Ulasan buku: Mimpi Junghuhn Tentang Allah yang Maha Baik
- 0 Comments
- 13 April 2025

Pengulas: Widhyanto Muttaqien
Buku Licht- und Schattenbilder aus dem Innern von Java oleh Dr. F. Junghuhn dihadapan pembaca ini diterjemahkan oleh Malik Ar Rahiem diberikan judul Cahaya dan Bayang-bayang dari Jawa. Buku ini menggabungkan kritik agama dengan apresiasi terhadap alam, menggunakan dialog filosofis untuk menyampaikan pesan bahwa kebenaran sejati terletak pada pemahaman ilmiah dan harmoni dengan alam, bukan pada dogma agama. Junghuhn menolak kolonialisme budaya (termasuk misi Kristen) dan mengadvokasi penghormatan terhadap kebijaksanaan lokal serta ilmu pengetahuan.
Entah mengapa begitu membaca seperempat bagian buku saya langsung ingin mendedah buku ini dari sisi mimpi, keterbelahan, hasrat yang begitu menggebu dari Junghuhn. Buku ini selain menggambarkan desa-desa di Jawa Barat menjadi buku ‘sangat serius’ mengenai ‘keyakinan’ seseorang. Sebagai ilmuwan (naturalis, sekaligus petualang) menyebabkan bahasan filsafati dalam buku ini menjadi menarik. Dalam jurnal yang ditulis Bosma (2016) digambarkan kedekatan Junghuhn dengan neoplatonisme yang mempertebal kesadarannya tentang keterbatasan pengetahuan dan dualisme realitas dapat menciptakan keraguan dan ketidakpastian. Atas dasar inilah dialog Siang dan Malam dilangsungkan. Sebelumnya saya kenal Junghunh cuma karena Kina.

Buku ini menjadi kritik terhadap Agama Kristen, lewat dialog antara karakter TAG/siang (kebenaran/pencerahan) dan NACHT/malam (kegelapan/kesalahan), Junghunhn melakukan kritik terhadap “kebenaran. TAG menolak klaim kebenaran mutlak agama Kristen, menyoroti kemunafikan, kekerasan sejarah gereja (misalnya Inkuisisi), dan kontradiksi antara ajaran Kristen dengan hukum alam.
Siang menyebut agama Kristen sebagai sumber konflik, perpecahan, dan penghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam dialog juga menyinggung kepercayaan lokal Jawa yang dianggap lebih harmonis dengan alam.
Masyarakat Jawa digambarkan memiliki kepercayaan alami yang sederhana, menjunjung harmoni dengan alam, dan tidak memerlukan dogma agama impor. Junghuhn menekankan bahwa “agama sejati” adalah penghormatan terhadap alam dan kebenaran rasional.
Dalam biologi Junghuhn mengamati dan memberikan deskripsi rinci tentang flora, fauna, dan lanskap Jawa, seperti hutan tropis, sungai, serta interaksi manusia dengan lingkungan (misalnya pertanian tradisional). Deskripsi tentang harimau, burung merak, dan kehidupan pedesaan Jawa menunjukkan ketertarikannya pada biodiversitas (hal 8 dan 42) dalam narasi buku ini biasanya penggambaran alam di awalai sebelum dailaog Siang dan Malam.
Siang berargumen bahwa ilmu alam (geologi, astronomi, fisika) adalah sumber kebenaran sejati, bukan agama. Junghuhn menolak konsep “mukjizat” dan menekankan pentingnya memahami hukum alam sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Pencipta.
Simbolisme malam sendiri dalam gereja[1] dapat dilihat dari berbagai arti. Malam merupakan periode kegelapan: Dalam Alkitab, malam diartikan sebagai periode kegelapan antara matahari terbenam dan terbit. Ini sering kali melambangkan saat-saat ketidakpastian, kesedihan, atau ketidakpedulian terhadap Allah. Misalnya, dalam Yohanes 9:4, malam menggambarkan waktu ketika pekerjaan tidak dapat dilakukan, yang bisa diartikan sebagai masa kesulitan atau ketidakberdayaan. Malam juga sering digunakan sebagai metafora untuk masa kesesakan atau penganiayaan. Dalam konteks ini, malam melambangkan pengalaman sulit yang dialami oleh orang percaya ketika Tuhan terasa jauh, seperti yang dinyatakan dalam berbagai ayat di Mazmur dan kitab lainnya.
