanian seperti penghapusan aturan penetapan harga dan harga pasar (harga eceran terendah). Masuknya pengaturan neo liberal juga dilakukan dengan ‘strategi’ pertanian yang menjadikan korporasi besar sebagai pemain utama untuk komoditas bernilai tinggi dan komoditas berorientasi ekspor yang menyebabkan konversi lahan pangan, deforestasi, dan ‘mengalahkan’ lahan pertanian dan hutan untuk bahan industri ekstraktif seperti tambang. Perusahaan-perusahaan asing lebih banyak menguasai lahan-lahan di perdesaan, membuat keseimbangan ekonomi lokal bergantung pada mereka, termasuk dalam pengaturan rantai pasok. Globalisasi juga dengan resep World Bank memangkas belanja untuk jaring pengaman sosial. Janji globalisasi untuk kemakmuran global dalam kenyataannya meyebabkan jutaan orang kelaparan dan angka ini terus meningkat.
World Bank menacatat kaum miskin di 53 negara masih hidup di bawah 1 dollar Amerika di tahun 2008, dan Oxfam mencatat sumber nafkah 280 juta orang terancam hilang dalam pembangunan di masing-masing negara di tahun yang sama. Di tahun 2008 kaum miskin di 40 negara akan mengalami kelaparan parah bahkan sudah mengalami hal ini. Dalam laporan Global Food Security Indeks (GFSI) 2022 ( https://dataindonesia.id/ragam/detail/indeks-ketahanan-pangan-nasional-meningkat-pada-2022 ) ketahanan pangan Indonesia dibawah rata-rata global yaitu 62,2 dan dibawah rata-rata Asia Pacific yaitu, 63,4. Indeks ini diukur dari empat indikator yaitu keterjangkauan harga pangan, ketersediaan pasokan, kualitas nutrisi, dan keberlanjutan dan adaptasi. Nilai yang kurang dari ketahanan pangan di Indonesia menurut laporan ini, ketersediaan pasokan skor 50,9, kualitas nutrisi 56,2 dan keberlanjutan dan adaptasi memiliki skor 46,3. Ketiga nilai ini dibawah rata-rata nilai Asia Pasific. Hanya keterjangkauan memiliki nilai 81, 4. Semua skor dinilai antara 1-100. Sementara angka kekurangan gizi di Indonesia masih tertinggi di Asia Tenggara, yaitu sebanyak 17,7 juta penduduk https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/07/12/17-juta-warga-ri-kurang-gizi-tertinggi-di-asia-tenggara .
Krisis pangan disebabkan oleh pengaturan yang sangat jauh ke belakang. yaitu masa kolonial. Masyarakat perdesaan kehilangan lahan pangan mereka sejak masa kolonial, disebabkan lahan mereka dikuasai oleh pemerintah kolonial dan masa sekarang dikuasai oleh Negara. Sehingga mereka bergantung pada aspek keterjangkauan, kemampuan membeli pangan. Sedangkan untuk memproduksi pangan yang berhasil mengontrol input produksi adalah perusahaan trans nasional seperti pemberlian benih, pestisida, dan pupuk. Perusahaan transnasional ini juga menguasai pasar industri pengolahan pangan. Dengan kebijakan investasi, deregulasi sektor keuangan dan fiskal, perusahaan yang memiliki dana besar ini berhasil menguasai ‘pasar pangan dunia’.
Di Indonesia, kembali kepada harapan kepada SBY di tahun-tahun pemerintahannya, yang memiliki sejarah MIFFEE 2010 di Papua, dilanjutkan oleh Jokowi tidak tanggung-tanggung dengan Program 2.000.000 hektar (seperenambelas pulau Papua). Di Pulau lain seperti Kalimantan, prohgram food estate Jokowi yaitu 770.000 Ha di Kalimantan Tengah, 32.000 Ha di Pulau Sumatera https://grain.org/en/article/6630-menelan-hutan-indonesia Program food estate ini akan menghnacurkan sisa hutan di Indonesia dan menghancurkan ketersediaan pasokan, kualitas nutrisi, dan keberlanjutan serta adaptasi bagi sebagian besar penduduk Indonesia.
