Sertifikasi sebagai Topeng Kekerasan Epistemik: Sebuah Kritik Intelektual terhadap Perampasan Lahan
- 0 Comments
- 14 December 2025
oleh: Widhyanto Muttaqien
Kasus pengabaian bukti kepemilikan lahan informal masyarakat adat oleh auditor sertifikasi, bukan sekadar masalah teknis atau kelalaian administratif. Ini adalah manifestasi dari pertarungan kekuasaan yang asimetris. Ketika auditor lebih memuja dokumen standar operasional prosedur (SOP) perusahaan dibandingkan realitas historis (sejarah lisan dan penanda alam), kita sedang menyaksikan sebuah bentuk kekerasan simbolik dan epistemik.
Dark Academia dan Pengkhianatan Kaum Intelektual
Dalam estetika dan subkultur Dark Academia, terdapat obsesi terhadap pengetahuan klasik, namun sering kali menyembunyikan sisi gelap institusi pendidikan dan elitisme yang terputus dari realitas moral. Gambaran dosen dan mahasiswa sama‑sama terimpit oleh beban administratif, ketidakamanan kerja, kompetisi berlebihan, dan hilangnya otonomi akademik, sementara universitas semakin beroperasi layaknya perusahaan yang mengejar profit, bukan lembaga publik yang melayani masyarakat, banyak akademisi merasa putus asa dan terasing dari misi intelektual yang dulu dijanjikan institusi. Jika kita menarik benang merah filosofisnya ke dalam konteks “peran intelektual” dalam kasus ini, kita menemukan apa yang disebut oleh Julien Benda sebagai La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Intelektual).
Menurut Benda, para klerk, kaum intelektual seperti filsuf, penulis, seniman, dan ilmuwan memiliki tugas suci untuk menjaga nilai-nilai universal dan abstrak seperti Kebenaran, Keadilan, dan Rasio, tanpa terlibat dalam kepentingan politik praktis. Pengkhianatan terjadi ketika mereka turun dari “menara gading” bukan untuk membela prinsip-prinsip universal sebagaimana dilakukan Zola dalam kasus Dreyfus, tetapi justru untuk mengobarkan hasrat politik seperti nasionalisme, rasisme, atau kedaerahan, sehingga mereka membiarkan politik mendikte moralitas alih-alih menegakkan nilai-nilai yang seharusnya mereka jaga.
Kasus Dreyfus bermula pada 1894 ketika Kapten Alfred Dreyfus, seorang perwira Yahudi dalam militer Prancis, dituduh secara keliru membocorkan rahasia negara kepada Jerman berdasarkan bukti tulisan tangan yang lemah dan penuh rekayasa, sebuah tuduhan yang sangat dipengaruhi oleh sentimen antisemit pada masa itu. Ketidakadilan ini mencapai titik balik ketika Émile Zola, salah satu penulis paling berpengaruh di Prancis, menerbitkan surat terbuka legendaris “J’Accuse…!” pada 1898, menuduh pemerintah dan militer melakukan manipulasi bukti serta menutupi pelaku sebenarnya, sehingga mengubah kasus ini menjadi pertempuran moral nasional antara kebenaran dan kekuasaan. Intervensi Zola memicu penyelidikan ulang yang akhirnya mengungkap bahwa Dreyfus tidak bersalah, dan setelah bertahun-tahun pembuangan serta proses hukum yang berliku, ia direhabilitasi sepenuhnya pada 1906, menjadikan kasus ini simbol abadi perjuangan melawan prasangka dan penyalahgunaan wewenang.
Auditor, konsultan lingkungan, dan pembuat kebijakan adalah “kaum terpelajar” (intelektual teknis). Mereka memiliki otoritas pengetahuan untuk membedakan mana yang benar dan salah. Namun, dalam kasus sertifikasi perkebunan, intelektualitas ini tidak digunakan untuk membela kebenaran faktual (bahwa tanah itu milik adat), melainkan untuk melayani status quo kekuasaan ekonomi.
Fetisisme dokumen membuat auditor terjebak dalam semacam “ritual akademik yang gelap,” di mana teks mulai dari dokumen legal, SOP, hingga matriks kepatuhan dipuja sebagai sumber kebenaran tunggal yang mengatasi kemanusiaan itu sendiri. Segala bentuk pengetahuan yang hidup, seperti penanda pohon atau sejarah lisan masyarakat adat, dianggap “tidak ilmiah” atau “tidak valid” hanya karena tidak sesuai dengan taksonomi pengetahuan formal yang mereka pelajari di universitas atau pelatihan sertifikasi, sehingga proses audit berubah menjadi praktik eksklusi epistemik alih-alih upaya memahami realitas sosial secara utuh.
