Bencana Sumatra: Pengaturan Ruang Sosial dan Ekologi Neoliberal
- 0 Comments
- 10 December 2025
oleh: Widhyanto Muttaqien
Bencana banjir besar dan longsor di Sumatra (Aceh, Sumut, Sumbar) 2025 bukan “sekadar” kejadian hidrometeorologis, tetapi manifestasi krisis tata ruang dan rezim ekstraktivisme-neoliberal yang telah lama dibangun. Ekspansi sawit, tambang, food estate, dan infrastruktur ke kawasan hutan, DAS kritis, dan rawa gambut menjadikan wilayah tersebut rapuh secara ekologis, sementara kebijakan penanggulangan bencana direduksi menjadi manajemen krisis jangka pendek, bukan transformasi struktural.
Analisis Lowy Institute atas banjir Sumatra menyebutkan bahwa bencana ini menewaskan lebih dari 800 jiwa dan mempengaruhi lebih dari 3,2 juta orang, dengan banyak komunitas yang tergenang dan infrastruktur dasar lumpuh dalam waktu lama. Bencana ini memenuhi semua indikator untuk penetapan sebagai bencana nasional, tetapi status tersebut tidak dikeluarkan oleh pemerintah pusat.
Dari sisi kerugian ekonomi, kajian Celios (Center of Economics and Law Studies) menghitung estimasi kerugian ekonomi sekitar Rp 68,67 triliun akibat banjir besar di tiga provinsi Sumatra tersebut. Kerugian ini tidak hanya berupa kerusakan fisik (perumahan, jalan, jembatan, sawah), tetapi juga gangguan terhadap aktivitas ekonomi lokal, hilangnya produktivitas lahan, dan beban fiskal untuk pemulihan infrastruktur.
Ekstraktivisme dan Produksi Kerentanan
Banjir Sumatra adalah bencana ekologis yang disebabkan oleh deforestasi untuk ekspansi perkebunan sawit dan tambang. Pembukaan perkebunan sawit menurunkan produktivitas ekologis hutan, mengurangi luas tutupan hutan, dan menghilangkan fungsi ekologis penting seperti penyerapan air, pengendalian banjir, dan penyediaan layanan ekosistem bagi masyarakat lokal. Desa-desa yang bergantung pada sektor tambang memiliki risiko banjir 2,25 kali lebih tinggi dibanding desa yang tidak bergantung pada tambang, berdasarkan model logit yang mereka gunakan dengan data PODES nasional.
Di Sumatra, DAS kritis kehilangan pertahanan alami karena deforestasi dan tata guna lahan yang buruk. Lowy Institute menyoroti wilayah tangkapan air di Sumatra telah dihilangkan dari pertahanan alaminya akibat kombinasi deforestasi, pembukaan lahan, dan pelanggaran tata ruang, yang memperbesar intensitas dan cakupan banjir. Pembangunan di dataran banjir, sempadan sungai, dan kawasan riskan terus berlanjut, meskipun secara legal ada instrumen untuk melarang atau membatasinya. Instrumen hukum ada, tetapi tidak ditegakkan secara efektif.
Artinya, bencana bukan hanya akibat hujan ekstrem atau fenomena siklon di Selat Malaka, tetapi hasil dari konfigurasi politik-ekonomi ruang, negara menerbitkan izin-izin yang mengundang modal korporasi masuk ke hutan, gambut, dan lereng terjal, sementara pengawasan dan sanksi berjalan lemah.
Banyak kebijakan pembangunan dan investasi besar seringkali berangkat dari logika akumulasi kapital. Lahan-lahan yang selama ini menjadi ruang hidup komunitas lokal diubah menjadi aset produktif bagi perusahaan dan investor besar. Dalam proses itu, praktik-praktik tradisional masyarakat yang sebenarnya lebih adaptif terhadap ekosistem gambut dan siklus hidrologis justru diabaikan, dianggap tidak relevan dengan visi modernisasi.
Akibatnya, risiko ekologis dan sosial yang muncul dari eksploitasi lahan, seperti kebakaran hutan, banjir, hingga konflik agraria, tidak ditanggung oleh para pemilik modal, melainkan dialihkan ke tubuh masyarakat lokal. Komunitas yang paling rentan, termasuk petani kecil dan kelompok adat, harus menanggung beban kerusakan lingkungan dan ketidakpastian hidup. Dengan kata lain, keuntungan terkonsentrasi di tangan segelintir pihak, sementara ongkos ekologis dan sosial ditanggung oleh banyak orang yang justru paling bergantung pada keberlanjutan ekosistem tersebut.
