Isu Hak Atas Air, Tata Kelola Publik, dan Efisiensi BUMD
- 0 Comments
- 27 October 2025
oleh: Widhyanto Muttaqien
Perubahan status PAM Jaya dari Perumda menjadi Persero Daerah dan rencana Initial Public Offering (IPO) memicu perdebatan publik yang tajam, terutama terkait potensi komersialisasi layanan air minum yang merupakan hak asasi masyarakat. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengusulkan langkah ini sebagai upaya meningkatkan tata kelola, transparansi, dan kemandirian finansial BUMD, namun kajian dari Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KruHA, 2016) dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa air harus tetap diposisikan sebagai hak dasar yang dijamin negara, bukan sebagai komoditas yang tunduk pada logika keuntungan. Dalam konteks global, Bank Dunia dan korporasi besar seperti Monsanto (Shiva, 2002) melihat kelangkaan air sebagai peluang pasar, air adalah bisnis paling menguntungkan bagi pemilik modal https://megapolitan.kompas.com/read/2025/07/04/20422081/dorong-pam-jaya-ipo-pramono-begitu-saya-ngomong-para-konglomerat-langsung Hal memperkuat kekhawatiran bahwa transformasi PAM Jaya dapat membuka jalan bagi privatisasi yang akan menyingkirkan akses kepada masyarakat miskin untuk mendapatkannya.
Situasi air di Jakarta memperlihatkan ketimpangan serius, ketergantungan tinggi pada air tanah (70–76%) telah menyebabkan penurunan muka air dan tanah Republika – Akademisi UI Ungkap Kritisnya Kondisi Air Tanah Jakarta, sementara 64% warga belum memiliki akses air bersih melalui jaringan pipa. Infrastruktur yang belum memadai, pengelolaan kelembagaan yang terfragmentasi, dan tekanan dari polusi serta investasi rendah menunjukkan urgensi reformasi tata kelola air yang transparan dan efisien. SUPRA International – Konservasi Air Tanah di Indonesia, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta – Pemantauan Kualitas Lingkungan Air Tanah 2024 (PDF)
Ardhianie (2005) menuliskan privatisasi air dan orientasi bisnis yang mengejar keuntungan bisa memperburuk krisis air, terutama bagi warga miskin. Analisis DPSIR menunjukkan bahwa permintaan air yang terus meningkat—baik untuk rumah tangga maupun bisnis—ditambah pertumbuhan penduduk, menjadi pemicu utama tekanan terhadap sumber daya air. Tekanan ini muncul dalam bentuk polusi, minimnya investasi infrastruktur, dan kecenderungan privatisasi. Akibatnya, banyak warga kesulitan mendapatkan air ledeng, sementara penggunaan air tanah berlebihan menyebabkan tanah turun, air tanah menyusut, dan muncul berbagai penyakit. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah merespons dengan berbagai cara: mengatur permintaan air, mengolah air limbah, mendatangkan air dari daerah lain, hingga memperkuat lembaga pengelola air.
Lonjakan kebutuhan air untuk kegiatan bisnis jauh lebih besar pengaruhnya dibanding pertumbuhan penduduk. Misalnya, jumlah penduduk Jakarta hanya naik dari 8,3 juta di tahun 2000 menjadi 11 juta di 2019. Tapi, pendapatan daerah dari pajak—yang berasal dari aktivitas ekonomi seperti hotel, restoran, reklame, dan hiburan—melonjak 19 kali lipat, dari Rp2,1 triliun menjadi Rp40,2 triliun. Proyeksi kebutuhan 2030 ±1,5 miliar m³/tahun. Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan komersialisasi punya dampak besar terhadap tekanan air di Jakarta Proyeksi Kebutuhan Konsumsi Air Bersih Provinsi DKI Jakarta Tahun 2023–2030 – UGM Repository
Konflik antara fungsi sosial dan orientasi ekonomi menjadi titik krusial dalam perubahan status PAM Jaya. Sebagai Perumda, PAM Jaya berfungsi menyediakan layanan air minum terjangkau tanpa tujuan keuntungan, sementara sebagai Persero Daerah, orientasi laba dan nilai perusahaan berpotensi mengorbankan akses dan keterjangkauan. Penerapan model full cost recovery dalam skema Persero dapat menghambat perluasan layanan, bertentangan dengan prinsip MK yang mengutamakan hak rakyat dan pelayanan non-profit.
