Zero Waste Talk

Mengapa Restoran Saya Bisa Disebut Zero Waste

oleh: widhyanto muttaqien

Langkah Pertama Dalam Zero Waste Restaurant:

Memilih input produksi ramah lingkungan dan mendukung program perbaikan lingkungan.

Mengurangi Penggunaan Anda

  1. Menawarkan pelanggan diskon jika mereka membawa mug sendiri, wadah, atau tas mereka.
    1. Gantilah perkakas dapur Anda dan peralatan makan yang mug permanen atau bukan yang sekali pakai.
    2. Karyawan dan staf juga menjadi bagian dari pengurangan pemakaian produk sekali pakai.
  2. Gunakan selalu wadah atau kontainer yang memenuhi persyaratan kesehatan setempat.
  3. Membeli barang secara teratur sesuai kebutuhan (rencanakan manjemen stok/cadangan)
  4. Tanyakan kepada pemasok Anda untuk mengambil kembali kotak pengiriman untuk digunakan kembali atau didaur-ulang
  5. Mintalah informasi tentang produk-produk baru yang dapat mengurangi limbah.
  6. Pilihlah suplier kebutuhan pangan Anda yang ramah lingkungan (termasuk di dalamnya tidak menggunakan pestisida kimia atau pupuk kimia).
  7. Bergabunglah dengan petani lokal atau masyarakat lokal yang telah menanam dan membudidayakan hortikultura (dalam kawasan perkotaan dikenal urban farming)
Beberapa logo sertifikasi produk

Beberapa logo sertifikasi produk

Langkah Kedua Dalam Zero Waste Restaurant:

Membuat makanan yang memiliki kandungan gizi yang cukup dan memberikan informasi kepada konsumen tentang apa yang terdapat dalam makanan yang mereka beli.

  1. Buat makanan yang memiliki angka kecukupan gizi yang seimbang (antara karbohidrat, protein, vitamin dan mineral, lemak)
  2. Menginformasikan pilihan menu sehat kepada konsumen
  3. Menjaga kebersihan di dapur dan ruang makan, serta fasilitas cuci dan toilet.
Makanan-Sehat-Gizi-Seimbang

Makanan sehat dan gizi yang seimbang menjadi pilihan yang diinformasikan kepada konsumen

Langkah Ketiga Dalam Zero Waste Restaurant:

Melakukan pengelolaan sampah dan sisa aktivitas masak yang tidak bisa dikonsumsi, namun bisa dijadikan produk lain, seperti biodiesel untuk jelantah dan pakan ternak untuk sisa makanan atau dijadikan pupuk organik (kompos)

  1. Memastikan bahan beracun dan berbahaya limbah minyak goreng (jelantah) Anda, ditampung untuk didaur ulang, misalnya menjadi produk biodiesel.
  2. Melakukan program daur ulang untuk sisa makanan menjadi kompos atau pakan ternak.
  3. Siapkan program daur ulang di restoran Anda dengan memberikan informasi dan kemudahan bagi konsumen untuk ikut serta dalam program ini, misalnya untuk anak diajarkan memilah pada waktu tertentu.
  4. Berikan insentif kepada pelanggan agar selalu menghabiskan makanan mereka dan membayar mereka dengan kompos yang ada buat.
  5. Melakukan penghematan pada pemakaian air, minyak sayur, dan energi listrik.

 

Langkah Keempat Dalam Zero Waste Restaurant:

Membagi makanan kepada orang lain yang lebih membutuhkan, daripada membuangnya. Mengatur barang-barang yang tidak terpakai untuk dimanfaatkan orang lain.

  1. Kerjasama dengan pelanggan atau konsumen Anda dengan menginformasikan, bahwa Anda memiliki program donasi untuk makanan yang berlebih setiap hari.
  2. Komunikasikan bahwa berbagi kepada sesama adalah bagian dari cara Anda melakukan bisnis.
  3. Kurangi tumpukkan barang yang tidak dibutuhkan dalam upaya pencegahan bersarangnya hama, seperti tikus dan kecoa.
  4. Jika perlu mengganti furnitur atau bagian dari desain restoran, buatlah program hibah. Berbagilah dengan orang terdekat Anda, misalnya karyawan Anda atau pelanggan setia Anda.
Gerakan Food Not Bomb, adalah gerakan tanding, anak-anak muda anti kekerasan dan memilih untuk melakukan tindakan kerelawanan dalam menyediakan makanan sehat untuk yang membutuhkan, misalnya kaum miskin kota