Momen Penyingkapan
Bencana yang terus berulang ibarat bara api yang disembunyikan di balik izin-izin yang tak pernah diaudit. Bara itu dibiarkan menyala pelan, menunggu angin kering untuk menjelma api besar. Peninjauan tata ruang selalu dijanjikan nanti, seolah waktu bisa menunda kerentanan yang sudah nyata di tubuh masyarakat.
Di sisi lain, izin perusahaan yang terbukti melanggar tata ruang tetap berdiri kokoh, seperti benteng yang tak tersentuh. Padahal, pemerintah sendiri sudah mengidentifikasi belasan entitas yang diduga menanam benih bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar. Ketika izin-izin itu tak dicabut, publik melihat paradoks yang dilindungi bukanlah sungai dan hutan, melainkan kepentingan korporasi.
Dan ketika bencana datang, jawaban yang diberikan hanyalah shelter dan infrastruktur darurat. Itu seperti menambal perahu bocor dengan kain tipis, sementara arus deras tetap menghantam. Tanpa keberanian untuk merombak model pembangunan yang bergantung pada sawit, tambang, dan food estate, kita hanya mewariskan banjir dan api kepada generasi berikutnya. Yang dibutuhkan bukan sekadar tanggap darurat, melainkan perubahan arah: dari pembangunan yang menanam bencana, menuju pembangunan yang menumbuhkan kehidupan.
Krisis tata ruang sebagai krisis rasionalitas pemerintahan
Di lapangan, kronologi bencana ini menunjukkan pola yang jelas pelanggaran tata ruang yang sistemik, pembangunan di sempadan sungai yang seharusnya dilindungi, ekspansi permukiman ke lereng rawan longsor, dan penyalahgunaan kawasan lindung telah mengubah Sumatra menjadi zona kerentanan yang akumulatif. Data dari JATAM menunjukkan bahwa Sumatra saat ini dipenuhi 1.907 izin usaha pertambangan minerba aktif dengan total luas 2.458.469 hektare, ditambah ribuan konsesi perkebunan kelapa sawit, jaringan PLTA (pembangkit listrik tenaga air), dan infrastruktur ekstraktif lainnya. Artinya, bukan alam yang garang, melainkan pilihan negara untuk mengubah Sumatra menjadi ekosistem yang sudah rapuh sebelum hujan lebat menyambutnya.
Masalahnya, negara tidak menghentikan logika ekstraktivisme ini setelah bencana menunjukkan akibat buruknya. Program-program nasional yang didukung pusat, seperti food estate (lumbung pangan). Di tingkat lokal lumbung pangan ini menggunakan lahan-lahan milik masyarakat yang mendukung program pemerintah, belum lagi perluasan sawit, dan tanaman monokultur lain seperti hortikultur yang tidak memenuhi syarat agroekologi. Narasi “ketahanan pangan”, “pertumbuhan ekonomi”, dan “investasi strategis”, membuat 800 nyawa dan milyaran rupiah kerugian adalah “biaya operasional” yang terhitung dalam kalkulasi rentabilitas. Pemerintah memang mengidentifikasi 12 entitas hukum yang diduga berkontribusi pada bencana hidrometeorologis, namun tidak mengumumkan rencana konkret untuk mencabut izin mereka. Sebaliknya, respons pemerintah terfokus pada triage darurat, hunian sementara, perbaikan akses jalan, pemulihan infrastruktur, tanpa audit sistematis terhadap izin-izin yang justru menyebabkan kerentanan ini. Ini adalah strategi yang sudah familiar di berbagai belahan dunia Selatan, ketika bencana ekologis terjadi, negara bertindak seolah ia adalah fenomena “force majeure” yang tidak terduga, bukan hasil dari model pembangunan pilihan negara sendiri.
Konversi hutan menjadi sawit dan food estate di Sumatra mencerminkan bagaimana “optimalisasi ruang untuk investasi” tersebut sebenarnya adalah legalisasi pencurian ekologis. Di Sumatera Utara, misalnya, pemerintah telah mengubah status hutan lindung dan hutan produksi menjadi “area penggunaan lain (APL)” agar dapat diperluas menjadi food estate, dengan target 11.759 hektare terkonversi. Konsesi sawit di Indonesia telah mencapai 20,9 juta hektare nasional, dengan 3,8 juta di antaranya tumpang tindih dengan konsesi kehutanan dan pertambangan, menciptakan lanskap yang terfragmentasi dan rapuh.