Masih dalam Ardhianie (2005), pengalaman DKI Jakarta dalam privatisasi tidak membuat PAM Jaya memperolah laba. Sejak awal privatisasi, telah terjadi peningkatan defisit antara tarif yang dikumpulkan dari pelanggan dan biaya yang dibayarkan PAM Jaya kepada RWE Thames dan Ondeo untuk operasinya di Jakarta. Defisit tertinggi terjadi pada tahun 2000. Perusahaan-perusahaan ini menggunakan keadaan tersebut untuk mendukung kenaikan tarif. Tarif air kini telah dinaikkan tiga kali sejak privatisasi (35% pada April 2001; lagi 40% pada April 2003 dan tambahan 30% pada Januari 2004). Jumlah total defisit hingga semester pertama 2004 adalah Rp900 miliar, dan semua ini dianggap sebagai utang PAM Jaya kepada RWE Thames dan Ondeo. Richard Gozney, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, bahkan merasa perlu menginformasikan Wakil Presiden Hamzah Haz, akhir 2003, bahwa RWE Thames mengalami kerugian US$ 1,5 juta per bulan, dan hingga November 2003 kerugian tersebut mencapai US$ 58 juta. Pada pertengahan 2004, Gubernur Jakarta setuju dengan kenaikan tarif otomatis yang dimulai dari tahun 2005. Dengan kenaikan tarif otomatis ini, izin dari gubernur dan DPRD tidak lagi diperlukan. Kenaikan ini akan diberlakukan setiap enam bulan; jika privatisasi berlanjut sesuai jadwal selama 18 tahun ke depan, Jakarta akan menghadapi 36 kali kenaikan tarif otomatis (kontrak ditandatangani pada 1997 untuk periode 25 tahun) berkebalikan dengan bukti sebelumnya https://ekonomi.republika.co.id/berita/t2uzxa423/pam-jaya-tak-bisa-naikkan-tarif-air-sembarangan-meski-sudah-ipo
Harsono (2004) menjelaskan Selama lima tahun pertama privatisasi layanan air di Jakarta (1997–2003), dua perusahaan asing—PT Thames PAM Jaya dan PT PAM Lyonnainse Jaya—mengambil alih sebagian besar jaringan PAM Jaya. Mereka melakukan konsolidasi besar-besaran, termasuk memangkas jumlah karyawan dan menjalin kerja sama dengan bank swasta terbesar di Indonesia, BCA, untuk memudahkan pembayaran tagihan air melalui ATM. Langkah-langkah ini menunjukkan upaya modernisasi sistem pembayaran dan efisiensi operasional . Andreas Harsono: Dari Thames ke Ciliwung
Namun, di balik pencapaian tersebut, muncul berbagai masalah serius. Salah satu kasus paling mencolok terjadi di kawasan Marunda, Jakarta Utara, di mana proyek bantuan Bank Dunia yang dikelola oleh RWE Thames Water gagal total. Warga Marunda menggelar demonstrasi pada Juli dan Agustus 2003 karena air tidak mengalir dengan baik. Tekanan air yang rendah dan pompa yang tidak memadai membuat distribusi air ke wilayah tersebut sangat buruk, menimbulkan kekecewaan dan kemarahan warga.
