oleh: Widhyanto Muttaqien
Urban commons dan perubahan iklim memang bukan termasuk topik konvensional dalam studi the Commons, tetapi menjadi bagian dari the new commons dan sebagai bagian dari sumber daya bersama, ia memiliki pengaruh besar terhadap kualitas hidup manusia.
Proposisi filosofis mengenai Urban Commons tidak memulai dengan regulasi tata ruang atau zonasi, melainkan menarik kita kembali ke akar eksistensi manusia. Commons melampaui sekadar benda fisik. Urban Commons adalah irisan antara sumber daya, budaya, dan kesadaran. Commons bukan hanya sebagai “barang publik” seperti taman atau trotoar, melainkan sebagai sebuah kondisi eksistensial. Manusia, sebagai satu-satunya spesies bertulang belakang (vertebrata) yang memiliki tingkat kesadaran (consciousness) yang unik, adalah commons bagi dirinya sendiri dan spesiesnya.
Pandangan ini beresonansi dengan pemikiran Henri Lefebvre, sosiolog Prancis yang mempopulerkan konsep “Right to the City” (Hak atas Kota). Lefebvre berargumen bahwa kota adalah sebuah oeuvre—sebuah karya seni yang diciptakan bersama, bukan sekadar produk komoditas. Ketika Marco menyebutkan bahwa kota (yang awalnya tidak ada, lalu diciptakan manusia) adalah commons bagi spesies baru tersebut, ia menegaskan bahwa kota adalah habitat kolektif. Oleh karena itu, privatisasi ruang yang berlebihan bukan hanya masalah ekonomi, melainkan sebuah pengingkaran terhadap hakikat manusia sebagai makhluk sosial yang sadar.
Commons melibatkan “rasa sebagai komunitas yang memiliki kesadaran bersama.” Di sinilah letak antitesis dari kehidupan kota modern yang seringkali individualis dan transaksional. Dalam teori ekonomi klasik, kita sering ditakut-takuti oleh esai Garrett Hardin tahun 1968, “The Tragedy of the Commons”, yang beranggapan bahwa jika sumber daya dimiliki bersama, setiap individu akan serakah dan menghabiskannya.
Pemenang Nobel Elinor Ostrom, justru melihat sebaliknya. Kesadaran dan “rasa” kolektif itulah yang mampu menciptakan tata kelola yang lestari, tanpa perlu dipaksa oleh pasar maupun negara. Kota bukan sekadar kumpulan properti pribadi yang dipagari beton. Kota adalah ruang di mana kesadaran warga bertemu, bergesekan, dan membentuk budaya. Tanpa “rasa memiliki bersama,” kota hanyalah mesin raksasa yang dingin.
Contoh Commons adalah pengelolaan air di kota-kota besar modern, di mana akses terhadap air bersih seringkali ditentukan oleh kemampuan membayar, bukan oleh hak asasi. Privatisasi air yang terjadi di banyak metropolis global, dari Jakarta hingga Cochabamba, menunjukkan hilangnya “kesadaran bersama” yang dimiliki oleh suku Kajang.
Jika kota adalah ciptaan manusia, dan manusia memiliki keistimewaan berupa kesadaran, mengapa kita membiarkan kota kita didikte oleh logika profit semata?
Memperlakukan kota sebagai urban commons berarti kita harus mengubah cara pandang:
- Kota sebagai Ruang Hidup, bukan Aset Spekulasi. Perencanaan kota harus memprioritaskan interaksi sosial dan kesejahteraan warga di atas kepentingan pengembang properti.
- Partisipasi Aktif. Commons menuntut partisipasi. Warga tidak boleh hanya menjadi konsumen pasif, tetapi harus menjadi co-creator (pencipta bersama) kotanya.
- Mengadopsi Nilai Tradisi. Prinsip suku Kajang tentang kepemilikan bersama bukan masa lalu yang tertinggal, melainkan cetak biru masa depan yang berkelanjutan.
Filsafat Commons
Sejarah sains adalah sejarah perluasan kesadaran manusia terhadap ruang hidupnya. Dahulu, keterbatasan alat observasi membuat manusia percaya bahwa bumi itu datar, memiliki ujung, dan tak berbatas. Dalam pandangan kuno ini, sumber daya tampak tak terhingga (infinite), sehingga konsep commons belum menjadi urgensi global.
Namun, metode ilmiah meruntuhkan ilusi tersebut. Dimulai dari pembuktian navigasi, berjalan lurus yang justru membawa kita kembali ke titik semula—hingga lompatan teknologi roket. Ketika manusia berhasil menembus atmosfer dan menempatkan mata (satelit) di orbit, paradigma kita berubah total. Teknologi kamera satelit yang kini mampu memotret struktur pulau hingga detail terkecil bukan sekadar alat pemetaan: kamera menjadi alat filosofis.