Gerakan Food Not Bomb, adalah gerakan tanding, anak-anak muda anti kekerasan dan memilih untuk melakukan tindakan kerelawanan dalam menyediakan makanan sehat untuk yang membutuhkan, misalnya kaum miskin kota

Mengenal Zero Waste Restaurant

oleh: widhyanto muttaqien

 

Langkah pertama mengurangi makanan terbuang adalah melakukan penilaian limbah makanan. Sebuah penilaian limbah makanan akan mengidentifikasi apa yang sebenarnya sedang dibuang. Dengan mengenal apa yang Anda buang, Anda dapat mengurangi biaya pembuangan, mengurangi lebih dari pembelian dan biaya tenaga kerja, mengurangi air dan penggunaan energi yang terkait dengan produksi pangan, dan mengurangi emisi gas rumah kaca. http://www.creata.or.id/riset-zero-waste-restaurant/

Dalam laporannya, National Geographic Edisi Maret 2016
mengungkapkan bahwa sekitar sepertiga makanan di seluruh dunia terbuang. 
Di sisi lain ada 800 juta orang per tahun kelaparan.

Buah-buahan dan sayur mayur, bagian dari 1.3 milyar ton makanan yang terbuang. Sepanjang Rantai Suplai, buah-buahan dan sayur mayur lebih banyak terbuang, dibandingkan dikonsumsi. Kira-kira dalam rantai makanan ini 20% hilang dalam proses pemetikan dan pengepakan. Sekitar 3% hilang dalam proses penyimpanan dan pengiriman. Sekitar 2% hilang dalam saat produksi, seperti pengalengan, membuat jus, atau memasaknya. Sekitar 9% dibuang di tingkat grosir atau supermarket. Sekitar 19% tidak termakan atau dibuang di rumah tangga.

 

Sisa sayur dan buah-buahan yang terbuang

Sisa sayur dan buah-buahan yang terbuang

Zero Waste Restaurant (ZWR) yang digagas Creata mengajak pemilik restoran untuk mengurangi pembuangan dan langsung mengedukasi konsumen di meja makan, dengan dua tagar #janganbuangmakananmu dan #bukanporsitapigizi. ZWR sendiri memiliki kegiatan yang menghubungkan hulu-hilir.

  1. Memilih input produksi ramah lingkungan dan mendukung program perbaikan lingkungan.
  2. Membuat makanan yang memiliki kandungan gizi dan memberikan informasi kepada konsumen tentang apa yang terdapat dalam makanan yang mereka beli.
  3. Melakukan pengelolaan sampah dan sisa aktivitas masak yang tidak bisa dikonsumsi, namun bisa dijadikan produk lain, seperti biodiesel untuk jelantah dan pakan ternak untuk sisa makanan atau dijadikan pupuk organik (kompos)
  4. Membagi makanan kepada orang lain yang lebih membutuhkan, daripada membuangnya.

 

Jadi jangan buang makananmu!

Gaya Hidup Konsumsi Berkelanjutan

oleh: widhyanto muttaqien

Sekilas Konsumerisme

Konsumerisme, mengonsumsi barang dan jasa lebih dari kebutuhan dasar seseorang. Gelombang pasang konsumtif yang signifikan melanda Eropa dan Amerika Utara pada abad pertengahan ke-18 sebagai akibat dari Revolusi Industri dan transformasi ekonomi Eropa Barat dan Amerika Utara. Mekanisasi sejumlah proses dalam pertanian dan hilangnya penggunaan tenaga kerja manusia dalam persentase tertentu memicu Revolusi Industri dan pertumbuhan penduduk perkotaan (juga perdesaan karena gizi yang baik dan akses terhadap energi yang lebih merata).

Hasil dari industrialisasi menciptakan kondisi produksi massal dan konsumsi massa, untuk pertama kalinya dalam jumlah besar. Barang-barang manufaktur tiba-tiba tersedia untuk semua orang dengan harga luar biasa rendah. Pada abad ke-19, konsumsi mencolok (conspicuous consumption) diperkenalkan oleh ekonom dan sosiolog Thorstein Veblen (1857-1929), dalam buku Theory of the Leisure Class: An Economic Study in the Evolution of Institutions (1899), untuk menggambarkan perilaku karakteristik orang kaya baru (OKB). Sebuah kelas sosial yang muncul sebagai akibat dari akumulasi modal selama Revolusi Industri Kedua (sekitar tahun 1860-1914).