Secara statistik, memang ada peningkatan sambungan air dari 428.764 pada tahun 1997 menjadi hampir 650.000 pada akhir 2003. Cakupan layanan air bersih naik dari 43% menjadi 53%, dan volume penjualan air meningkat dari 191 juta menjadi 255 juta meter kubik. Di Jakarta Timur, sambungan air bertambah 26% dalam lima tahun. Namun, capaian ini masih jauh dari target yang ditetapkan dalam kontrak tahun 1997. Target volume penjualan seharusnya mencapai 342 juta meter kubik, dan cakupan layanan ditargetkan 70%. Tingkat air tak tertagih berhasil ditekan menjadi 47%, tetapi tetap meleset dari target 35%.
Yang lebih mengkhawatirkan, sekitar 40.000 hingga 45.000 sambungan mengalami layanan buruk—mulai dari tidak ada air sama sekali hingga tekanan air yang sangat rendah. Sementara itu, layanan yang baik justru lebih banyak dinikmati oleh kawasan elit seperti Pondok Indah dan Kemang, memperlihatkan ketimpangan distribusi air bersih di Jakarta.
Privatisasi layanan air di Jakarta terbukti gagal. Cakupan layanan air di ibu kota Indonesia masih rendah, hanya 59 persen. Infrastrukturnya dalam kondisi buruk dengan tingkat kebocoran mencapai 44 persen, sebuah situasi yang berulang kali dikecam oleh Gubernur. Akibatnya, di antara separuh penduduk yang beruntung mendapatkan akses ke air ledeng, kualitas airnya buruk (Zamzami, I., & Ardhianie, N. (2015).
| Dampak | Dampak Positif | Dampak Negatif |
| Sosial | Potensi mencapai akses air 100% pada tahun 2030 | Kenaikan tarif mengancam ATP/WTP masyarakat miskin |
| Ekonomi | Kesempatan membuka akses pembiayaan | Orientasi profit dapat mengorbankan misi sosial air |
| Legal | Legal menurut UU No. 23/2014 dan PP No. 54/2017, UU No. I7 Tahun 2019 Tentang SDA | Berpotensi melanggar putusan MK tentang air sebagai hak asasi manusia Menjamin hak dasar terkait sumberdaya air |
| Tata Kelola Publik | Transparansi meningkat melalui laporan keuangan terbuka | Risiko politik dan lemahnya pengawasan dalam privatisasi |
Meski IPO menawarkan manfaat seperti transparansi keuangan, peningkatan profesionalisme, dan kemandirian fiskal, risiko kenaikan tarif, penurunan kualitas layanan, dan komersialisasi air tetap menjadi kekhawatiran utama. Survei YLKI menunjukkan bahwa meskipun 60% warga mampu membayar tarif baru, keluhan terhadap kualitas layanan menekan willingness to pay. Akumulasi kerugian PAM Jaya sebesar Rp1,2 triliun akibat kontrak swasta sebelumnya juga menambah kompleksitas transisi ini.
Kontroversi di DPRD DKI memperlihatkan polarisasi antara fraksi pendukung yang menekankan pengawasan ketat dan fraksi penolak yang khawatir terhadap dampak sosial dari komersialisasi. Berikut adalah tabel perbandingan antara regulasi nasional dan regulasi khusus DKI Jakarta terkait PAM Jaya, perubahan status menjadi Perseroda, dan rencana IPO. Sebagian anggota DPRD menganggap permasalahan pengelolaan air tidak serta merta ‘hanya’ disesuaikan dengan regulasi yang ada. Sebab dalam regulasi, bisa jadi mengundang risiko ketidakadilan sosial dan ekologis dalam tata kelola air.