Malam selain memiliki makna negatif juga menjadi simbol harapan dan kebangkitan. Meskipun malam memiliki konotasi negatif, dalam banyak tradisi Kristen, malam juga menjadi waktu refleksi dan harapan. Misalnya, Malam Natal menjadi simbol harapan dan kasih, memperingati kelahiran Yesus[2].
Buku ini menjelaskan prinsip Injil Malam dan Injil Siang mmulai dari halaman 84-154. Dengan panjang lebar dijelaskan Injil Siang bahwa pengetahuan, itu indah dan begitu besar. Pada halaman 139-143 disebutkan tokoh-tokoh sains yang telah mengubah dunia dengan penemuannya, mereka disebutkan orang-orang yang sungguh-sungguh takut kepada Allah (hal 139).
Mimpi-mimpi Junghuhn
Melalui lensa Freudian[3] pengulas mencoba melihat buku Junghuhn dapat dibaca sebagai kritik terhadap represi psikis dan budaya, yang diimpor oleh kolonialisme. Konflik antara Siang dan Malam mencerminkan pergulatan antara rasionalitas (ego) dan ketakutan akan perubahan (id/superego), sementara harmoni alam Jawa menjadi simbol keseimbangan psikis yang sehat. Junghuhn secara tidak langsung menganjurkan sublimasi alih-alih represi—sebuah gagasan yang selaras dengan psikoanalisis Freud.
Freud menawarkan beberapa konsep terkait Konflik Psikis dan Struktur Kepribadian (Id, Ego, Superego). Sinag dan Malam sebagai Representasi Psikis, dialog antara Siang ( pencerahan, rasionalitas) dan Malam (kegelapan, tradisi) mencerminkan konflik internal dalam diri manusia, mirip dengan dinamika Freudian antara superego (norma moral) dan id (dorongan primal). Siang (superego/ego): Mewakili prinsip realitas dan moralitas yang menolak dogma agama kolonial, mendorong kebenaran ilmiah. Malam (id) mewakili ketakutan akan ketidaktahuan, keinginan untuk mempertahankan tradisi, atau resistensi terhadap perubahan.
Junghuhn menggambarkan agama Kristen kolonial sebagai represi budaya yang memaksa masyarakat Jawa menginternalisasi nilai-nilai asing. Ini sejalan dengan Freud yang melihat agama sebagai ilusi yang menekan dorongan alamiah manusia. Konflik ini bisa dilihat sebagai neurosis kolektif di bawah tekanan kolonial.
Bagi Junghuhn masyarakat Jawa yang hidup harmonis dengan alam dapat dipandang sebagai contoh sublimasi Freudian, di mana energi psikis (libido) diarahkan ke aktivitas produktif (pertanian, seni) daripada ditekan. Junghuhn memuji ini sebagai bentuk kebijaksanaan yang kontras dengan neurosis Eropa akibat represi agama.
Mimpi dan deskripsi Junghuhn tentang hutan, sungai, dan satwa liar Jawa bisa diinterpretasikan sebagai metafora ketidaksadaran —ruang liar yang belum terjamah oleh represi kolonial. Harimau yang muncul dalam cerita mungkin mewakili dorongan id yang mengancam tatanan sosial yang dipaksakan.
Lensa Freud melihat agama sebagai proyeksi kecemasan manusia terhadap ketidaktahuan. Dalam buku ini, misi Kristen di Jawa digambarkan sebagai upaya mengontrol masyarakat melalui dogma—mirip dengan cara superego menekan id. Junghuhn mengkritik ini sebagai bentuk neurosis institusional yang merusak kebebasan berpikir.
