Kritik terhadap Kapitalisme Hijau dan Solusi Keliru Tentang Retorika Kesetaraaan

oleh: Widhyanto Muttaqien

Tulisan ini merupakan kritik tentang kapitalisme hijau, yang secara teoretis menjanjikan jalan tengah antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan melalui solusi pasar dan inovasi teknologi, kini menghadapi gelombang kritik. Kerangka kerja ini dinilai gagal dalam mengatasi akar masalah sosio-lingkungan yang kompleks, terutama yang berdampak pada komunitas marjinal dan agraris.

Tulisan ini berdasarkan poin-poin yang diberikan oleh Tania Muray Li dalam diskusi di Sayogyo Institute pada Jumat, 15 November 2025. Selain poin-poin yang diberikan oleh Li, tulisan ini juga ingin mengkritik solusi yang dilakukan oleh Li, terkait dengan solusi yang mengedepankan kapitalis pribumi, yang menurut pengulasa masih menjadi bagian dari masalah.

 Akses Energi Baru yang Kian Tidak Merata

Salah satu kelemahan mendasar dari kapitalisme hijau adalah ketidakmampuannya dalam mengatasi ketimpangan akses terhadap sumber daya dan manfaat yang dihasilkan oleh proyek energi terbarukan, termasuk di dalamnya dan tidak terkeculai perluasan lahan sawit. Proyek-proyek besar ini, seringkali didominasi oleh kepentingan korporasi dan negara, cenderung mengesampingkan komunitas lokal, terutama masyarakat adat. Mekanisme pasar yang diandalkan dinilai sering mengalihkan biaya sosial (externalize social costs), yang berujung pada disrupsi ekonomi lokal dan struktur sosial tanpa adanya kompensasi yang layak atau tata kelola yang inklusif. Gula-gula bagi perampas lahan – Official Website Creata

Narasi konservasi atau energi hijau seringkali menjadi dalih untuk pengambilalihan lahan (land grabbing). Hal ini memperkuat asimetri kekuasaan antara perusahaan besar, negara, dan masyarakat lokal. Alih-alih merombak ketidaksetaraan struktural, kapitalisme hijau justru melanggengkan mereka dengan memprioritaskan akumulasi modal dan ekstraksi sumber daya demi teknologi hijau. Akibatnya, terjadi penggusuran, hilangnya mata pencaharian, dan pelanggaran hak-hak komunitas.

Konflik Agraria dan Pergeseran Ruang Produksi

Proyek-proyek kapitalis hijau acap kali memicu konflik agraria karena mengganggu pola penggunaan lahan dan relasi produksi yang sudah ada. Pembangunan infrastruktur energi terbarukan atau pengembangan monokultur untuk bioenergi secara drastis mengubah ruang produksi pedesaan, memarjinalkan petani kecil dan petani tradisional. Sifat transaksional dari kapitalisme hijau dianggap gagal memahami dimensi sosio-kultural dan politik kehidupan agraris, sehingga memperdalam konflik.

Studi kasus dari berbagai wilayah, termasuk di Afrika dan Indonesia, menunjukkan bagaimana inisiatif energi terbarukan yang bersifat top-down seringkali meminggirkan komunitas agraris. Proyek-proyek ini rentan mereproduksi dinamika neo-kolonial melalui hubungan kekuasaan yang tidak setara dan perampasan lahan. Jurus Mabuk Kolonialisasi Energi Terbarukan – Official Website Creata

Kegagalan Struktural Kapitalisme Hijau

Secara fundamental, kerangka kapitalisme hijau berasumsi bahwa keberlanjutan ekologis dapat diintegrasikan ke dalam logika pasar kapitalis. Namun, kritik yang mendalam menunjukkan bahwa ia mengabaikan atau meremehkan empat kelemahan struktural utama, yaitu:

  1. Pengabaian Ketidaksetaraan Ekonomi dan Eksklusi Sosial. Kapitalisme hijau masih berakar pada logika pertumbuhan yang melanggengkan konsentrasi kekayaan dan meminggirkan kelompok rentan. Dari perspektif materialisme historis, ia justru memperluas batas akumulasi dengan mengkomodifikasi dan memfinansialisasi sumber daya alam dan sosial.
  2. Legitimasi Perampasan Sumber Daya. Dengan dalih “pembangunan hijau,” korporasi dan aktor negara secara sah mengambil alih lahan dan sumber daya alam dari populasi marjinal. Ini memperkuat ketidakseimbangan kekuasaan, mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan adat.
  3. Defisit Partisipasi dan Demokrasi. Pengambilan keputusan cenderung bersifat top-down dan teknokratis, yang mengutamakan solusi berbasis pasar dan keuntungan korporasi di atas suara lokal dan keadilan sosial. Ketiadaan partisipasi komunitas yang bermakna memperburuk ketegangan sosial.
  4. Reduksionisme Sosio-Ekologiis. Kapitalisme hijau cenderung mereduksi hubungan sosio-ekologis yang kompleks menjadi transaksi pasar yang mengutamakan keuntungan. Alam diubah menjadi bentuk modal yang dapat diakumulasi, mengabaikan keterkaitan ekosistem dan masyarakat. Fokus pada metrik ekonomi seperti PDB mengabaikan konsekuensi distribusi dan mengalihkan biaya lingkungan serta sosial.