Sains, melalui teknologi ini, memberikan kita “The Overview Effect”, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh penulis Frank White (1987). Melalui mata satelit, kita tidak melihat perbatasan negara, zonasi ekonomi, atau warna kulit. Yang kita lihat adalah satu sistem terintegrasi yang rapuh. Perspektif utuh inilah yang memvalidasi Bumi sebagai Commons. Kita sadar bahwa Bumi adalah sistem tertutup.
Lima Sila Planetary Commons
Jika kita membedah “Pesawat Bumi” ini menggunakan pisau analisis sains (khususnya Earth System Science), kita menemukan bahwa The Commons bukan sekadar tanah, melainkan sistem penyangga kehidupan yang kompleks.
Merujuk pada struktur sistem bumi, kita dapat membaginya menjadi “Lima Sila Commons” yang saling menopang:
- Sila Pertama: Atmosfer
Lapisan gas yang menyelimuti bumi. Ini adalah commons yang paling sering kita bicarakan hari ini karena krisis iklim. Udara yang kita hirup tidak mengenal paspor; polusi di satu negara adalah racun bagi tetangganya.
- Sila Kedua: Kriosfer (Cryosphere)
Bagian bumi yang membeku (kutub, gletser). Seringkali dianggap “jauh”, namun sains membuktikan ia adalah pendingin mesin bumi. Mencairnya kriosfer bukan hanya masalah bagi beruang kutub, tapi ancaman eksistensial bagi pulau-pulau tropis akibat kenaikan muka air laut.
- Sila Ketiga: Hidrosfer (Hydrosfer)
Sering disebut sebagai bagian yang dinamis dan selalu bergerak (fluid), mencakup sirkulasi air laut, sungai, dan danau. Air adalah darah bagi bumi, mengalirkan nutrisi dan energi ke seluruh tubuh planet.
- Sila Keempat: Geosfer/Litosfer
Padatan bumi, batuan, dan tanah. Ini adalah fondasi tempat kita berpijak dan sumber mineral. Ia menyediakan nutrisi bagi tanaman namun memiliki batas daya dukung yang nyata.
- Sila Kelima: Biosfer
Keseluruhan makhluk hidup (flora, fauna, dan manusia). Keanekaragaman hayati (biodiversity) adalah jaring pengaman kehidupan. Hilangnya satu spesies dapat merusak keseimbangan ekosistem secara keseluruhan.
Dengan memahami kelima sila sains di atas, kita menyadari bahwa masalah commons adalah masalah fisika dan biologi yang tidak bisa dinegosiasi. Kita tidak bisa melobi atmosfer untuk menyerap lebih banyak CO2, atau menyuap es di kutub agar tidak mencair.
Oleh karena itu, hierarki pengambilan keputusan harus dikoreksi. Ekonomi tidak boleh lagi mendikte seberapa banyak alam yang boleh dihancurkan demi pertumbuhan (PDB). Sebaliknya, batas-batas sains (seperti Planetary Boundaries dari Johan Rockström) harus menjadi “pagar” yang kaku, di mana politik dan ekonomi beroperasi di dalamnya.
Politik harus menjadi seni mengelola kesepakatan untuk menjaga kelima sila commons tersebut, dan ekonomi harus menjadi alat untuk mendistribusikan kesejahteraan tanpa melanggar batas-batas sistem bumi yang telah dipetakan oleh satelit kita.
Mengelola Sisa Peradaban
Setelah memahami bumi sebagai sistem penunjang kehidupan (planetary commons) melalui kacamata sains, kita harus mendaratkan pemahaman tersebut ke aspal panas perkotaan. Di sinilah teori berbenturan dengan praktik. Penerapan konsep commons bukan hanya soal menjaga lapisan ozon, melainkan bagaimana kita mengelola residu peradaban dan ruang gerak kita sehari-hari.
Tantangan paling nyata dari urban commons adalah sampah. Selama ini, sampah dianggap sebagai masalah teknis yang harus dienyahkan dari pandangan (“out of sight, out of mind“). Namun, dalam perspektif commons, sampah adalah konsekuensi kolektif yang harus ditanggung bersama. Tidak ada “tempat pembuangan” di bumi yang bulat; membuang sampah sebenarnya hanya memindahkannya ke ruang hidup orang lain. Untuk mengatasi ini, intervensi kebijakan dan perubahan psikologis masyarakat harus berjalan beriringan.
Di satu sisi, instrumen kebijakan diperlukan untuk memaksa kesadaran. Kita bisa melihat Inggris yang menerapkan kebijakan berbayar untuk setiap sampah yang dibuang, atau inisiatif lokal seperti di Depok yang mewajibkan pemilahan sampah dari rumah tangga. Ini adalah bentuk “paksaan” struktural agar warga bertanggung jawab atas jejak ekologisnya.