Sebab-sebab yang segera dalam krisis pangan dibahas adalam buku ini meliputi bebrapa faktor yaitu (1) peningkatan permintaan pangan sekaligus kekurangan dalam cadangan/penawaran pangan. Stok pangan dunia yang dipengaruhi oleh pergerakan harga, secara nasional dikelola oleh masing-masing Negara melalui lembaga negara termasuk Badan Usaha Milik Negara. Kebijakan World Bank dan IMF juga memasukkan konglomerat agribisnis untuk berkontribusi pada cadangan pangan yang kahirnya juga menghasilkan konsentrasi cadangan pangan di tangan sekelompok konglomerat agribisnis. (2) Sebab kedua adalah perdagangan spekulatif, yang disebakan faktor alam sperti gagal panen karena cuaca buruk atau penimbunan yang dilakukan untuk menaikkan harga. pangan sekarang juga merupakan komoditas yang diperdagangkan dalam future trading. Di Amerika perdagangan future trading ini melibatkan perusahaan agribisnis transnasional yang berlomba-lomba mengusai lahan di berbagai negara, untuk menjual ‘stok pangan di masa depan’. Keuntungan perdagangan future trading ini minimal 150%. (3) Pangan atau Biofuel, Amerika dan Brazil merupakan produsen biofuel terbesar, Amerika menggunakan jagung sedangkan Brazil menggunakan tebu. negara-negara Eropa menggunakam gandum dan biji bungan matahari untuk biofuel. Negara Asia, seperti Malaysia dan Indonesia berlomba-lomba untuk menanam sawit untuk biofuel. Demikian pula Thailand. Baik di Amerika maupun di Eropa terdapat subsidi bagi petani untuk menanam jagung untuk biofuel. Laporan UN Special Rapporteur on Right to Food, Olivier de Schutter melihat Amerika dan Uni Eropa memiliki ambisi yang tidak bertanggungjawab untuk prgram biofuel mereka. Lobi-lobi pejabat antara petani, korporasi, yang dimediasi pemerintah melalui kebijakan subisidi. Beberapa konglomerat agribisnis dalam laporan ini adalah Monsanto, Syngenta, DuPont, Bayer, BASF, Dow, Cargill, ADM, dan Bunge.
Permasalahan dari konversi bahan bakar fosil ke biofuel ini adalah membuat biofuel masih membutuhkan energi fosil yang besar. Pembuatan biofuel dari jagung alih-alih menghemat energi fosil malah meningkatkan pelepasan karbon dari hasil produksinya. Kasus kepulauan Aru untuk penanaman tebu misalnya, disinyalir akan merusak ekosistem pulau-pulau kecil, untungnya proyek ini tidak jadi, demikian pula nasib briket arang bambu di Mentawai yang akhirnya mangkrak Nasib Pembangkit Biomassa Bambu di Mentawai – Mongabay.co.id : Mongabay.co.id bahkan hutan dan kebun di Mentawai yang direlakan warga untuk ditukar dengan listrik akhirnya hilang. Selain masalah biofuel yang mengganggu sistem ketahanan [pangan lokal karena konversi lahan ‘isu energi baru terbarukan lewat mobil listrik’ juga memakan korban hutan di Indonesia. Pada 2021, diperkirakan luasan konsesi pertambangan nikel di Indonesia telah mencapai 999.587,66 hektare. Sebanyak 653.759,16 hektar diantaranya ditengarai ada dalam kawasan hutan. Pertambangan nikel di Indonesia bertambah luas pada 2022 dengan pemberian konsesi Pertambangan nikel menjadi 1.037.435,22 hektar dimana 765.237,07 hektar diantaranya berada dalam kawasan hutan https://www.medcom.id/nasional/daaerah/akWX6qMK-walhi-dorong-pemerintah-tindak-tambang-nikel-pulau-obi-yang-rusak-lingkungan ). (4) Perubahan iklim, kasus-kasus konversi lahan di atas menyebabkan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan terganggu, pertama karena hilangnya daya dukung lingkungan untuk pemulihan segera. Kedua, komitmen perusahaan yang tidak dipenuhi untuk menjaga dan merestorasi lingkungan.
Sebab jangka panjang dari krisis pangan antara lain adalah Revolusi Hijau, berbagai kasus mengenai ini sudah banyak ditulis. Pada negara-negara yang berkembang dan miskin, pekerjaan pertanian dilakukan oleh keluarga dan lebih banyak dilakukan oleh perempuan. Tercatat 850 juta orang mengalami kerentanan pangan di seluruh dunia, kebijakan yang salah terhadap masalah pangan menyebabkan kaum perempuan paling menderita, padahal mereka memainkan peran utama dalam produksi pangan, akses ekonomi terhadap pangan yang tersedia (sesuai dengan kondisi agroekosistem), dan ketahanan nutrisi keluarga.
Fase lanjut dari globalisasi juga memainkan peran besar, permasalahan Intelectual Property Right dalam pertanian menyebabkan petani kehilangan hak untuk mengembangkan benih, seperti dalam kasus pengembangan benihdi Aceh tahun 2019 ( Kades di Aceh Dipolisikan Karena Kembangkan Benih Padi Unggul | Republika Online ). Selain benih misalnya yang menjadi konhlomerat agribisnis seperti Dupont, Sygenta, dan Monsanto, ketiga perusahaan ini juga secara linier mengembangkan industri agrokimia untuk mendukung pertumbuhan benihnya. Dan petani tergantung oleh teknologi yang diperkenalkan tersebut.
Buku ini meberikan alternatif agroekologi untuk mengatasi permasalahan krisis pangan dan krisis ekologi. agrokelogi dipandang sebagai pimntu masuk untuk kedaulatan pangan yang bukan sekadar ketahanan pangan yang konsepnya sangat tergantung pada kemampuan membeli, bukan pada kemampuan memproduksi. Sepuluh tahun periode SBY sampai periode kedua Jokowi kita masih berharap negara memberikan keadilan dan kedaulatan atas pangan.
Pengulas: Widhyanto Muttaqien