Mafia Lingkungan Global, Represi Lokal, dan Panggung Sandiwara Keberlanjutan dengan Topeng Hijau
- 0 Comments
- 12 July 2025
Risalah Buku: Kamuflase Hijau: Membedah Ideologi Lingkungan Perusahaan-perusahaan Transnasional, Yayasan Obor Indonesia 1998 penerjemah: Soediro. Diterjemahkan dari GREENWASH: The Reality Behind Corporate Environmentalism Oleh Jed Greer & Kenny Bruno (1996)
Buku ini mengungkap praktik greenwash—strategi korporasi multinasional (TNC) untuk mencitrakan diri sebagai ramah lingkungan dan berkelanjutan demi mempertahankan pasar, meski operasi mereka justru merusak ekosistem dan masyarakat. Greenwash marak pada 1990-an, terutama saat KTT Bumi (UNCED) di Rio (1992), di mana TNC memengaruhi agenda global melalui lobi dan pencitraan. Alonso et al (2014) mengatakan, “the greatest threat to the planet is not climate denial, but the alliance between symbolic environmentalism and state violence that disguises exploitation as sustainability.” Greenwashing yang dilakukan korporat dan represi negara adalah dua mekanisme saling bergantung dari satu sistem yang mempertahankan eksploitasi ekologis. Secara simbolik lingkungan lestari melegitimasi proyek yang merusak, sedangkan kekerasan negara membungkam penentangan—menciptakan ilusi keberlanjutan sambil mengukuhkan ketidakadilan ekologis.
Buku ini mendeskripsikan pola umum greenwash.
- Pencitraan kosong, iklan yang menampilkan alam/satwa liar, sementara operasi nyata mencemari lingkungan (seperti yang dilakukan Shell: iklan Protected by Shell dengan gambar satwa, tapi polusi minyak di Nigeria). Perusahaan ini menjadi sponsor acara lingkungan, seperti perusahaan Mobil, sebagai sponsor Earth Day 1995.
- Manipulasi istilah lingkungan, dilakukan dnegan mengklaim pembangunan berkelanjutan sambil terus mengeksploitasi sumber daya tak terbarukan, seperti yang dilakukan Shell dengan klaim pendekatan kehati-hatian untuk perubahan iklim, tapi investasi besar di eksplorasi minyak. Manipulasi juga dilakukan dnegan mendefinisikan ulang prinsip lingkungan seperti ICC (Imperial Chemical Industries) mengubah makna precautionary approach demi kepentingan industri.
- Kode etik sukarela yang lemah , misalnya program Responsible Care industri kimia yang tidak mengikat, tidak mencakup operasi luar negeri (dimana perusahaan mengekspor barangnya), dan evaluasi tidak dipublikasikan seperti yang dilakukan Dow Chemical. Imperial Chemical Industries menggunakan Rotterdam Charter yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi, mengabaikan dampak ekologis. Rotterdam Charter (Piagam Rotterdam) adalah kode etik sukarela industri kimia global yang dirancang untuk menunjukkan “komitmen lingkungan” korporasi.
- Ekspor bahaya ke negara berkembang, dilakukan dnegan cara menjual produk beracun yang dilarang di negara maju, seperti yang dilakukan DuPont ekspor tetraethyl lead ke Meksiko atau Rhone-Poulenc ekspor aldicarb dan lindane. Perusahaan multinasional juga menggunakan standar ganda pabrik, seperti kasuus polusi berat di Brasil Valley of Death dibandingkan standar ketat di Eropa.
- Hijau Palsu melalui teknologi, menggunakan pendekatan bahasa dengan klaim teknologi ramah lingkungan yang sebenarnya tidak berkelanjutan seperti yang dilakukan perusahaan Solvay, insinerasi sampah berlabel “daur ulang” tapi menghasilkan dioksin. Perusahaan ini melakukan proses daur ulang plastik yang justru memperluas pasar produk baru.