Di sisi lain, pendekatan yang lebih lunak namun efektif adalah menciptakan nilai tukar. Keberhasilan mengubah paradigma masyarakat terjadi ketika sampah tidak lagi dilihat sebagai kotoran, melainkan sumber daya. Inisiatif menukarkan sampah dengan kebutuhan dasar—baik itu uang, layanan kesehatan, atau sembako—terbukti ampuh. Ketika sampah memiliki “nilai”, ia berhenti menjadi masalah dan mulai menjadi bagian dari solusi ekonomi sirkular yang dirasakan langsung manfaatnya oleh komunitas.
Persoalan commons menjadi semakin menggelitik ketika kita bicara soal ruang publik (public space). Secara historis, jalanan kota adalah ruang sosial yang inklusif, tempat festival berlangsung, anak-anak bermain, dan interaksi ekonomi informal terjadi. Jalan adalah halaman depan bersama bagi warga kota. Sayangnya, terjadi pergeseran fungsi yang drastis di kota-kota modern. Jalanan tidak lagi diperlakukan sebagai commons, melainkan koridor logistik semata. Akses dibatasi, trotoar dipersempit, dan pagar-pagar didirikan. Pengelolaan yang didominasi secara sepihak oleh pemerintah seringkali melupakan bahwa ruang ini harus dikelola bersama (co-management).
Pemerintah kerap terjebak pada estetika visual—menyelamatkan ruang kosong demi “keindahan”—namun menggusur kehidupan di dalamnya, seperti pedagang kaki lima (PKL). Padahal, dalam konsep urban commons, PKL dan pejalan kaki memiliki hak akses dan benefit yang setara atas ruang kota. Kota yang manusiawi adalah kota yang mampu menampung aspirasi komunitasnya, bukan hanya memuaskan mata para perancang kota.
Ironi terbesar dalam pengelolaan ruang kota terlihat pada fenomena perumahan elit yang “menjual” alam. Banyak pengembang menawarkan hunian dengan jargon “suasana hijau dan asri”, seolah-olah udara bersih dan pemandangan alam adalah komoditas mewah yang bisa dipagari.
Kasus di kawasan seperti Rancamaya, Sukabumi, menjadi contoh menarik dari kegagalan upaya privatisasi ini. Ketika warga kampung sekitar menerobos masuk ke jalan-jalan perumahan elit hanya untuk menikmati suasana asri, ini adalah sinyal perlawanan alamiah. Ini membuktikan bahwa kebutuhan akan ruang hijau adalah naluri dasar manusia yang tidak bisa sepenuhnya dibatasi oleh gerbang keamanan. Alam, pada hakikatnya, adalah hak bersama (commons), dan upaya untuk memonopolinya akan selalu bertentangan dengan rasa keadilan spasial.
Krisis Etika dan Gaya Hidup
Pada akhirnya, perjuangan menegakkan urban commons adalah pertarungan melawan gaya hidup dan etika yang telah terdistorsi. Kita menghadapi tantangan budaya di mana kepemilikan pribadi (the private) dianggap lebih bergengsi daripada milik bersama (the commons).
Ada kebanggaan semu ketika seseorang bisa mengendarai mobil mewah di jalan umum, sementara berjalan kaki di trotoar dianggap sebagai tanda ketidakmampuan ekonomi. Padahal, jalan raya adalah ruang publik yang disubsidi oleh semua orang. Anak-anak kita tumbuh dengan nilai bahwa “memiliki sendiri” lebih baik daripada “berbagi”.
Mengembalikan jiwa kota berarti membalikkan logika ini. Kita perlu membangun budaya baru di mana kebanggaan warga kota tidak diukur dari kemewahan kendaraan pribadinya, melainkan dari kenyamanan dan inklusivitas ruang publik yang dimilikinya bersama. Commons bukan hanya soal sumber daya, tapi soal etika hidup berdampingan yang setara dan bermartabat.

Pustaka
Fuller, R. B. (1969). Operating manual for spaceship Earth. Southern Illinois University Press.
Hardin, G. (1968). The tragedy of the commons. Science, 162(3859), 1243–1248. https://doi.org/10.1126/science.162.3859.1243
Lefebvre, H. (1996). Writings on cities (E. Kofman & E. Lebas, Eds. & Trans.). Blackwell. (Karya asli diterbitkan 1968)
Ostrom, E. (1990). Governing the commons: The evolution of institutions for collective action. Cambridge University Press.
NASA Earth Science Division. (n.d.). Earth system science. NASA. https://science.nasa.gov/earth-science/oceanography/living-ocean/earth-system-science
Rockström, J., Steffen, W., Noone, K., Persson, Å., Chapin, F. S., Lambin, E. F., … & Foley, J. A. (2009). A safe operating space for humanity. Nature, 461(7263), 472–475. https://doi.org/10.1038/461472a
White, F. (1987). The overview effect: Space exploration and human evolution. Houghton-Mifflin.