Ketika hutan hilang, daya serap air tanah berkurang drastis. Hilangnya tutupan hutan berarti hilangnya fungsi hutan sebagai pengendali daur air melalui proses infiltrasi dan evapotranspirasi, yang akhirnya memicu erosi masif dan limpasan permukaan yang menjadi picu banjir bandang. Bencana bukan nasib, melainkan pengaturan spatial yang dengan sadar diolah sedemikian rupa sehingga risiko banjir, longsor, meningkat eksponensial. Negara tahu hal ini, kajian akademis dan data-data resmi sudah membuktikannya, tetapi tetap melangsungkan perizinan dan program yang mempercepat kehancuran hutan.
Kegigihan logika ekstraktivisme terhadap ancaman bencana ini mengungkap apa yang sebenarnya menjadi target sebenarnya, bukan pembangunan bagi kesejahteraan warga, melainkan konsolidasi kontrol atas ruang dan sumber daya demi kepentingan akumulasi kapital. Dalam bingkai optimalisasi ruang yang terjadi sebenarnya adalah optimalisasi untuk menggerakkan modal memasuki kawasan yang sebelumnya relatif otonom.
Jalan keluar dari siklus ini tidak terletak pada “perbaikan tata ruang” dalam makna teknokratis, melainkan pada moratorium nyata terhadap ekspansi ekstraktif, audit menyeluruh atas izin-izin yang merusak, dan pengembalian kontrol ruang kepada masyarakat lokal dan adat yang terbukti paling berkepentingan menjaga hutan dan sungai. Mengembalikan otonomi terhadap masyarakat adalah jalan untuk mengembalikan resiliensi sosial dan ekologis
Praktik Ekonomi Neoliberal Memadamkan Bentuk-bentuk Kehidupan Sosial
Kasus Sumatra memperlihatkan beberapa lapisan, warga di kawasan hulu dan pinggiran (desa sekitar konsesi sawit, tambang, dan gambut) hidup dalam kondisi kerentanan struktural: lahan yang dulu subur kini terdegradasi; akses ke sumber daya dikunci melalui mekanisme perizinan korporasi; konflik agraria dibiarkan berlarut-larut.
Ketika bencana terjadi, mereka menjadi pengungsi di tanah sendiri, bergantung pada tenda, huntara, bantuan logistik, dan kebijakan relokasi yang ditentukan dari pusat. Kapasitas mereka untuk memilih cara hidup (subsistensi agraris, perikanan tradisional, praktik adat) semakin tergerus.
Disini tampak bagaimana kondisi bare life (kehidupan telanjang yang hanya dipandang sebagai tubuh biologis yang harus diselamatkan secukupnya) diproduksi. Negara menonjolkan angka “orang diselamatkan”, “hunian dibangun”, “bantuan disalurkan” sebagai indikator keberhasilan, sementara pertanyaan tentang hak atas ruang hidup, kontrol atas sumber daya alam, dan keberlanjutan pola produksi tidak disentuh.
Mereka yang kehilangan tanah dan mata pencaharian tidak dipulihkan sebagai subjek politik dengan hak menentukan masa depan ruangnya, tetapi sebagai objek kebijakan sosial dan pembangunan ulang. Dalam pengertian ini, pemulihan pasca-bencana beroperasi sebagai praktik biopolitik: kehidupan dipelihara sejauh diperlukan untuk menjaga stabilitas dan produktivitas, tetapi bentuk-bentuk kehidupan sosial tertentu (komunitas agraris otonom, praktik adat, relasi ekologis non-ekstraktif) boleh secara de facto dihancurkan.
Di banyak teori tentang biopolitik, fokus diberikan pada hak kedaulatan untuk membunuh (right to kill). Namun, bencana Sumatra memperlihatkan bentuk lain dari kedaulatan, hak untuk mengatur siapa yang dibiarkan terus hidup sebagai komunitas bermakna, dan siapa yang direduksi menjadi populasi mengambang yang dapat direlokasi dan diintegrasikan ke dalam ekonomi formal.