Kepercayaan animisme dan harmoni alam masyarakat Jawa mungkin dilihat sebagai ego yang sehat dalam teori Freud—seimbang antara dorongan alamiah (id) dan adaptasi dengan realitas (superego). Sementara itu, kolonialisme dan agama impor menciptakan konflik psikis yang memicu ketegangan sosial.
Dalam ulasan[4] (Bosma, 2016) mengenai masa kecil dan pengasuhan yang dialami Junghuhn diwarnai oleh pengalaman-pengalaman yang membentuk pandangan dan keyakinan dewasanya terkait agama dan budaya. Ia lahir pada tahun 1809 di Mansfeld, Prusia Saxony, sebagai anak tertua dari seorang tukang cukur-bedah desa. Pendidikan awalnya di bawah seorang rohaniwan Katolik ultra-konservatif menanamkan dalam dirinya penolakan seumur hidup terhadap gereja dan khususnya para pendeta Katolik. Namun, pandangannya mulai berubah ketika ia belajar di bawah bimbingan Johann Karl Thilo, seorang Profesor Teologi di Universitas Halle. Thilo memperkenalkan Junghuhn pada pendekatan historis-kritis terhadap teologi dan pemikiran Neoplatonis[5], yang sangat mempengaruhi perkembangan intelektual dan spiritual Junghuhn.
Pengalaman-pengalaman masa kecil dan pendidikan awalnya ini meletakkan dasar bagi pandangan Junghuhn yang toleran terhadap agama dan penolakannya terhadap wahyu ilahi dalam Alkitab. Di kemudian hari, pandangan-pandangan ini akan berkembang lebih jauh melalui perjalanannya di Jawa dan pertemuannya dengan berbagai agama dan budaya di sana.
Tafsir Mimpi Jung: Keterbelahan[6]
Dualitas Siang vs. Malam oleh Jung dianggap sebagai pertentangan diri” (Individuasi). Dialog antara Siang (terang, kebenaran, rasionalitas) dan Malam (kegelapan, kesalahan, tradisi) mencerminkan pertentangan antara kesadaran dan ketidaksadaran dalam diri manusia. Siang mewakili kesadaran individu yang berusaha mencapai pencerahan (mirip dengan proses individuasi Jung). Malam mewakili bayangan (shadow), bagian diri yang tertekan atau ditolak, seperti kepercayaan tradisional yang dianggap “primitif” atau ketakutan akan perubahan. Malam disini bagi Junghuhn adalah Kekristenan.
Deskripsi hutan, sungai, dan kesuburan Jawa mencerminkan archetype Ibu (Great Mother), simbol kehidupan, kesuburan, dan alam bawah sadar. Junghuhn memuji harmoni masyarakat Jawa dengan alam sebagai bentuk keterhubungan dengan ketidaksadaran kolektif (akar alamiah orang Jawa), sementara kolonialisme Eropa (Siang sebagai proyek intelektual Eropa) mencoba menaklukkan dan merepresinya. Harimau yang menyerang desa bisa dilihat sebagai bayangan (shadow) dari alam itu sendiri—kekuatan liar, destruktif, sekaligus vital. Kematian harimau dan reaksi emosional penduduk mencerminkan konflik antara kesadaran (keinginan mengontrol alam) dan ketidaksadaran (penerimaan kekuatan primal) pada halaman 44 digambarkan keterkejutan Malam terhadap amarah orang Jawa dalam menghadapi Harimau; Sang Raja Hutan terkapar mati, penuh darah di tanah. Para lelaki menusukinya dengan keris. para bocah mewarnai kaki mereka dengan darah dan seterusnya.
Siang sebagai Animus (Maskulinitas), mewakili prinsip maskulin: rasionalitas, kontrol, dan dominasi—mirip dengan sikap kolonial Eropa yang ingin “mencerahkan” Jawa. Sedangkan Alam Jawa sebagai Anima (Feminitas). Kehidupan Jawa yang harmonis dengan alam mencerminkan prinsip feminin: intuisi, penerimaan, dan kreativitas. Junghuhn mengkritik kolonialisme yang merusak keseimbangan ini, seperti Animus yang menindas Anima dalam psikologi Jungian.
