: Perubahan Lingkungan Hidup di Asia Tenggara (diterjemahkan dari Environmental Resources Use and Challenges in Contemporary Southeast Asia)
Pengulas: Widhyanto Muttaqien
Buku ini mengulas bagaimana kawasan Asia Tenggara menghadapi tantangan besar atas pemanfaatan sumber daya lingkungan yang berkelanjutan di tengah tekanan pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial-ekologis. Dalam konteks geopolitik, ASEAN sebagai organisasi regional memainkan peranan penting dalam membentuk rezim tata kelola lingkungan yang berusaha mengatasi isu-isu lingkungan lintas negara seperti pencemaran kabut asap, degradasi perikanan laut, dan kerusakan lahan gambut.
Peran ASEAN dalam lingkungan hidup mendapat perhatian sejak tahun 1977 dengan upaya pembentukan mekanisme dan kerangka kerja lingkungan yang bertujuan mengelola permasalahan bersama secara regional. Misalnya, deklarasi dan perjanjian seperti Manila Declaration (1981), Agreement on Conservation of Nature and Natural Resources (1985), hingga ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (2002) menunjukkan upaya membangun kebijakan lingkungan kolektif di tingkat regional. Namun, buku ini mengkritik prinsip ASEAN Way yang menekankan non-intervensi dan pengambilan keputusan melalui konsensus, yang seringkali menghambat langkah-langkah konkrit dan responsif terhadap perubahan lingkungan yang dinamis dan lintas batas.
Di tengah kemajuan integrasi ekonomi dan pembangunan manufaktur regional, ASEAN menghadapi dilema antara prioritas pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Meskipun terdapat peningkatan kapasitas kelembagaan untuk menangani masalah lingkungan, implementasi dan komitmen politik masih terbatas sehingga agenda pembangunan seringkali mendominasi di atas kebutuhan perlindungan ekosistem.
Buku ini menegaskan perlunya reformasi sikap dan cara kerja ASEAN untuk keluar dari jebakan ASEAN Way menuju gagasan regionalisme lingkungan yang lebih kuat dan kooperatif, dengan keterlibatan politik yang nyata dan keberpihakan pada keamanan manusia. Tanpa reformasi tersebut, tantangan seperti deforestasi, konflik penggunaan lahan, dan degradasi keanekaragaman hayati akan terus berlanjut, mengancam masa depan ekologis dan sosial kawasan.
Asia Tenggara kini berdiri di persimpangan penting dalam sejarah ekonomi dan politiknya. Transformasi ekonomi yang dramatis selama beberapa dekade terakhir telah mengangkat kawasan ini dari ketertinggalan menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi dunia. Buku lain, The Political Economy of South-East Asia (1997), regionalisasi dalam pengaturan lingkungan hidup sejalan dengan regionalisasi kawasan yang lebih luas, intinya pembukaan pasar dan hambatan dalam perdagangan. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) menjadi mesin penggerak perdagangan bebas, investasi terbuka, dan penghapusan hambatan ekonomi antarnegara. Kebijakan dan inisiatif di bawah payung APEC membuka peluang besar bagi negara-negara Asia Tenggara untuk memperkuat daya saing dan mengembangkan industri dengan basis pasar yang lebih luas.
Di balik kerjasama regional, dinamika kapitalisme transnasional terus memainkan peran yang menentukan. Jaringan kapital global ini, bersama kelas penguasa domestik, menjadi pengendali utama arah pembangunan ekonomi. Negara-negara seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam menunjukkan keragaman cara negara dan kelas elitnya merespons tekanan global dan domestik, mulai dari intervensi negara yang kuat sampai liberalisasi pasar yang ketat.
Model kapitalisme yang berkembang bukanlah hanya hasil mekanisme pasar semata, melainkan produk dari interaksi kompleks antara kekuatan politik dan ekonomi, di mana negara tetap memainkan peran sentral. Tidak semua negara mengikuti jalur liberal demokrasi ala Barat, ada yang memilih model otoriter berbasis kontrol politik yang kuat atas ekonomi, atau campuran keduanya. Tantangan besar adalah bagaimana menangani ketimpangan sosial, konflik etnis, masyarakat adat, dan kelas, serta memelihara stabilitas politik dalam konteks pertumbuhan ekonomi yang cepat. Konflik masyarakat adat menjadi bagian penting dalam pembangunan di kawasan Asia Tenggara.