Perang Dunia II membawa kebutuhan yang kuat untuk melestarikan sumber daya alam, karena akibat perang menyebabkan kelangkaan sumber daya. Perang menyebabkan prioritas penggunaan sumberdaya fokus pada pembuatan senjata penghancur, yang menghacurkan pertanian, menghancurkan sumber pangan, menghancurkan sumber air, menghancurkan sumber energi, menghancurkan peradaban. Walaupun ada persoalan bisnis di balik perang, termasuk dalam bisnis minyak dan pangan.

http://www.zejournal.mobi/id/index.php/news/show_detail/8744

Untuk pertama kalinya kampanye untuk pelestarian sumberdaya yang melibatkan warga dilakukan oleh Pemerintah AS. Mereka meluncurkan kampanye besar-besaran mendesak warga untuk menjadi patriotik dengan melestarikan sumber daya, menggunakan kembali dan mendaur ulang, menanam makanan mereka sendiri, dan untuk berbagi. Akibatnya, berhemat menjadi norma baru.

Dalam pengertian lain beberapa penulis, memiliki istilah seperti ‘konsumsi ceroboh’ (profligate consumption), yaitu bentuk konsumsi yang dalam pepatah Indonesia, disebut ‘lebih besar pasak daripada tiang’. Konsumsi ceroboh ini bukan hanya menghinggapi kaum kaya atau OKB, namun juga sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki kekayaan begitu besar. Beberapa kajian kemiskinan di Indonesia memperlihatkan bahwa bentuk-bentuk konsumsi seperti ini mengawetkan kemiskinan menjadi ‘lingkaran setan’ kemiskinan.

Istilah lain terkait konsumerisme adalah Masyarakat Berkelimpahan (1958)  sebuah istilah yang dipopulerkan oleh ekonom Harvard, John Kenneth Galbraith. Buku dengan judul Affluent Society ini berusaha untuk menguraikan situasi pasca-Perang Dunia II, dimana Amerika Serikat telah menjadi kaya di sektor swasta, tetapi tetap miskin di sektor publik, kurang infrastruktur sosial dan fisik, dan mengabadikan perbedaan pendapatan.

Catatan Galbraith dalam buku ini adalah permintaan barang dan jasa tidak organik. Artinya, tuntutan tidak diciptakan secara internal oleh konsumen. Tuntutan tersebut – makanan, pakaian, dan tempat tinggal – telah dipenuhi untuk sebagian besar orang Amerika. Tuntutan baru yang dibuat oleh pengiklan dan “mesin untuk penciptaan permintaan konsumen” sebagai dampak dari peningkatan belanja konsumen. Konsumsi terus menerus diciptakan dari rasa kepuasan, artinya keinginan adalah hasrat untuk mencapai kepuasan-namun kepuasan dalam hal ini adalah imaji yang diberikan oleh iklan bukan disebabkan kebutuhan.

Sampai saat ini Amerika menghasilkan separuh dari limbah padat di dunia 
meskipun hanya 5 persen dari populasi dunia (WBCSD, 2014).

Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan

Konsumsi dan Produksi Berkelanjutan adalah penggunaan (baca: konsumsi) barang dan jasa untuk merespon kebutuhan dasar dan memenuhi syarat kehidupan, dengan cara (baca: produksi) meminimalkan penggunaan sumber daya alam, bahan beracun, dan emisi limbah dan polutan selama siklus hidup, sehingga tidak membahayakan kebutuhan generasi mendatang ( Symposium Sustainable Consumption. Oslo, Norway; 19-20 January 1994).

World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) mencatat beberapa hal yang menjadi tantangan pembangunan berkelanjutan, dimana sektor bisnis dapat membantu mengembangkan tingkat yang lebih berkelanjutan dan pola konsumsi.