Bahasa teknis yang rumit dalam audit sertifikasi (seperti kriteria HCV/HCS, free prior and informed consent yang dimanipulasi) berfungsi sebagai gatekeeping. Intelektual teknis ini menciptakan tembok bahasa yang tidak bisa ditembus oleh masyarakat adat, sehingga “kebenaran” versi masyarakat adat otomatis gugur karena tidak memenuhi standar “akademis” atau “legal-formal” yang ditetapkan oleh sistem.
Di sini, intelektual (auditor) bukan lagi penjaga moral, melainkan stempel legitimasi bagi perampasan lahan. Sertifikasi menjadi teater kepatuhan, sebuah pertunjukan canggih untuk meyakinkan pasar global bahwa “semua baik-baik saja,” sementara realitas di lapangan menjeritkan ketidakadilan.
Menjajah Melalui Definisi
Edward Said, dalam Orientalism dan Culture and Imperialism, menekankan bahwa imperialisme bukan hanya soal penguasaan tanah secara fisik, tetapi juga penguasaan narasi dan pengetahuan. Kekuatan kolonial (dalam hal ini perusahaan dan negara) memiliki kuasa untuk mendefinisikan “realitas”. Dalam kasus sertifikasi ini, kita melihat bentuk imperialisme modern yang bekerja melalui birokrasi.
Saidberargumen bahwa Barat mengonstruksi Timur sebagai entitas yang irasional dan perlu diatur. Dalam konteks perkebunan, masyarakat adat dengan sistem kepemilikan komunal dan lisan diposisikan sebagai “Liyan” yang kacau, tidak teratur, dan tidak memiliki basis hukum yang “beradab”. Sertifikasi adalah alat “pemberadaban” yang memaksa logika hukum Barat (sertifikat tertulis) ke dalam masyarakat yang memiliki tradisi berbeda.
Ketika auditor menolak sejarah lisan dan hanya menerima dokumen formal, mereka melakukan kekerasan epistemik, penghancuran cara pandang atau sistem pengetahuan lokal. Bagi Said, ini adalah inti dari kolonialisme yaitu arogansi bahwa satu-satunya pengetahuan yang valid adalah pengetahuan sang penakluk (korporasi/negara).
Sertifikasi menciptakan realitas simulacra. Di atas kertas (peta konsesi dan dokumen audit), lahan tersebut “bersih dan berizin”. Namun, realitas fisiknya (wilayah adat) diabaikan. Imperialisme modern tidak lagi membutuhkan tentara untuk merebut lahan, cukup dengan auditor yang menyatakan bahwa bukti kepemilikan masyarakat adat “tidak memenuhi kriteria teknis”. Peta menggantikan ruang hidup sesungguhnya.
Mitos Pribumi Malas
Sosiolog Malaysia, Syed Hussein Alatas, dalam The Myth of the Lazy Native, membongkar bagaimana penjajah kolonial menciptakan stereotip bahwa penduduk asli itu “malas” untuk membenarkan perampasan tanah dan kerja paksa. Narasi ini dibangun karena penduduk asli menolak menjadi buruh di perkebunan kolonial dan lebih memilih hidup subsisten yang mandiri. Bagaimana teori ini bekerja dengan audit sertifikasi modern?
Dalam logika kapitalisme perkebunan modern, narasi “malas” telah bermutasi menjadi “tidak produktif” atau “lahan tidur”. Masyarakat adat yang membiarkan hutan tetap menjadi hutan, atau menggunakan sistem rotasi tanam tradisional, dianggap tidak memaksimalkan potensi ekonomi tanah.
Alatas menjelaskan bahwa mitos ini berfungsi untuk memberikan landasan moral bagi eksploitasi. Dalam konteks modern seperti perkebunan sawit, perkebunan energi, food estate karena masyarakat adat dianggap tidak memiliki dokumen legal (dianggap tidak tertib administrasi) dan tidak mengelola lahan secara intensif (dianggap tidak produktif), maka perusahaan merasa “berhak” dan bahkan “mulia” untuk mengambil alih lahan tersebut demi “pembangunan” dan “investasi”. Demi kepentingan nasional. Demi visi Presiden terpilih.