Dalam buku Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara (1990), eksploitasi sumber daya alam secara ekstensif di wilayah adat merupakan variabel signifikan yang berkontribusi pada eskalasi konflik tripartit antara komunitas adat, negara, dan entitas korporasi. Aset komunal yang kaya akan deposit sumber daya, meliputi kawasan hutan, deposit mineral, dan lahan agrikultural tradisional, menjadi target utama pengusahaan skala besar yang berorientasi pada ekstraksi sumber daya secara masif. Konsekuensi dari proses ini adalah marjinalisasi masyarakat adat dari kontrol atas basis subsistensi dan praktik kultural mereka, yang selanjutnya mengarah pada erosi kedaulatan teritorial dan ancaman serius terhadap integritas ekologis. Degradasi lingkungan ini berpotensi mengancam keberlanjutan sosio-kultural mereka. Intensifikasi konflik tersebut sering kali diperburuk oleh kerangka regulasi yang cenderung memfasilitasi akumulasi modal ekonomi, alih-alih memberikan proteksi yang memadai terhadap hak-hak fundamental masyarakat adat.
Posisi Indonesia: Peran Para Aktor dalam Ekonomi Neolib
Indonesia menghadapi dilema antara prioritas pertumbuhan ekonomi, terutama pengembangan manufaktur dan ekspor, dengan perlindungan lingkungan yang seringkali terpinggirkan karena kekuatan politik dan elit ekonomi lokal yang ekstensif. Hal ini dapat dilihat dari tulisan Haris Gunawan (hal175-206) tengan lahan gambut di Riau dan Kalimantan Barat, contoh kasus yang digambarkan memberikan alternatif keadilan sosial dan ekologis, jika dibandingkan perusakan besar-besaran lewat program food and energy estate di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Papua Selatan.
Dari perspektif ilmu pengetahuan dan pengetahuan lingkungan, ilmuwan Indonesia dan regional sering berada di persimpangan antara produksi pengetahuan ilmiah dan penerapannya dalam pengelolaan sumber daya yang nyata. Pandangan kritis dari politik ekologi menunjukkan bahwa pengetahuan lingkungan selalu merupakan hasil politik pengetahuan, produksi, sirkulasi, dan penerapannya tidak pernah netral, melainkan diwarnai oleh kepentingan sosial-politik, serta representasi dan interpretasi yang berbeda antara masyarakat lokal, ilmuwan, pemerintah, dan aktor transnasional. Pengetahuan ilmiah yang dikembangkan di laboratorium atau institusi akademis berhadapan dan bernegosiasi dengan pengetahuan lokal dan tradisional masyarakat adat atau petani yang sumber dayanya langsung terdampak oleh kebijakan lingkungan (Goldman, Nadasdy, dan Turner (2011).
Peranan masyarakat sipil di Indonesia, khususnya kelompok petani, masyarakat adat, dan organisasi lingkungan, merupakan peran kunci dalam menuntut tata kelola sumber daya alam yang adil dan lesatri. Dengan latar belakang sejarah konflik agraria dan kepentingan kapital, mereka menantang model pembangunan yang eksploitatif dan sering mengunggulkan konservasi eksklusif yang merugikan akses masyarakat lokal terhadap sumber daya. Masyarakat sipil berupaya menggabungkan pengetahuan lokal, tradisional, dan ilmiah dalam advokasi mereka, sambil merespon praktek korporasi dan kebijakan negara yang dominan.
Indonesia merupakan contoh nyata dari interaksi antara negara, kapital domestik dan asing, serta masyarakat sipil dalam mengelola sumber daya alam. Negara dan kelas penguasa domestik mengelola proses neoliberal dan globalisasi ekonomi dengan berbagai bentuk intervensi dan kontrol politik. Sementara itu, masyarakat sipil berjuang untuk memperjuangkan akses dan keadilan ekologis. Dalam konteks ini, ilmuwan dan peneliti berperan sebagai mediator dan kritikus yang mencoba membuka ruang bagi pengetahuan yang lebih inklusif dan berorientasi keadilan sosial-ekologis.
Tentang Buku
Judul Buku: Pancaroba Tropika: Perubahan Lingkungan Hidup di Asia Tenggara (diterjemahkan dari Environmental resources use and challenges in contemporary Southeast Asia: Tropical ecosystems in transition (Asia in Transition, Vol. 7). Springer Nature Singapore).
Diterbitkan oleh Insist Press, Yogyakarta, 2021.
Penerjemah Achmad Choirudin.
Pustaka
Ghee, Lim Teck dan Gomez, Alberto G. 1990. Suku Asli dan Pembangunan di Asia Tenggara. Penerbit Obor, Jakarta.
Goldman, M. J., Nadasdy, P., & Turner, M. D. (Eds.). (2011). Knowing nature: Conversations at the intersection of political ecology and science studies. University of Chicago Press.
Rodan, G., Hewison, K., & Robison, R. (Eds.). (1997). The political economy of South-East Asia: An introduction. Oxford University Press.