| Kategori | Regulasi Nasional | Regulasi Khusus DKI Jakarta |
| Dasar Hukum BUMD | UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: memberi kewenangan Pemda membentuk dan mengelola BUMD, termasuk perubahan menjadi Perseroda. | Perda DKI No. 10 Tahun 1999: menetapkan status awal PAM Jaya sebagai Perusahaan Daerah Air Minum. |
| Jenis dan Mekanisme BUMD | PP No. 54 Tahun 2017 tentang BUMD: membedakan Perumda (pelayanan) dan Perseroda (profit), serta mengatur mekanisme perubahan status dan IPO. | Rencana Revisi Perda PAM Jaya (2025): sedang dibahas di DPRD untuk mengubah status menjadi Perseroda sebagai syarat IPO. |
| Struktur Perseroan | UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas: mengatur struktur PT, kepemilikan saham, dan tanggung jawab direksi. | Peraturan Gubernur DKI Jakarta (belum resmi): Gubernur menyatakan perubahan status dan IPO sah dan sesuai aturan. |
| Aturan Pasar Modal | UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal: mengatur IPO, keterbukaan informasi, dan perlindungan investor, termasuk BUMD yang masuk bursa. | — |
| Hak Atas Air | UU No. I7 Tahun 2019 Tentang Sumber Daya Air: merujuk pada pasal 33 UUD 1945, Pasal 33 dan Pasal 69 huruf c UU No. 17 Tahun 2019 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku melalui UU No. 32 Tahun 2024 yang mengubah UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013 & No. 73/PUU-XVIII/2020: menegaskan air sebagai hak asasi, tidak boleh dikomersialisasi penuh, dan menetapkan 6 prinsip. | — |
Kebijakan Pemda DK Jakarta harus menekankan perlindungan hak atas air sebagai layanan publik, pengawasan publik dan DPRD yang objektif https://megapolitan.kompas.com/read/2025/09/08/17472711/rencana-ubah-status-pam-jaya-jadi-perseroda-fraksi-dprd-jakarta-terbelah, serta perbaikan kualitas layanan dan efisiensi operasional. Jika pilihannya adaalah swastanisasi, IPO harus diposisikan sebagai alat modernisasi, bukan komersialisasi murni, dengan kepemilikan saham mayoritas tetap di tangan negara. Kebijakan tarif harus transparan dan berkeadilan sosial, menjamin perlindungan bagi golongan miskin dan tempat ibadah. Tidak ada kenaikan otomatis, perlu dibentuk Tim atau badan Pengawas yang terdiri dari tokoh publik independen atau Dewan Air Ibu Kota (beranggotakan koalisi masyarakat sipil). Dalam konteks Jakarta yang kompleks, keseimbangan antara efisiensi ekonomi dan fungsi sosial menjadi syarat mutlak agar transformasi PAM Jaya tidak mengorbankan hak dasar masyarakat atas air.
Kasus privatisasi layanan air di Manila, Filipina, seringkali menjadi studi kasus yang paling menonjol dan kontroversial dalam diskusi mengenai keterlibatan swasta di Asia Tenggara. Sejak konsesi skala besar dimulai pada tahun 1997, pengelolaan air di Metro Manila dibagi antara dua operator swasta, yaitu Manila Water dan Maynilad.
Salah satu indikator keberhasilan yang paling sering disebut adalah penurunan drastis Non-Revenue Water (NRW) atau tingkat kebocoran air, yang sangat meningkatkan pasokan yang tersedia. Bagi para pendukung privatisasi, hasil ini menempatkan Manila sebagai model keberhasilan dalam reformasi sektor air melalui kemitraan publik-swasta.
keberhasilan teknis dan operasional ini datang dengan biaya sosial yang tinggi, memicu kritik keras dari berbagai penelitian dan masyarakat. Kenaikan tarif menjadi masalah utama; lonjakan biaya air yang tajam dan seringkali tidak transparan memicu protes publik yang meluas.