Kapitalisme hijau tidak mampu menyelesaikan masalah struktural seperti ketidaksetaraan sistemik, perampasan lahan, defisit demokrasi, dan kompleksitas sistem sosio-ekologis. Kerangka ini, meskipun mengusung retorika pembangunan berkelanjutan, pada akhirnya mereproduksi ketidakadilan sosial dan ekologis yang seharusnya ia atasi. Hal ini mendorong seruan untuk kerangka alternatif yang mengedepankan kesetaraan sosial, otonomi lokal, dan demokrasi ekologis di atas pertumbuhan hijau berbasis pasar.

Narasi Kapitalisme Hijau sebagai penyelamat petani kecil menjadi Kapitalis Kecil

Argumen Tania Li mengenai kepemilikan lahan 6 Ha untuk petani kecil tanpa menghambat kapitalisme kecil didasarkan pada pandangan kapitalisme sebagai keniscayaan yang harus dibatasi hanya pada korporasi besar. Namun, konteks kasus di wilayah Timur Indonesia misalnya, menunjukkan kompleksitas yang menantang argumen ini. Modus “gadai mati” oleh petani plasma komoditas karet, gadai mati pada tanaman cengkeh dan pala. Dan bujukan perusahaan sawit yang memanfaatkan masyarakat dengan modal untuk membuka hutan tetapi kemudian mengambil alih lahan secara tidak adil menghadirkan masalah ekologis dan sosial yang serius, seperti kasus di Kalimantan, Sumatera, dan sekarang Papua Selatan.

Kapitalisme hijau, dalam konteks ini, seringkali gagal mengatasi ketimpangan struktural seperti perampasan lahan dan defisit demokrasi karena retorika pembangunan berkelanjutan yang diusungnya pada akhirnya (tetap) bisa mereproduksi ketidakadilan sosial dan ekologis. Narasi pro kapitalisme hijau berargumen bahwa pendekatan pasar dan investasi hijau dapat menciptakan peluang ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Namun, kontra narasi menegaskan bahwa kapitalisme hijau tetap terjebak dalam logika eksploitatif yang memperkuat ketimpangan dan kerusakan lingkungan, serta mengabaikan otonomi lokal dan demokrasi ekologis.  

James C. Scott  dalam The Moral Economy of the Peasant (1976) mendeskripsikan petani sebagai aktor otonom yang bertahan dari tekanan negara dan pasar melalui taktik perlawanan harian dan mengandalkan pengetahuan serta orientasi subsistensi lokal. Namun, di bawah hegemoni kapitalisme hijau, upaya tersebut terancam. Petani kini didorong secara paksa untuk menjadi bagian integral dari rantai produksi komoditas global yang terhubung langsung dengan korporasi raksasa. Kondisi ini menunjukkan bahwa pola subordinasi yang dijelaskan Scott tidak hilang dalam berbagai jenis komoditas berorienbtasi ekspor, ia hanya berganti rupa. Petani dipaksa tunduk pada jadwal tanam, standar kualitas, dan harga yang ditentukan oleh korporasi, yang secara efektif melumpuhkan strategi bertahan lokal mereka.

Dengan demikian, argumen Tania Li dapat dianggap relevan dalam konteks pembatasan korporasi besar, tetapi kurang holistik ketika menghadapi realitas penyalahgunaan dan dampak sosial-ekologis di komunitas yang terlibat dalam rantai pasokan komoditas sawit atau modus lain seperti “gadai mati” pada tanaman komoditas sperti cengkeh dan pala. Diperlukan kerangka alternatif yang lebih menekankan kesetaraan sosial, otonomi lokal, dan demokrasi ekologis daripada sekadar menerima kapitalisme kecil sebagai keniscayaan tanpa pertimbangan kritis terhadap praktik dan dampaknya.

Adakah Alternatif?

Tania Li dalam diskusi ini memberikan diskusrsus tanding, yang beberapa di atantaranya sudah menjadi bahan kampanye pada awal tahun 2.000-an. Artinya, permasalahan ini sudah dilihat akan semakin membesar dan menjadi horor dan berdimensi apokalip. Salah satu yang menarik diatwarkan dalam perbincanagan ada relasi reforma agraria sejati dengan pembentukan ‘kapitalis kecil’. Ada satu lagi model degrowth yang bisa menjadi alternatif. Dalam menghadapi krisis ekologi dan ketidakadilan sosial, ekologi politik progresif menawarkan perspektif yang jauh melampaui solusi teknokratis dan berbasis pasar yang diusung oleh kapitalisme hijau.

Ekologi politik progresif melihat krisis ekologis dan krisis sosial sebagai dua sisi dari akar masalah yang sama, sistem kekuasaan yang tidak adil dan eksploitatif. Oleh karena itu, solusi terhadap masalah lingkungan tidak dapat dilepaskan dari upaya yang serius untuk mengatasi ketidakadilan struktural yang mendasarinya, termasuk penguasaan sumber daya yang timpang, ketimpangan ekonomi, dan defisit demokrasi (oleh rezim Jokowi dan Prabowo – ditambah pendekatan milieristik) menjadi prasyarat tempat tumbuhnya kapitalisme hijau.