Tidak dinyatakannya status bencana nasional, padahal indikator terpenuhi. Akibatnya, akses terhadap anggaran, dukungan internasional, dan priorisasi program menjadi terbatas. Pilihan ini menunjukkan bagaimana negara dapat mengkalibrasi derajat kedaruratan, dan dengan demikian derajat “kelayakan hidup” populasi terdampak dalam imajinasi kebijakan.
Anggaran penanggulangan bencana BNPB relatif kecil dibandingkan dengan proyek-proyek nasional strategis dan program populis seperti makan bergizi gratis (MBG). Ini menunjukkan bahwa memelihara infrastruktur populasi (melalui program konsumsi massal) lebih dikedepankan daripada membangun ketahanan struktural menghadapi bencana ekologis. Atau menga negara bangkrut? Cicilan proyek keret cepat Jokowi menghabiskan cicilan utang 2 trilyun per tahun.
Penegakan hukum terhadap 12 entitas korporasi yang diduga berkontribusi pada bencana hidrometeorologis baru dijanjikan pascabencana, tanpa jaminan bahwa izin akan dicabut dan pola ekstraktivisme dihentikan. Dengan kata lain, kehidupan ekonomi korporasi justru lebih dilindungi dibandingkan kehidupan sosial komunitas yang terdampak.
Dalam kerangka ini, pengaturan neoliberal bekerja dengan logika menormalisasi risiko sebagai konsekuensi tak terhindarkan pembangunan. Mengubah bencana menjadi krisis tata kelola yang dapat direspons dengan protokol teknokratis (logistik, huntara, perbaikan jalan), bukan sebagai sinyal perlunya reorientasi ekonomi-politik. Menggunakan pemulihan (recovery) sebagai momen untuk reorganisasi ruang: memindahkan komunitas dari kawasan “berisiko” (yang sering kali telah dipetakan untuk ekspansi investasi) ke hunian baru yang lebih mudah dikendalikan, sambil mempertahankan kerangka hukum yang memfasilitasi investasi di ruang yang mereka tinggalkan.
Alternatif Pemerintahan
Bencana Sumatra 2025 harus dipahami bukan hanya sebagai kegagalan teknis dalam mitigasi, tetapi sebagai hasil dari rezim pembangunan neoliberal-ekstraktif yang mengatur ruang dan populasi. Jalan keluarnya adalah reorientasi tata ruang berbasis keadilan ekologis
Tata ruang harus dipahami sebagai alat redistribusi risiko dan manfaat, bukan sekadar penataan lahan untuk investasi. Melakukan pengembalian fungsi ekologis kawasan penyangga (hutan, mangrove, gambut) dengan menempatkan komunitas lokal sebagai aktor utama restorasi. Pengakuan dan perlindungan hak atas tanah dan ruang hidup (adat, komunal, lokal) untuk mencegah relokasi paksa dan land grabbing berkedok rekonstruksi.
Alih-alih mengatur populasi terutama sebagai tenaga kerja dan konsumen dalam perekonomian ekstraktif, pemerintahan dapat mengambil arah ekologi-politik yaitu melindungi bentuk-bentuk kehidupan sosial yang lebih kooperatif, agraris-berkelanjutan, dan terikat erat dengan ekosistem lokal.
Lebih dari itu, pengetahuan lokal tentang pola air, siklus musim, dan sejarah bencana bukan sekadar data pelengkap etnografis yang bisa dipajang di laporan. Sejaarah ruang hidup adalah peta jalan yang diwariskan turun-temurun, hasil dari interaksi panjang manusia dengan alam. Jika pengetahuan ini diakui sebagai basis perencanaan, maka kebijakan akan lebih adaptif, lebih realistis, dan lebih berpihak pada keselamatan masyarakat. Jangan mengabaikan data ini seolah-olah ‘perencanaan modern’ dan teknokratis adalah jalan terbaik dalam lanskap sosial-ekologis masyarakat lokal.
Dengan melibatkan komunitas terdampak dan mengakui kearifan lokal, kita tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga membangun kepercayaan sosial. Forum penetapan status bencana dan audit izin akan lebih transparan, relokasi akan lebih manusiawi, dan perencanaan akan lebih berkelanjutan. Inilah cara mengubah paradigma: dari pembangunan yang top-down dan elitis, menuju pembangunan yang demokratis, partisipatif, dan berakar pada pengetahuan yang hidup di tengah masyarakat.
Pustaka
https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/sumatra-floods-indonesia-stuck-cycle-crisis-management