Misi Kristen dan pemerintahan kolonial Belanda membangun persona (topeng sosial) yang memaksakan nilai-nilai Eropa sebagai “beradab”. Junghuhn mengekspos ini sebagai ilusi yang menutupi shadow kolonial: eksploitasi, kekerasan, dan ketakutan akan ketidaktahuan. Keterbelahan psikis Jawa terlihat dalam ketegangan antara menerima kolonialisme (persona) dan mempertahankan identitas asli (shadow). Ritual, mitos, dan kepercayaan lokal adalah ekspresi shadow yang berusaha dihancurkan oleh kolonialisme. Junghuhn menggambarkan ketegangan antara ilmu pengetahuan dan dominasi kolonial (peradaban Eropa). Hubungan ini (ilmu pengetahuan dan kolonialisme) akan menjadi bagian dari studi pasca-kolonial.
Deskripsi Junghuhn tentang Jawa yang utuh dan harmonis mirip denganmandala Jungian—simbol penyatuan diri dan kosmos. Kerusakan akibat kolonialisme menggambarkan fragmentasi mandala, di mana manusia terpisah dari alam (ketidaksadaran kolektif). Gunung Amlong dan sungai Tji-Nagénak bisa dianggap sebagai axis mundi (poros dunia), penghubung antara dunia manusia dan spiritual. Pendakian Junghuhn ke puncak gunung mencerminkan perjalanan heroik menuju kesadaran yang lebih tinggi.
Jawa Sang Liyan
Sementara itu teori Lacan (pengantar tentang kritik budaya, psikoanalisa, dan hasrat dapat dibaca disini[7] ) membaca teks Junghuhn dalam buku ini sebagai kritik terhadap ilusi kolonial. (1) The Imaginary, kolonial membangun identitas Eropa sebagai “penyelamat”, tetapi ini adalah proyeksi palsu. 2. The Symbolic kolonial (hukum, agama) mencoba merepresi Jawa, tetapi gagal menguasai The Real (alam, resistensi lokal). 3. The Real, terus mengganggu, mengungkap ketidakmampuan tatanan simbolik untuk sepenuhnya mengontrol kehidupan.
Lacan menggambarkan The Imaginary sebagai tahap “cermin” di mana subjek membentuk identitas melalui ilusi kesatuan. Dalam teks ini, identitas kolonial Eropa (diwakili Siang) membangun diri melalui proyeksi ilusi atas Jawa sebagai “liar” atau “primitif”. Jawa menjadi cermin yang memantulkan superioritas Eropa, sementara masyarakat Jawa dipaksa melihat diri mereka melalui lensa kolonial, lewat konstruksi imajiner Eropa untuk menegaskan diri sebagai “pencerah”.
Masyarakat Jawa mengalami keterpecahan identitas (split subject) di bawah tekanan kolonial. Mereka terjebak antara mempertahankan identitas asli (harmoni alam) dan menerima identitas yang dipaksakan (Kristen, modernitas). Ini mirip dengan Lacanian méconnaissance (kesalahpengenalan diri).
Bahasa Kolonial sebagai struktur simbolik, Lacan merujuk pada tatanan bahasa, hukum, dan norma yang mengatur masyarakat. Dalam teks ini, kolonialisme Belanda dan agama Kristen memaksakan tatanan simbolik baru (bahasa, hukum, doktrin) yang menggantikan sistem lokal. Penjelasan ini dapat dilihat dari Bagian 2 buku ini.
Dialog Siang vs. Malam mencerminkan pertarungan dua sistem simbolik. Siang sebagai simbolik Eropa (rasionalitas, sains, Kristen) yang ingin menguasai Jawa. Malam sebagai simbolik Jawa (mitos, adat, hubungan dengan alam) yang terancam punah. Junghuhn mengkritik kolonialisme sebagai kekerasan simbolik yang memutus masyarakat Jawa dari akar makna mereka.
