oleh: Widhyanto Muttaqien
Instruksi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 01 Tahun 2025 mewajibkan penggunaan sistem Amdalnet untuk seluruh proses persetujuan lingkungan mulai 1 Juni 2026. Dokumen ini menjanjikan transparansi dan efisiensi digital, namun data lampiran mengungkap kelemahan struktural yang memperkuat politik ekstraktif melalui penyelenggaraan tataruang yang bermasalah. Tulisan ini menganalisis tiga isu utama berdasarkan instruksi tersebut dan presentasi analisis AMDAL terhadap kawasan karst di Trenggalek dan kawasan rawan bencana di Enrekang.
Kelemahan Sistem Amdalnet
Instruksi Menteri mengharuskan semua proses AMDAL, dari pengumuman rencana usaha hingga penerbitan Persetujuan Lingkungan—dilakukan melalui Amdalnet, tanpa opsi manual atau sistem lain. Namun, implementasi ini bergantung pada infrastruktur daerah yang sering tidak memadai, seperti kewajiban pemerintah daerah menyediakan minimal lima personel kompeten, helpdesk, dan internet stabil, yang sulit terealisasi di wilayah terpencil. Ketergantungan pada koneksi stabil dan perangkat daring berpotensi menimbulkan kendala teknis, sebagaimana diakui melalui keberadaan helpdesk pusat untuk menangani masalah pengguna. Misalnya di Kabupaten Sangihe Talaud, Raja Ampat, atau sebagian besar Papua.
Lebih lanjut, sistem ini rentan terhadap ketidakmerataan akses karena mengharuskan integrasi dengan OSS-RBA, yang membebani pelaku usaha kecil dan penyusun independen dengan registrasi akun rumit. Presentasi analisis AMDAL menyoroti transparansi partisipasi publik yang lemah, di mana dokumen AMDAL sulit diakses masyarakat secara utuh, meskipun Amdalnet diklaim mendukung pengelolaan saran, pendapat, dan tanggapan (SPT). Tanpa mekanisme verifikasi independen, Amdalnet berisiko menjadi alat formalisasi proses yang tidak inklusif, memperlemah akuntabilitas substantif.
Penyelenggaraan Tataruang Bermasalah
Penyelenggaraan tataruang dalam AMDAL sering kali hanya mengecek kesesuaian formal dengan RTRW, seperti kasus pertambangan emas di Trenggalek yang dinyatakan sesuai Perda Jatim Nomor 5/2012 tanpa analisis mendalam dampak kumulatif. Instruksi Amdalnet mengatur penapisan jenis dokumen lingkungan dan uji kelayakan, tapi tidak secara eksplisit mewajibkan integrasi data tataruang spasial yang komprehensif, sehingga batas wilayah studi terbatas pada aliran sungai dan udara tanpa pertimbangan konflik agraria lintas kecamatan. Hal ini memungkinkan proyek ekstraktif lolos dengan klaim “sesuai RTRW” meskipun mengabaikan kerentanan sosial-ekologis, seperti hilangnya akses sumber daya agraria petani di kawasan IUP.
Kasus izin pertambangan emas di Enrekang memperlihatkan dengan jelas adanya kesenjangan antara kecepatan digital yang ditawarkan oleh sistem Amdalnet dan kebutuhan nyata akan keselamatan lokal. Enrekang sendiri memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap bencana, dengan indeks risiko mencapai 31,39. Angka ini mencerminkan ancaman serius dari bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dan longsor yang kerap melanda wilayah tersebut. Namun, alih-alih memperkuat perlindungan terhadap risiko ini, Amdalnet justru lebih menekankan pada percepatan proses persetujuan lingkungan melalui Service Level Agreements (SLA) yang ketat. Kecepatan ini sering kali mengorbankan evaluasi mendalam terhadap dampak jangka panjang, termasuk perubahan iklim yang semakin nyata.
Lebih jauh lagi, terdapat masalah serius terkait penggunaan data yang sudah usang. Persetujuan lingkungan di Enrekang masih banyak bergantung pada data lama, padahal Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) tahun 2023 telah menunjukkan adanya peningkatan risiko akibat perubahan tata guna lahan. Sayangnya, Standar Operasional Prosedur (SOP) Amdalnet lebih berfokus pada aspek administratif seperti penjadwalan dan penyusunan dokumen, sementara integrasi kajian risiko bencana (KRB) yang bersifat dinamis justru diabaikan. Akibatnya, sistem yang seharusnya menjadi alat untuk memastikan keberlanjutan dan keselamatan lingkungan malah berpotensi mempercepat lahirnya keputusan yang tidak selaras dengan kondisi nyata di lapangan.
Dalam Amdal batas ekologis dan sosial sering “tricky”, di mana dampak hipotetik seperti degradasi tanah atau erosi lereng diakui tapi tidak dirinci secara spasial, hanya disamakan dengan rencana tata ruang pertambangan yang mencakup sembilan kecamatan tanpa peta kartografi terintegrasi. Amdalnet, dengan fitur arsip digital, seharusnya mendukung tumpangsusun data tataruang, tapi SOP hanya fokus pada penjadwalan rapat dan drafting SK, bukan analisis kumulatif yang menghubungkan AMDAL dengan RTRW secara dinamis. Akibatnya, penyelenggaraan tataruang menjadi alat legitimasi proyek, bukan pencegah degradasi ruang.
