Nyawa Tanah dan Kodrat Alam
- 0 Comments
- 05 October 2025
Ulasan Buku Vandana Shiva oleh Widhyanto Muttaqien
Terra Viva
Selama lebih dari empat dasawarsa Vandana Shiva dengan gigih berada di baris depan perjuangan untuk melestarikan benih, mempertahankan kedaulatan pangan, dan menguak kaitan antara perusakan alam, keserakahan korporat, dan polarisasi masyarakat.
Buku Terra Viva adalah memoar pribadi Vandana Shiva yang merekam perjalanan hidupnya dari fisikawan kuantum menjadi aktivis lingkungan dan pemikir ekofeminis. Dalam buku ini, Shiva mengisahkan masa kecilnya di kaki Pegunungan Himalaya, sebuah masa yang membentuk kesadaran ekologisnya. Ia menyoroti bagaimana orang tuanya mendidik tanpa membedakan gender di sebuah era di mana kesetaraan belum menjadi kebiasaan umum. Jalan intelektualnya yang khas mengawinkan sains, terutama fisika kuantum, dengan kebijakan lingkungan, menjadikannya aktivis yang berfokus pada keadilan sosial dan ekologis. Shiva menulis, hasilnya bukan sekadar catatan tentang aktivisme seumur hidup, melainkan juga analisis jernih akan tantangan masa depan kita bersama.
Memoar ini membagi perjuangan yang dilaluinya menjadi empat bagian besar: pertama, gerakan menyelamatkan hutan, yang mengangkat konflik dan resistensi terhadap perusakan alam di tingkat lokal; kedua, revolusi benih, yang berfokus pada upaya mempertahankan kedaulatan pangan dengan melawan privatisasi benih dan biopirasi oleh korporasi besar yang mematenkan benih-benih tradisional; ketiga, perlawanan terhadap privatisasi air, sebuah sumber kehidupan yang semakin dikuasai oleh perusahaan melalui mekanisme pasar; dan keempat, perlawanan terhadap korporasi dan elit global yang menjalankan bisnis dengan pola-pola eksploitatif dan merusak lingkungan.
“Akar dari banyaknya konflik dan kerusakan (sosial-ekologis-budaya) terletak pada level paradigmatik, yaitu memperlakukan alam sebagai objek. Ini imbas dari cara pandang patriarkis yang sarat dominasi dan berwatak penakluk”
Dalam Terra Viva, Shiva mengangkat konsep biopirasi dan bio-imperialisme sebagai bentuk penjajahan baru yang menggunakan sistem paten untuk memprivatisasi pengetahuan lokal dan benih tanaman yang sejatinya merupakan warisan bersama masyarakat adat dan petani kecil. Ia mengkritik keras bagaimana korporasi multinasional memperlakukan alam sebagai objek komoditas. Perempuan mendapatkan sorotan khusus sebagai pelaku penting dalam pelestarian alam dan pengetahuan tradisional. Gerakan akar rumput seperti Chipko (secara harafiah artinya memegang erat) di India mencontohkan bagaimana perempuan membela hutan dari perusakan, melambangkan hubungan holistik antara manusia dan alam yang penuh rasa hormat dan tanggung jawab. Shiva mendapatkan pelajaran penting dari gerakan akar rumput ini.
Rangkul pohon-pohon dan
Selamatkan mereka dari penebangan
Milik perbukitan kita,
Selamatkan dari penjarahan (Raturi, 1972)
Shiva juga menyajikan kritik tajam terhadap paradigma dominasi patriarkis dan kapitalistik yang menjadikan alam sebagai objek yang bisa direduksi, dikontrol, dan dieksploitasi. Paradigma ini, menurutnya, menjadi akar dari konflik sosial-ekologis yang berlangsung luas. Sebagai alternatif, ia mengusung paradigma ekofeminisme, yang menempatkan alam sebagai entitas hidup yang swadaya produktif dan memiliki kapasitas menyembuhkan diri jika diberikan ruang yang cukup. Dalam kata-katanya, ekofeminisme adalah “tandingan eksploitasi” yang membuka kemungkinan hubungan baru antara manusia dan alam, bukan dominasi dan penghancuran.
Buku Terra Viva menjadi sebuah cermin penting, terutama bagi pembaca di Indonesia yang siap menyadari dan mengkritisi persoalan ekologis dan sosial dari perspektif yang integratif dan partisipatif. Judul buku ini sendiri, yang berarti “bumi yang hidup,” mengajak kita untuk menjaga dan merawat bumi sebagai makhluk hidup yang memerlukan perhatian dan perlindungan bersama agar keberlanjutan dan keadilan ekologis dapat tercapai.