Masyarakat Jawa menjadi “sang liyan” (the Other) dalam tatanan simbolik kolonial. Mereka dipaksa berbicara melalui bahasa dan nilai Eropa, yang menciptakan keterasingan (alienation) dari diri asli.
Alam Jawa sebagai The Real, bagi Lacan The Real adalah yang tak terungkap, tak terwakili dalam bahasa, dan mengganggu tatanan simbolik. Dalam teks ini, alam Jawa (hutan, harimau, sungai) mewakili The Real—kekuatan liar yang tak bisa sepenuhnya dikontrol oleh kolonialisme. Serangan harimau adalah gangguan dari The Real yang mengingatkan pada ketidakberdayaan manusia di hadapan alam. Kolonialisme mencoba “menjinakkan” The Real ini melalui hukum dan agama, tetapi gagal.
Represi kolonial menciptakan trauma kolektif yang tak terungkap dalam sistem simbolik Jawa. Ritual lokal (seperti reaksi emosional terhadap kematian harimau) mungkin adalah upaya merespons The Real ini—sebuah bentuk resistensi tanpa bahasa. Kegagalan misi Kristen dan ambruknya ilusi kolonial (seperti ketidakmampuan Kuli Jawa patuh) menunjukkan celah dalam The Symbolic Lacan menyebut ini lack (kekurangan) yang tak pernah terpenuhi oleh bahasa atau kekuasaan.
Dalam lensa Lacan terdapat relasi antara penanda (signifier) dan petanda (signified). Kolonialisme menggunakan penanda seperti “peradaban”, “Kebenaran Kristen”, atau “kemajuan” untuk menciptakan petanda palsu yang menguasai Jawa. Kata “pencerahan (Siang) adalah penanda kosong yang menutupi eksploitasi kolonial. Kuli Jawa yang enggan mengangkut barang atau mengikuti perintah. Cerita kuli-kuli Jawa meninggalkan tugas mereka, lebih memilih tidur atau bersantai, meski dijanjikan imbalan adalah petanda bahwa kegagalan bahasa/kuasa kolonial untuk sepenuhnya menginternalisasi nilai-nilainya dalam subjek Jawa. Masyarakat Jawa menggunakan tanda-tanda lokal (ritual, hubungan dengan alam) sebagai subversi semiotik terhadap penanda kolonial. Ini mirip dengan Lacanian “jouissance”—kenikmatan yang melampaui tatanan simbolik.
Fajar dan Senja: Diri masing-masing yang rapuh
Dalam konteks relasi Lacanian, Senja dan Fajar dapat dimaknai sebagai metafora untuk transisi antara tatanan psikoanalitis yang diusung Jacques Lacan—Real, Symbolic, dan Imaginary. Senja, sebagai periode peralihan dari terang ke gelap, sering diasosiasikan dengan ketidakstabilan batas antara tatanan Symbolic (bahasa, norma) dan Real (yang tak terungkap, traumatis).Di atas dijelaskan The Real adalah ranah yang tidak terpahami oleh bahasa atau struktur sosial. Senja bisa mewakili momen ketika subjek menghadapi “celah” dalam tatanan Symbolic, di mana keinginan (objet petit a) dan kegagalan bahasa untuk merepresentasikan Real menjadi nyata.
Kisah dalam halaman 159 tentang “pemuka agama Jawa yang mendekatd an ingin menjadi Nasrani dan mempelajari Al Kitab merupakan sebuah peralihan dari terang ke gelap. Percakapan di halaman 254 memperlihatkan hal tersebut. “ Senja: saudara terkasih! Upayamu untuk menentang kepercayaan tak berdasar argumen rasioanl dan mengggantikan kesalahan dengan kebenaran alam adalah patut diacungi jempol. Ini adalah satu-satunya cara untuk membuka jalan menuju agama yang lebih baik, berdasarkan akal sehat, dan menjaga jawa dari bencana besar yang akan dihadapi oleh pemimpin fanatik. Namun, ajaran gama dan etika yang ingin kamu tempatkan sebagai pengganti dogmaKkristen hanya bisa dianggap sebagai tindakan sementara dan, dalam hal ini adalah fase peralihan.” .