| Aspek Tataruang | Kelemahan dalam Amdalnet | Dampak pada AMDAL (Contoh Trenggalek dan Enrekang) |
| Batas Wilayah Studi | Terbatas pada aliran sungai/udara, tanpa lintas provinsi kabupaten kota sebagai sebuah satu kesatuan ekoregion | Di Trenggalek mencakup 9 kecamatan tapi abaikan konflik agraria petani. Di Enrekang batas IUP tidak pernah diberitahukan kepada warga terdampak. |
| Integrasi RTRW | Hanya cek formal (Pasal 79 Perda Jatim 5/2012) Tidak sesuai dengan RTRW dan dokumen Pengurangan Risiko Bencana | Klaim “sesuai” tanpa evaluasi holistik erosi/kumulatif Mengabaikan peta risiko bencana tinggi dan kerentanan masyarakat |
| Partisipasi Masyarakat | Pengelolaan SPT daring, akses dokumen terbatas Akses dokumen Amdal sebagai dokuemen publik dipersulit sampai kepada permintaan ke Kementrian Komunikasi dan Digital | Tidak ada data persentase penolakan/kekhawatiran lokal. Pendapat masyarakat lokal tentang dampak tambang diabaikan. Sosialisasi di Enrekang gagal memberikan informasi memadai kepada warga terkait risiko bencana jangka pendek maupun panjang. |
Politik Ekstraktif dalam AMDAL
Politik ekstraktif terwujud melalui bias dokumen AMDAL yang menonjolkan dampak positif sambil meremehkan negatif, seperti enam dampak penting hipotetik (DPH) negatif (penurunan kualitas air, air asam tambang, konflik sosial) hanya dikelola via RKL-RPL tanpa pencegahan radikal seperti hal pertama yaitu menghindari kawasan lindung seperti kawasan karst. Instruksi Amdalnet memfasilitasi ini dengan proses terpusat yang membebani pemrakarsa (pelaku usaha) mengelola konsultasi publik, tapi validator substansi sering dari instansi sektoral yang pro-pertambangan, seperti kajian teknis oleh Penanggung Jawab Materi (PJM). Konflik kepentingan muncul karena penyusun AMDAL sering pemrakarsa sendiri, meskipun dinilai Komisi Penilai, sehingga prioritas tenaga kerja lokal dan ganti rugi jadi formalitas, bukan valuasi ekonomi dan lingkungan yang dibuat dengan dimensi jangka panjang dnegan memerhatikan kesejahteraan generasi mendatang.
Kerentanan sosial diabaikan oleh muatan dokumen minim membahas gender, kelompok miskin, atau masyarakat adat, fokus umum pada “masyarakat” dan persepsi berbasis usia tanpa data spesifik relokasi atau hilang akses SDA. Amdalnet memperkuat ekstraktivisme dengan SLA waktu ketat (PP 22/2021, PP 28/2025), mendorong percepatan izin tanpa evaluasi dampak jangka panjang seperti iklim atau reklamasi pascatambang. Tim Uji Kelayakan (TUK) multidisiplin seharusnya netral, tapi rapat hybrid daring-luring rentan dominasi pakar pro-industri, mengabaikan masukan masyarakat yang bahasa dokumennya terlalu teknis (Heap Leach, DPH).
Politik ini terlihat dalam evaluasi holistik, matriks Leopold atau Sorensen hanya interaksi internal DPH, tanpa keterkaitan dengan batas ekologis RTRW atau kumulatif proyek tetangga atau aktivitas utama masyarakat. Amdalnet, sebagai transformasi digital, justru sentralisasi kekuasaan KLHK, mengurangi otonomi daerah dalam penilaian substansi dan memperlancar ekstraksi sumber daya.
Implikasi Keseluruhan
Tiga persoalan saling berkaitan. Pertama, kelemahan sistem Analisis Dampak Lingkungan berbasis jaringan mempercepat proses formal tanpa memperhatikan substansi. Kedua, penyelenggaraan tata ruang hanya menjadi stempel bagi Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersifat ekstraktif. Ketiga, politik usaha mendominasi partisipasi masyarakat sehingga suara kritis tersisih. Dengan memusatkan proses persetujuan di KLHK, Amdalnet mengurangi otonomi lokal dan menyulitkan masyarakat untuk menantang dokumen teknis yang kompleks (misalnya Heap Leach atau DPH) yang sering didominasi oleh pakar pro-industri.
Pendekatan digital-first yang diterapkan Amdalnet justru memperlihatkan adanya asimetri informasi yang serius antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat lokal. Sosialisasi yang dilakukan di dua IUP tambang gagal memberikan pengetahuan yang memadai kepada warga mengenai risiko bencana, baik jangka pendek maupun panjang. Ketidaksetaraan ini semakin diperparah oleh hambatan digital, di mana akses internet yang terbatas dan prosedur registrasi yang rumit membuat komunitas kecil sulit berpartisipasi, terutama untuk menyampaikan keberatan dan keluhan yang dibatasi waktu. Dengan demikian, asimetri informasi menjadi inti persoalan, yang membuat Amdalnet berisiko membungkam komunitas lokal dan melemahkan prinsip demokrasi lingkungan.
Reformasi mutlak diperlukan. Misalnya, adanya mandat untuk membuka data spasial secara transparan dalam sistem Analisis Dampak Lingkungan berbasis jaringan, serta pembentukan Tim Uji Kelayakan yang benar-benar independen dengan kuota khusus bagi masyarakat adat dan lokal. Tanpa langkah-langkah tersebut, sistem ini hanya akan melanjutkan siklus kerusakan lingkungan demi pertumbuhan ekonomi yang sempit dan tidak berkelanjutan.