Berbeda dengan kapitalisme hijau yang mengandalkan mekanisme pasar seperti perdagangan karbon dan investasi hijau yang seringkali mempertahankan status quo relasi kuasa, ekologi politik progresif menuntut perubahan radikal dalam cara tata kelola sumber daya dan pengambilan keputusan. Demokratisasi proses pengambilan keputusan menjadi pusat perhatian, dari tingkatan lokal hingga nasional, memastikan bahwa suara masyarakat terdampak, khususnya komunitas lokal dan kelompok rentan, benar-benar didengarkan dan dihormati. Selain itu, paradigma ini menekankan pentingnya redistribusi kekayaan dan sumber daya sebagai syarat keadilan lingkungan dan sosial, sehingga tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, melainkan mengejar kedaulatan sosial-ekologis.

Ekologi politik progresif juga mengajak kembali ke konsep hak asasi manusia yang inklusif, dimana hak atas lingkungan hidup yang sehat dianggap sebagai hak fundamental yang tak terpisahkan dari hak atas kehidupan layak dan keadilan sosial. Pendekatan ini menentang dominasi oligarki ekonomi dan korporasi besar yang selama ini mengeksploitasi sumber daya alam secara eksploitatif dan merugikan rakyat kecil, ini persis proposal Li.

Selaras dengan ekologi politik progresif, konsep ekonomi Degrowth (Pasca-Pertumbuhan Neo Klaisk) muncul dengan seruan yang lebih eksplisit, pengurangan terencana dalam produksi dan konsumsi. Seruan ini ditujukan terutama bagi negara-negara kaya (Global North) yang memiliki jejak kerusakan ekologis terbesar, yang kemudian dengan imperialisme ekonomi memindahkan kerusakan ekologis itu di Global -South, lewat perusahaan multinasional dan perang yang melemahkan solidaritas negara bangsa dengan isu tribalisme.

Degrowth secara radikal menantang logika kapitalisme hijau yang masih berkutat pada pertumbuhan tak berujung. Bagi penganut Degrowth, kelestarian ekologis, keadilan sosial, dan kesejahteraan manusia sejati hanya dapat dicapai melalui pengekangan dan penyusutan skala ekonomi secara sadar.

Dalam kerangka Degrowth dan ekonomi ekologis, kesejahteraan tidak lagi diukur dari patokan ekonomi klasik seperti Produk Domestik Bruto (PDB) semata. Fokus pengukuran bergeser ke indikator non-moneter yang mencerminkan kualitas kehidupan secara holistik. Indikator ini meliputi (tercantum dalam SDG’s) 1. Kesehatan masyarakat yang lebih baik. 2. Akses dan kualitas pendidikan yang merata. 3. Kualitas ekosistem yang mendukung kehidupan.

Meskipun Sustainable Development Goals (SDGs) menekankan pentingnya kesehatan, pendidikan, dan ekosistem yang sehat, praktik pemberian izin tambang sebagai ekonomi ekstraktif dan perampasan lahan (land grabbing) di berbagai wilayah menunjukkan kontradiksi mendasar. Namun, di lapangan, izin tambang dan Proyek Strategis Nasional  sering diberikan tanpa kajian lingkungan yang memadai dan pelaku usaha kerap menghindari tanggung jawab atas kerusakan yang ditimbulkan. Dalam banyak kasus, izin usaha pertambangan (IUP) dan HGU korporasi perkebunan besar  diberikan demi pertumbuhan PDB, meskipun dampaknya merusak kesehatan masyarakat dan kualitas ekosistem.

Dengan menjadikan PDB sebagai ukuran utama kemajuan, ekonomi neoklasik mengabaikan dimensi distribusi dan keberlanjutan. Pertumbuhan bisa terjadi bersamaan dengan perusakan lingkungan, eksploitasi tenaga kerja, dan marginalisasi komunitas adat. Dalam kerangka ini, keadilan distributif bukan hanya diabaikan—ia dianggap sebagai gangguan terhadap efisiensi pasar.

Keadilan distributif (pemerataan kekayaan) tidak berjalan seiring dengan kebijakan kapitalisme hijau. Alih-alih menetes, kekayaan justru mengalir ke atas. Ketimpangan global terus melebar: 1% populasi dunia kini menguasai lebih dari separuh kekayaan global. Di Indonesia, laporan Oxfam dan World Bank menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi tidak serta-merta mengurangi kemiskinan struktural atau memperbaiki akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

Kapitalis (petani) kecil akan terhambat oleh asumsi bahwa semua individu rasional dan memiliki akses yang setara terhadap sumber daya. Padahal, dalam kenyataannya, sejarah kolonialisme, patriarki, dan ketimpangan agraria menciptakan titik awal yang sangat timpang. Dalam konteks ini, pasar bebas lewat jargon kapitalisme hijau justru memperkuat dominasi mereka yang sudah memiliki modal dan akses.

Comments

comments