Penolakan auditor misalnya, terhadap penanda pohon sebagai bukti kepemilikan adalah bentuk modern dari pengabaian struktur sosial pribumi yang dikritik Alatas. Sistem sertifikasi dirancang untuk melayani model ekonomi perkebunan skala besar, sehingga segala bentuk kepemilikan yang tidak mendukung model tersebut dianggap sebagai hambatan yang harus “diluruskan” atau diabaikan. Intelektual (auditor) dalam hal ini melanggengkan mitos bahwa tanpa intervensi perusahaan (formalitas), tanah tersebut tidak bernilai.
Kepatuhan Teknis sebagai Instrumen Kekuasaan
Menggabungkan ketiga perspektif di atas (Benda, Alatas, dan Said), kita dapat menyimpulkan bahwa fokus berlebihan pada “teknis kepatuhan” (SOP, dokumen formal) dalam proses sertifikasi adalah strategi politik yang disengaja, ini menunjukkan intelektualitas dan metodologi audit telah dikooptasi. Objektivitas auditor adalah ilusi, mereka bekerja dalam kerangka yang dirancang untuk melindungi investasi, bukan keadilan
Menunjukkan bahwa ini adalah perpanjangan dari kolonialisme, di mana sistem hukum dan administrasi “Barat/Modern” digunakan untuk menghapus klaim historis masyarakat lokal. Jika kolonialisme klasik menggunakan mesiu dan pasukan untuk menaklukkan wilayah, maka neoliberalisme menggunakan “standar kepatuhan,” “sertifikasi,” dan “hukum formal” untuk menaklukkan aset.
Transformasi justifikasi penguasaan tanah dari era kolonial ke era neoliberal sejatinya hanyalah pergantian kemasan narasi, di mana retorika moral “Misi Pemberadaban” (Civilizing Mission) yang dahulu diagungkan penjajah kini bermetamorfosis menjadi jargon teknokratis seperti “Menciptakan Iklim Investasi yang Kondusif” atau Good Governance. Dalam logika neoliberal yang mendominasi saat ini, pasar global mendiktekan kebutuhan mutlak akan kepastian (certainty), sehingga arus modal dari Utara (Global North) enggan mengalir ke Selatan (Global South) jika status kepemilikan tanah dianggap “ambigu” atau masih terikat dalam sistem kepemilikan komunal yang tak tertulis. Akibatnya, sistem administrasi negara berkembang dipaksa tunduk pada standar pasar demi memfasilitasi masuknya kapital, menempatkan efisiensi ekonomi di atas kedaulatan lokal.
Konsekuensi ontologis dari rezim ini adalah penghapusan sejarah secara sistematis, sebuah proses di mana tanah harus dilepaskan dari memori kolektifnya agar dapat dikonversi menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan di pasar global. Tanah tidak lagi diperbolehkan eksis sebagai “ruang hidup leluhur”, sebuah konsep antropologis yang sarat makna identitas, spiritualitas, dan kekerabatan, melainkan direduksi secara brutal menjadi sekadar “aset modal” dalam kalkulasi ekonomi. Proses komodifikasi ini menuntut agar narasi sejarah lokal dibungkam dan ikatan emosional masyarakat terhadap tanah diputus, semata-mata agar objek agraria tersebut memenuhi standar valuasi pasar yang bebas nilai dan siap ditransaksikan tanpa beban masa lalu.
Instrumen eksekusi untuk melegalkan penghapusan ini adalah imposisi sistem hukum Barat yang bersifat biner, tertulis, dan kaku, seperti mekanisme sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atau hak milik, yang secara fundamental menolak mengakui nuansa “hak ulayat” yang cair dan berbasis “common”/sumberdaya bersama. Dengan memaksakan standar legalitas formal ini, negara-negara Global South secara efektif melakukan “reset” total terhadap sejarah agraria mereka. waktu seolah-olah baru dimulai pada detik sertifikat diterbitkan. Legitimasi administratif ini secara arogan menganggap ribuan tahun sejarah penguasaan lahan dan peradaban masyarakat adat sebagai ketiadaan (null and void), menghapus hak historis yang hidup demi selembar kertas yang diakui oleh rezim modal internasional.
Bacalah!
Alatas, S. H. (1977). The Myth of the Lazy Native: A Study of the Image of the Malays, Filipinos and Javanese from the 16th to the 20th Century and Its Function in the Ideology of Colonial Capitalism. London: Frank Cass
Said, E. W. (1978). Orientalism. New York: Pantheon Books.
Said, E. W. (1993). Culture and Imperialism. New York: Knopf.
Benda, J. (1927). The Treason of the Intellectuals (Pengkhinatan Kaum Intelektual Terjemahan Gramedia, 1997)

