Oleh : Ahmad Saini (Jaringan Advokasi Tambang)
tulisan ini adalah opini pribadi penulis
Indonesia adalah salah satu produsen dan eksporter batubara terbesar di dunia. Sekitar 80% hasil produksi diekspor untuk menerangi negara lain. Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur menjadi kantong-kantong cadangan batubara terbesar di dalam negeri.
Kalimantan Timur yang memiiki luas wilayah 12,9 juta hektar telah mengumbar 1.148 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 33 izin PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara). Obral izin pertambangan batubara diterbitkan pemerintah daerah secara serampangan. Ini menyasar alih fungsi kawasan pertanian produktif, aktivitas pertambangan di kawasan hutan konservasi, hutan lindung dan hingga diberikan di kawasan padat penduduk dengan jarak yang sangat dekat pemukiman.
Ironisnya, pemerintah justru abai dalam melihat risiko dan ancaman yang diakibatkan oleh industri batubara. Demi menggenjot pendapatan negara, izin pertambangan diobral seluas-luasnya. Berbagai peraturan perundang-undangan diterbitkan demi melancarakan investasi di industri batubara. Sebut saja UU 4/2009 tentang Pertambangan Minerba, yang memberikan wewenang seluas-luasnya pada pemerintah daerah untuk memberi izin pertambangan, namun tidak dibarengi dengan instrumen pengawasan dan penegakan hukumnya.
Satu dari intrumen yang di wajibkan dalam undang-undang pertambangan batubara adalah kewajiban setiap pelaku usaha untuk melakukan reklamasi. Dalam pelaksanaan kegiatan reklamasi yang ada di Kalimantan Timur banyak sekali terdapat pelanggaran dan ketidak sesuaian yang tentu saja menjadi persoalan lingkungan hidup.
Konsep reklamasi sebagai intrumen untuk memulihkan ligkungan hidup dan menjaga ekosistem di kawasan kegiatan pertambangan batubara tidak akan mampu dilaksanakan seperti yang disampaikan dalam UU nomor 04 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara. Pada pasal 1 disebutkan “Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya,”.
Alat Legitimasi
Prinsip reklamasi hanya meminimalisir kerusakan lingkungan. Ia tak bisa mengembalikan fungsi semula, karena watak dasar pertambangan adalah mengubah bentang alam, yang bukan saja terjadi alih fungsi tapi juga kehilangan sistem mikro dan ekosistem semula seperti keanekaragama hayati di atasnya. Kegiatan pertambangan dengan metode open pit atau penambangan terbuka menjadikan lubang-lubang tambang yang berbahaya. Prinsip reklamasi dan pasca tambang adalah perlindungan dan pengelolan linkungan hidup (pasal 2)
Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2010 telah mewajibkan setiap pemegang IUP baik yang eksplorasi dan operasi produksi wajib melaksanakan reklamasi. Pelaksanaan reklamasi wajib dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender setelah tidak ada kegiatan usaha pertambangan. Fakta dan temuan di lapangan justu meninggalkan banyak kerusakan lingkungan, ancaman longsor, bahkan menyebabkan kematian akibat lubang tambang yang di biarkan bertahu-tahun dan perusahaan tidak di ketahui lagi keberadaannya.
Kewajiban reklamasi bagi setiap perusahaan pertambangan hanya sebagai alat meligitimasi untuk melakukan izin kegiatan pertambangan. Sebanyak 11 dari 63 PKP2B yang izinnya diterbitkan Pemerintah Pusat dan Kementerian Energi Sumberdaya Minral (ESDM) tidak membayar dana jaminan reklamasi (jamrek). Dari jumlah IUP sebanyak 1.148, 931 diantaranya justru tidak membayar dana jamrek.
Ketidakseriusan pemerintah dalam pengelolaan pertambangan akibat salah urus dan obral izin ini dibuktikan dengan rasio jumlah izin dan luasan kegiatan pertambangan dengan pemerintah sebagai pengawas. Di Kota Samarinda, jumlah petugas inspektur tambang (PIT) hanya 4 orang (3 orang dari Dinas Pertambangan dan Energi dan 1 orang dari Pemerintah Kota). Padahal, mereka harus mengawasi 63 IUP dengan luasan 50.742,76 hektar. Kabupaten Kutai Timur bahkan hanya memiliki 2 inspektur tambang untuk mengawasi 38 IUP dengan luasan sekitar 670.500 hektar.
Ketimpangan rasio antara petugas inspektur tambang dengan jumlah perusahaan dan luasan yang diawasi sangatlah tinggi. Sebut saja di Kota Samarinda, Rasio yang ada sekitar 1:26 perusahaan dan 1:12.500 Ha. Belum lagi frekuensi pengawasan yang mungkin hanya 1 kali dalam setahun karena anggaran yang terbatas. Sementara itu di Kutai Timur, rasio yang ada mencapai 1:19 perusahaan dengan luas mencapai 330.000 hektar.
Lubang Tambang
Industri batubara menyisakan permasalahan lingkungan dan sosial yang begitu besar di Kalimantan Timur. Banyak perusahaan yang kabur begitu saja meninggalkan lubang bekas galian yang menganga tanpa direklamasi, hingga menyebabkan anak-anak tenggelam dalam lubang bekas tambang. Satu perusahaan bahkan berani melakukan pembohongan publik dengan mengklaim bahwa mereka telah melakukan reklamasi dan menimpakan kesalahan pada warga atas jatuhnya korban anak-anak tersebut.
Terdapat 25 nyawa hilang di lubang bekas tambang batubara, mayoritas diantaranya adalah anak-anak. Mereka tewas akibat obral izin yang dilakukan oleh pemerintah. Kini, 71% luas kota Samarinda diberikan pada konsesi pertambangan batubara.
Terdapat 232 lubang bekas tambang yang tak terpulihkan di kota Samarinda, 70% berada di kawasan dekat pemukiman yang membahayakan keselamatan warga.
Danau bekas lubang tambang memang menyisakan pemandangan yang sedap dipandang mata. Air yang tertampung di lubang tambang bercampur dengan mineral dan logam berat sisa bongakaran lapisan tanah dan batubara menimbulkan warna hijau kebiru-biruan. Ada pula yang berwarna agak kecoklatan, bahkan hitam pekat. Namun, danau itu tidak seindah tampilannya. Ia adalah kolam-kolam raksasa buat menampung limbah-limbah buangan maupun lubang-lubang galian dari tambang batubara.
Kolam-kolam raksasa ini bak neraka bagi umat manusia dan lingkungan sekitar yang dibiarkan oleh perusahaan pertambagan bertahun-tahun.