Dari sisi kompetisi kesempatan ini bagi sektor bisnis membantu konsumen memilih dan menggunakan barang-barang mereka dan layanan secara berkelanjutan. Untuk melakukannya, bisnis harus menciptakan nilai yang berkelanjutan bagi konsumen dengan menyediakan produk dan layanan yang memenuhi fungsional mereka dan kebutuhan emosional – sekarang dan untuk generasi mendatang – sementara menghormati batas lingkungan dan nilai-nilai bersama.

Beberapa isu yang menjadi tantangan bagi sektor bisnis adalah:

1. Pendorong Konsumsi Global

  1. Pertumbuhan cepat populasi global – Penduduk 9 miliar diharapkan pada tahun 2050
  2. Kenaikan kemakmuran global dan terkait konsumsi – kelas menengah global diperkirakan tiga kali lipat pada tahun 2030;
  3. Konsumen berpenghasilan rendah merupakan pasar dari US $ 5.000.000.000.000
  4. Budaya “konsumerisme” di antara kelompok pendapatan yang lebih tinggi, yang jumlahnya terbesar dari sisi pendapatan per kapita global

2. Pola konsumsi global & dampaknya

  1. Ekosistem Bumi – 60% dari jasa ekosistem bumi telah terdegradasi dalam 50 tahun terakhir.
  2. Pasokan energi dan bahan sumber daya yang dibutuhkan untuk pertumbuhan industri – konsumsi sumber daya alam diperkirakan meningkat hingga 170% dari bio-kapasitas bumi tahun 2040
  3. Sistem sosial manusia dan kesejahteraan – Kesejahteraan manusia tidak selalu bergantung pada tingginya tingkat konsumsi

3. Peran konsumen

  1. Konsumen semakin khawatir tentang isu-isu lingkungan, sosial dan ekonomi, dan semakin bersedia untuk bertindak atas kekhawatiran mereka
  2. Kesediaan Konsumen sering tidak diterjemahkan ke dalam perilaku konsumen yang berkelanjutan karena berbagai faktor -seperti;
    a. ketersediaan,
    b. keterjangkauan,
    c. kemudahan,
    d. kinerja produk,
    e. prioritas yang saling bertentangan,
    f. skeptisisme dan,
    g. kekuatan kebiasaan

4. Peran bisnis 

Pengarusutamaan konsumsi berkelanjutan. Kasus bisnis: Bisnis pendekatan untuk konsumsi berkelanjutan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori:

  1. Inovasi – proses bisnis dalam pengembangan produk baru dan peningkatan layanan dan pergeseran bisnis untuk menggabungkan ketentuan yang disepakati yaitu memaksimalkan nilai sosial dan meminimalkan biaya lingkungan sebagai ‘raison d’etre bisnis’ (bottom line)
  2. Pilihan memengaruhi – penggunaan pemasaran dan kampanye peningkatan kesadaran untuk mengaktifkan dan mendorong konsumen untuk memilih dan menggunakan produk yang lebih efisien dan berkelanjutan.
  3. Pilihan penyuntingan – penghapusan “tidak berkelanjutan” produk dan jasa dari pasar dalam kemitraan dengan aktor lain dalam masyarakat.

5. Tantangan ke depan & pilihan untuk perubahan

Untuk dapat mengarahkan gaya hidup yang berkelanjutan berdasarkan keputusan informasi pembelian dan perubahan perilaku, konsumen membutuhkan dukungan dari semua aktor: bisnis, pemerintah dan masyarakat sipil

  1. Bisnis melihat kebutuhan untuk dialog lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan (seperti konsumen, pengecer, pemasar, pembuat kebijakan, LSM) dan antara perusahaan untuk menentukan produk yang berkelanjutan dan gaya hidup serta merumuskan tanggapan balik untuk ditindaklanjuti
  2. Pemimpin bisnis mesti memiliki kapasitas untuk memilih pola konsumsi yang berkelanjutan dan pemangku kepentingan menyambut kesempatan untuk bekerja bersama bisnis bergerak maju.

Pendekatan di atas adalah pendekatan yamg tetap bertumpu pada kepentingan pasar. Nair (2013) menjelaskan bahwa sumbu utama dalam menyelamatkan Asia, dalam bingkai konsumsi dan produksi berkelanjutan adalah dengan pembatasan terhadap cara-cara pengelolaan lingkungan yang tidak ramah, dengan menghitung biaya kerusakan sumberdaya, emisi, dan jasa lingkungan. Model pelarangan penggunaan jaring pukat, sebenarnya sudah lama  diatur, namun dalam era pemerintahan Jokowi, penegakkan hukum sungguh-sungguh dilaksanakan. Model pelarangan pembukaan lahan, menggantikannya dengan merestorasi lahan kritis dapat menjadi alternatif bagi pemerintah untuk pengembangan hutan produksi, hutan tanaman industri.