Selain itu, kendati cakupan layanan meningkat secara keseluruhan, isu ketidaksetaraan akses tetap menjadi kegagalan besar. Akses terhadap air bersih bagi penduduk miskin di daerah informal dan perkotaan padat seringkali tetap terbatas atau bahkan sangat mahal. Hal ini melanggengkan jurang pemisah sosial dan ekonomi, karena masyarakat termiskin terpaksa membayar harga yang jauh lebih tinggi untuk air dibandingkan dengan pelanggan di daerah formal. https://www.researchgate.net/publication/355012611_Privatisasi_Air_di_Indonesia_Saran_Pelaksanaan_dengan_Berkaca_dari_Pengalaman_Negara_Lain
Kasus privatisasi air di Malaysia, khususnya di Selangor dan Kuala Lumpur, kerap dijadikan rujukan dalam literatur sebagai contoh kegagalan model kemitraan publik-swasta dalam sektor layanan dasar. Privatisasi yang awalnya dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan cakupan layanan justru memunculkan konflik antara pemerintah negara bagian, yang bertanggung jawab atas kebijakan sosial dan penetapan tarif, dengan operator swasta yang berorientasi pada keuntungan. Ketegangan ini terutama mencuat dalam isu kenaikan tarif dan minimnya investasi yang berpihak pada kepentingan publik. Studi juga mengaitkan privatisasi dengan strategi akumulasi modal domestik yang melibatkan pemberian konsesi kepada elit bisnis tertentu (rent-seeking), yang pada akhirnya tidak mampu melaksanakan proyek infrastruktur secara efisien, sehingga memerlukan renasionalisasi atau bailout oleh pemerintah.https://www.researchgate.net/publication/317552173_Water_Privatization_Ethnicity_and_Rent-Seeking_Preliminary_Evidence_from_Malaysia
Contoh lain adalah Inggris, yang banyak menggagas privatisasi sejak jaman Margret Thatcher, dengan gaya ‘kapitalisme populis’ perbedaan mencoloknya adalah cakupan layanan sudah 100% ketika diprivatisasi. Untuk kaum miskin terdapat beberapa lapis perlindungan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah untuk mengatasi masalah keterjangkauan. Lapisan pertama adalah Tarif Sosial (Affordability Tariffs), seperti WaterHelp atau Essentials Tariff, yang memberikan diskon signifikan pada tagihan, berkisar antara 45% hingga 90%, dengan tujuan ideal untuk memastikan pelanggan tidak menghabiskan lebih dari 5% pendapatan mereka untuk air; skema ini memerlukan pengajuan dan pemenuhan kriteria pendapatan. Lapisan kedua adalah Skema WaterSure, yang merupakan skema nasional yang membatasi (cap) biaya tagihan bagi pengguna meteran air yang menerima tunjangan kesejahteraan tertentu dan memiliki kebutuhan air tinggi, baik karena keluarga besar (tiga anak tanggungan atau lebih) atau kondisi medis yang bergantung pada air. Terakhir, bagi pelanggan yang sudah menunggak, terdapat skema Water Direct yang memungkinkan mereka mengatur agar pembayaran tagihan air saat ini dan utang yang belum dibayar dipotong langsung dari tunjangan kesejahteraan yang mereka terima, sehingga membantu mengelola utang dan mencegah penunggakan lebih lanjut. Sistem berlapis ini dirancang untuk memastikan bahwa meskipun air diprivatisasi, kesulitan membayar tidak mengakibatkan pemutusan akses layanan dasar.
Studi-studi di atasmenunjukkan bahwa privatisasi gagal menjamin akses universal dan kualitas layanan yang stabil dengan harga terjangkau, terutama di negara-negara berkembang dan berpenghasilan rendah. Kepentingan laba yang dominan menyebabkan pengabaian terhadap fungsi sosial air sebagai hak dasar warga. Akibatnya, pemerintah akhirnya melakukan renasionalisasi atau pengambilalihan kembali pengelolaan air untuk mengembalikan kontrol publik dan menjamin keadilan distribusi. Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi daerah lain, termasuk Jakarta, dalam merancang kebijakan air yang menyeimbangkan efisiensi ekonomi dengan mandat sosial.