Fajar, sebagai peralihan dari gelap ke terang, melambangkan kembalinya subjek ke tatanan Symbolic—dunia yang diatur oleh bahasa, hukum, dan struktur sosial. Lacan menekankan bahwa subjek hanya dapat “ada” melalui interaksi dengan tatanan Symbolic. Fajar bisa dimaknai sebagai momen penguatan kembali identitas melalui bahasa dan norma, setelah menghadapi kegelisahan dari Real di malam hari.Sub Bab Pengakuan Iman dari Saudara Fajar pada halaman 315 (sebagai kelanjutan dialig panjang Senja dan Malam, dengan interupsi Fajar) menarik dimana Fajar mengatakan Tuhanku adalah diriku sendiri: manusia. Agamaku antropologi. Kebijaksanaanku adalah akal, kehendak, dan kasih yang bergerak dalam diriku. Takdirku adalah berada dalam genggamanku. Aku dapat memandu takdirku dengan lebih pasti, seiring dengan pemahamanku terhadap hukum alam, termasuk yyang mengatur manusia sebagai spesies. Dan seterusnya pada halaman 322.
Senja bisa menjadi momen ketika karakter Siang dan Malam melihat bayangan diri mereka (seperti dalam cermin), menciptakan ilusi kesatuan yang sebenarnya rapuh. Senja sebagai pencarian objet petit a (objek hasrat yang tak tercapai) yang semakin intens saat Real mengintip. Fajar sebagai pengakuan bahwa hasrat itu ilusi, dan subjek harus kembali ke tatanan Symbolic, percakapan malam dan siang dimediasi oleh suasana peralihan ini, liminalitas. Liminalitas mencerminkan momen atau ruang di mana individu berada di antara dua keadaan atau identitas—misalnya, antara keinginan dan realitas, atau antara ego dan ketidaksadaran. Dalam konteks psikoanalisis Lacanian, liminalitas juga dapat merujuk pada ketegangan antara jouissance (kenikmatan yang melampaui batas) dan desire (hasrat yang muncul dari kekurangan).
Lacan menekankan bahwa subjek manusia selalu berada dalam proses menjadi, tidak pernah sepenuhnya tetap atau terdefinisi. Liminalitas ini menciptakan ruang bagi transformasi dan pembentukan identitas melalui interaksi dengan bahasa, simbol, dan pengalaman. Junghuhn menunjukkan bahwa kolonialisme adalah upaya sia-sia untuk menjinakkan “The Real” Jawa, sementara masyarakat Jawa sendiri hidup dalam kesenjangan (lack) antara tatanan simbolik mereka yang hancur dan ilusi kolonial yang dipaksakan. Dengan demikian, menjadi cermin Lacanian tentang keterpecahan subjek di bawah kekuasaan—baik kolonisator maupun yang terjajah.
[1] Malam – Studi Kamus – Alkitab SABDA
[2] Makna Malam Natal: Refleksi, Harapan, dan Kasih – Forum Keadilan
[3] Freud, Sigmund. 1987. Memperkenlkan Psikoanalisa: Lima Ceramah (terjemahan dan pendahuluan oleh K. Bertens). Penerbit PT Gramedia, Jakarta
[5] Platonism – Neoplatonism, Philosophy, Mysticism | Britannica
[6] Jung, Carl-Gustav.1989. Memperkenalkan Psikologi Analitis: Pendekatan Terhadap Ketidaksadaran (Terjemahan dan Pendahuluan oleh G. Cremers). Penerbit PT Gramedi, Jakarta
[7] Bracher, Mark. 2009. Jacques Lacan: Diskursus dan Perubahan Sosial. Penerbit Jalasutra-Yogyakarta, Psikoanalisis Lacanian: Tahap Kesadaran Simbolik | by Ihza | Medium
Cover diambil dari Junghuhn.pdf hal 186