Kedua, dengan menyediakan barang publik dan mengecilkan posisi atau status barang, misalnya dengan memberikan pajak yang besar terhadap mobil yang mengonsumsi bahan bakar besar, memberikan infrastruktur bagi mobil yang ramah lingkungan. Untuk penyediaan barang publik, kasus transformasi di PT. Kereta Api Indonesia, dengan pelayanan Commuter Line-nya merupakan contoh bagaimana publik diberikan pilihan yang rasional, menyangkut kecepatan dan ketersediaan jasa transportasi massal.

 

Konsumen Hijau

Dalam beberapa tahun terakhir, isu-isu lingkungan telah menerima banyak perhatian, mencerminkan meningkatnya perhatian publik dan kesadaran masalah lingkungan. Kampanye berbagai kelompok lingkungan telah menyebarkan pengetahuan dan kesadaran masalah lingkungan. Liputan media pada isu-isu lingkungan telah meningkat secara dramatis. Lingkungan kebijakan juga banyak dipengaruhi oelh protokol internasional, seperti kesepakatan yang dibangun dalam serial Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi.

Ada bukti bahwa sebagian besar pasar Barat telah dipengaruhi oleh perilaku konsumen hijau, yang berarti perilaku yang mencerminkan kepedulian tentang efek dari manufaktur dan konsumsi pada lingkungan alam.

Selain perubahan hukum, selama dekade terakhir banyak perusahaan mulai merasakan dampak dari kekuatan pasar, konsumen telah berubah dari tidak peduli menjadi lebih peduli terhdap lingkungan. Bahkan sekarang, konsumen sering memboikot perilaku yang dihasilkan produsen berdasarkan pelaporan media dan aktivitas kelompok penekan.

Pertanyaan penting dalam melihat pelaku konsumen hijau dapat dilihat dalam daftar pertanyaan sebagai berikut.

  1. Apa yang mendorong konsumen hijau? Apa nilai-nilai, motif, dan keinginan dibalik perilaku konsumen hijau?Apa yang mendorong emosi dan perasaan yang terhubung dengan belanja hijau?
  2. Apakah perilaku konsumen hijau membawa etika, agama dan / atau dimensi spiritual?
  3. Apakah pengetahuan dan pemahaman tentang isu-isu lingkungan dipegang oleh konsumen hijau? Bagaimana pembelajaran terjadi mengenai konsumsi hijau?
  4. Apakah konsumen hijau memiliki profil khas secara sosio-demografis? Apakah perilaku konsumen hijau dapat dikaitkan dengan usia, jenis kelamin, pendapatan, pandangan politik, dll?
  5. Pengaruh apa yang diberikan oleh kelompok sebaya dan jaringan sosial untuk membuat orang berperilaku dalam cara yang ramah lingkungan?
  6. Apakah perilaku konsumen hijau adalah ekspresi dari pilihan gaya hidup tertentu?
  7. Seberapa jauh perilaku konsumen hijau dibentuk oleh iklim budaya yang sedang terjadi? Seberapa jauh perilaku konsumen hijau mengembangkan dampak budaya sendiri?
  8. Apakah perilaku konsumen bagian hijau dari budaya-tanding yang terlepas dari masyarakat yang lebih luas? Apakah konsumen hijau mencerminkan perilaku keterasingan dengan praktik sosial konvensional?

Pustaka

Nair, Chandran. 2013. Consumptionomics. Peran Asia Dalam Menciptakan Model Kapitalisme Baru. Red & White Publishing. ISBN 978-979-1008-69-3

Wagner, Sigmund A. 1997. Understanding Green Consumer Behaviour: A qualitative cognitive approach. ISBN 0-203-75227-9 (Adobe eReader Format). Routledge.

The Business Role Focus Area. 2008. Business Role Focus Area’s Sustainable Consumption & Consumers. ISBN 978-3-940388-30-8. World Business Council for Sustainable Development.