Kodrat Alam
Dalam bukunya, Vandana Shiva mengajak pembaca untuk mengubah secara radikal cara pandang terhadap alam. Ia menolak narasi lama yang menganggap manusia sebagai makhluk superior yang berdiri terpisah di atas alam yang dianggap “mati” dan hanya sebagai sumber daya. Shiva menegaskan bahwa alam adalah sistem hidup yang saling terhubung, kompleks, dan dinamis, yang secara alami berusaha mencapai keseimbangan. Ia menyatakan, “Rather than considering humans as separate from, and superior to a dead Earth, we need to remember that nature herself is a living system that seeks balance.” Pemahaman ini menjadi dasar penting agar manusia tidak lagi memperlakukan alam sebagai objek yang bisa ditembus dan dieksploitasi tanpa batas.
Shiva kemudian mengulas akar krisis iklim yang kini mengancam keberlangsungan hidup dunia, yaitu sistem ekonomi linear yang berorientasi pada ekstraksi dan produksi masif tanpa siklus regenerasi. Sistem ekonomi ini mendorong ketergantungan besar pada energi fosil dan pertanian industri yang intensif, yang keduanya menjadi kontributor utama emisi karbon dan kerusakan ekosistem. Ia menggunakan konsep “energy slaves” untuk menggambarkan bagaimana aktivitas manusia saat ini sangat bergantung pada tenaga energi fosil yang tersembunyi di balik segala produk dan layanan. Manusia secara tidak langsung memiliki “budak energi” yang menopang gaya hidup modern, namun ini menyembunyikan eksploitasi besar terhadap sumber daya alam dan memperparah ketidakseimbangan ekologis.
Selain mengkritik akar masalah tersebut, Shiva juga menekankan pentingnya bahasa yang kita gunakan dan desain kebijakan yang harus mengakui keterhubungan antara seluruh kehidupan. Ia menulis, “We need policies that reflect an understanding of the interconnectedness of life, and vocabulary that names the hidden costs of linear thinking.” Dengan bahasa dan kebijakan yang baru, manusia dapat mengubah cara mereka berinteraksi dengan alam, dari yang sebelumnya semata-mata mengeksploitasi menjadi menjaga dan memulihkan. Kebijakan semacam ini tidak hanya penting untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, tapi juga untuk menegakkan keadilan sosial bagi komunitas yang selama ini terdampak.
Shiva mengakhiri dengan solusi pragmatis yang menekankan pentingnya transisi menuju pertanian organik dan praktik yang menghormati hukum-hukum ekologi. Ia memandang regenerasi tanah, keanekaragaman hayati, dan sistem iklim adalah hasil dari cara manusia menjalankan hubungan yang baru dengan alam, bukan hanya teknologi atau solusi berbasis pasar. Buku ini adalah panggilan untuk meninggalkan ekonomi dead carbon yang menghancurkan dan beralih ke ekonomi living carbon yang menghormati siklus kehidupan.
Konsep Dead Carbon dalam pemikiran Vandana Shiva merujuk pada karbon yang berasal dari bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam, yang diambil dan digunakan secara besar-besaran menyebabkan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Dead carbon ini adalah sumber kekayaan yang berlebihan yang berasal dari kolonialisme dan sekarang dikuasai oleh segelintir elite, atau 1%. Penggunaan dead carbon berkontribusi pada rusaknya siklus kehidupan karena ini adalah karbon yang sudah “mati” dan tidak berkontribusi pada regenerasi ekosistem.
Berbeda dengan itu, Shiva mengenalkan konsep Living Carbon yang ada dalam tanah sehat, tumbuhan, dan keanekaragaman hayati yang dapat meregenerasi dirinya sendiri dan mendukung sistem kehidupan alami. Menurutnya, transformasi dari ekonomi yang bergantung pada dead carbon menuju ekonomi yang menghargai living carbon adalah langkah krusial untuk menyelamatkan bumi dan mengatasi krisis iklim.
Vandana Shiva menegaskan pentingnya de-carbonisation yang konkret, yaitu meninggalkan ekonomi berbasis fosil dan industrialisasi yang merusak lingkungan, lalu beralih ke sistem pertanian organik dan konservasi yang menghormati siklus hidup dan ekologi. Ia mengkritik solusi palsu seperti teknologi pangan sintetis dan sistem perdagangan karbon yang hanya memperpanjang dominasi korporasi dan tidak benar-benar menyelesaikan akar masalah.
Dalam konteks pemikiran Vandana Shiva, transisi dari dead carbon ke living carbon dapat dilihat sebagai bagian dari upaya dekarbonisasi, namun dengan penekanan kuat pada keadilan sosial, pelestarian keanekaragaman hayati, dan penghormatan terhadap kearifan lokal. Vandana Shiva cenderung mendukung pendekatan yang mencerminkan prinsip-prinsip degrowth, yaitu pengurangan konsumsi berlebih dan dominasi korporasi yang eksploitatif, sembari mempromosikan pertanian organik, demokrasi pangan, dan resistensi terhadap industrialisasi yang merusak ekosistem dan masyarakat kecil.
Konsep dekarbonisasi menitikberatkan pada pengurangan emisi karbon dalam sektor energi, industri, dan transportasi dengan transisi ke energi terbarukan dan efisiensi energi. Tujuannya mengurangi emisi gas rumah kaca tanpa harus mengurangi pertumbuhan ekonomi total. Sementara itu, degrowth adalah konsep yang lebih radikal, mengusulkan pengurangan konsumsi dan produksi secara keseluruhan agar ekonomi selaras dengan batasan ekologis bumi, sekaligus mengutamakan redistribusi kekayaan dan kesejahteraan manusia di luar ukuran produk domestik bruto.
Irisan keduanya terletak pada pengakuan bahwa keberlanjutan ekologis memerlukan pengurangan ketergantungan pada bahan bakar fosil dan sistem ekonomi ekstraktif. Keduanya menolak ide pertumbuhan ekonomi tanpa batas (green growth) yang menganggap dapat terus tumbuh sambil meminimalkan dampak lingkungan.
Dalam pemikiran Vandana Shiva, transisi dari ekonomi berbasis dead carbon menuju ekonomi berbasis living carbon tak hanya soal inovasi energi bersih (dekarbonisasi), tetapi juga perubahan sosial-ekonomi yang sesuai dengan prinsip degrowth, yaitu penghidupan yang lebih sederhana, keadilan sosial, dan penghargaan terhadap alam serta pengetahuan lokal. Shiva menolak solusi berorientasi pasar yang hanya menggeser masalah tanpa mengubah paradigma eksploitatif.
Indonesia hari ini
Indonesia mengalami peningkatan tingkat deforestasi pada tahun 2024 dengan kehilangan 261.575 hektar hutan, setara empat kali luas Jakarta, meningkat 1,6% dari tahun sebelumnya. Sebagian besar deforestasi ini terjadi secara legal di dalam konsesi pengelolaan, dengan industri kelapa sawit, pulpwood, dan pertambangan nikel menjadi penyumbang utama. Wilayah yang paling terdampak adalah Kalimantan, Sumatra, dan Papua, yang menjadi habitat penting bagi satwa langka seperti orangutan, harimau, dan gajah.
Konflik agraria terus meningkat, khususnya selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo antara 2014 hingga 2024, tercatat 3.234 kasus konflik agraria melibatkan 7,4 juta hektar lahan dan berdampak pada sekitar 1,8 juta keluarga petani. Sektor perkebunan, terutama sawit, menjadi penyebab utama konflik dengan 67% dari kasus tersebut berasal dari industri ini. Konflik juga muncul dari proyek infrastruktur dan penguasaan lahan oleh perusahaan besar, menimbulkan kriminalisasi dan kekerasan terhadap masyarakat lokal.
Emisi karbon Indonesia masih menjadi perhatian serius dalam konteks perubahan iklim global. Indonesia menargetkan net zero emission pada tahun 2060, namun hingga 2024 belum terlihat penurunan signifikan dalam emisi CO2 yang berasal dari berbagai sektor, termasuk energi fosil dan deforestasi. Ketergantungan pada batu bara masih tinggi dengan rencana penghentian bertahap pembangkit batu bara yang baru akan mulai dilaksanakan setelah 2030. Kesiapan implementasi perdagangan karbon juga sedang dipersiapkan sebagai langkah memperbaiki target emisi jangka panjang.
Data-data ini menunjukkan kompleksitas problema yang dihadapi Indonesia dan bagaimana perjuangan Vandana Shiva sangat relevan sebagai suara kritis yang mengingatkan perlunya transisi paradigma ekologis dan sosial yang radikal. Paradigma ekofeminisme mendasarkan dirinya pada prinsip keterhubungan antara manusia dan alam, serta menentang monokultur ekonomi dan sosial yang mendiskriminasi makhluk hidup berdasarkan nilai ekonomi semata. Ekofeminisme mengutamakan nilai-nilai kepekaan, kerjasama, dan kepedulian sebagai jalan untuk meraih keadilan sosial dan kelestarian lingkungan.
Para penggagas dan pendukung paradigma ini menolak ide perubahan yang hanya bersifat teknokratis, instrumen pasar, atau pembangunan linear yang mengutamakan akumulasi modal dan dominasi teknologi tanpa mempertimbangkan justifikasi sosial dan ekologis. Mereka menolak pembangunan yang memperlakukan alam sebagai onggokan komoditas dan memperkuat ketimpangan sosial. Sebaliknya, mereka mendorong model pembangunan yang berbasis pada demokrasi partisipatif, penghormatan terhadap keragaman alam dan masyarakat, serta pengelolaan sumber daya yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.
Buku
Terra Viva: Kisah Hidupku dalam Keaneragaman Gerakan (2022), Penerbit Marjin Kiri diterjemahkan oleh Elisabet Repelita Kuswijayanti.
Kodrat Alam: Gangguan Metabolik Perubahan Iklim, (2024), Penerbit Marjin Kiri diterjemahkan oleh Elisabet Repelita Kuswijayanti.