- Lobi dan kendali kebijakan global, TNC mendikte perjanjian internasional seperti melemahkan Konvensi Perubahan Iklim dan Keanekaragaman Hayati di UNCED, membentuk asosiasi bisnis seperti Business Council for Sustainable Development untuk mempromosikan
Tabel Pola dan Modus Greenwash per Perusahaan
| Perusahaan | Industri | Pola Greenwash | Modus Operandi | Dampak Lingkungan/Sosial |
| Royal Dutch/Shell | Minyak & Gas | Klaim “peduli lingkungan” lewat program Better Environment AwardsIklan satwa laut | Investasi besar di eksplorasi minyak baruLobi lewat Global Climate Coalition untuk tunda aksi iklim | Polusi minyak di Nigeria (Ogoni): 2.796 tumpahan (1976–1990)DBCP: pestisida penyebab steril petani Kosta Rika |
| Mobil | Minyak & Gas | Iklan environmental excellence dengan gambar rig minyak dikelilingi ikan. | Biodegradability scam klaim tas plastik “terurai”.Kantor “ramah lingkungan” di AS, tapi polusi berat di California (Torrance refinery) | Tumpahan minyak di Gulf of Mexico: rusak ekosistem pesisir.Pencemaran tanah di Greenpoint Terminal (AS). |
| Dow Chemical | Kimia | Program ChemAware dan Responsible CareKlaim “produk aman” | Produksi organoklorin (bahan dioksin).Ekspor pestisida tak terdaftar di AS (haloxyfop). | Kontaminasi sungai St. Clair (Kanada) oleh limbah terklorinasi.Agent Orange: dampak kesehatan veteran Vietnam. |
| DuPont | Kimia | Iklan “Applause” dengan paus/lumba-lumba.Klaim “pionir perlindungan ozon”. | Produsen CFC terbesar dunia (25% pasar global).Ekspor TEL (bensin bertimbal) ke negara berkembang | Penipisan ozon: 300.000 kasus kanker kulit/tahun.Skandal Benlate fungisida perusak tanaman di 40 negara |
| Solvay | Kimia (Klor-Alkali) | Klaim “daur ulang limbah” lewat insinerasi.Promosi PVC sebagai “hijau”. | Insinerasi limbah terklorinasi (picu dioksin).Ekspor limbah merkuri ke Spanyol. | PVC: penyumbang utama dioksin.Dumping limbah di Jenneppe-sur-Sambre (Belgia). |
| ICI/Zeneca | Agrikimia | Iklan “Paraguat dan Alam Bekerja Harmonis”. Program product stewardship | Produsen parakuat terbesar dunia (dilarang di 5 negara).Lobi agar parakuat tetap dijual | Parakuat: 1.000 kematian/tahun (Malaysia, Kosta Rika).CFC: kontributor penipisan ozon. |
| Rhone-Poulenc | Kimia & Farmasi | Iklan “kerjasama dengan komunitas” di West Virginia.Klaim etika “irreproachable”. | Ekspor aldicarb (“pestisida paling beracun”).Produksi lindane (mencemari Laut Utara). | Pabrik di Cubatão (Brasil): “Lembah Kematian” dengan polusi terparah di dunia.Keracunan pekerja perkebunan |
| Norsk Hydro | Pupuk Sintetik | Promosi pupuk sintetik sebagai “solusi kelaparan dunia”.Klaim PVC “ramah lingkungan”. | Ekspansi pasar pupuk di Global SouthLobi kebijakan fosfat di Eropa. | Pupuk nitrogen: picu emisi N₂O (gas rumah kaca 270× CO₂).Polusi berat di Norwegia |
Greenwash bukan sekadar bukan sekadar pencitraan kosong, tapi alat sistematis TNC untuk (1) Menghindari regulasi lingkungan, (2). Melemahkan kesepakatan global (seperti Protokol Montreal, Konvensi Iklim), (3.) Mempertahankan model bisnis tak berkelanjutan yang mengorbankan masyarakat miskin dan ekosistem rentan. Buku ini memberikan rekomendasi solusi nyata harus melibatkan, (1) regulasi ketat terhadap TNC, bukan kode sukarela (voluntary), tapi wajib (mandatory), (2) Transparansi, terutama jika dampak lingkungan lintas negara termasuk aturan main antara home dan host country. (3) Pemberdayaan komunitas lokal untuk menuntut akuntabilitas.
Greenwash masih marak di Indonesia, tetapi kesadaran masyarakat dan gerakan lingkungan mulai membongkar praktik ini. Beberapa kasus greenwash di Indonesia di medio 2020-an antara lain sebagai berikut.
- Sustainable Palm Oil” dengan modus deforestasi dimana perkebunan sawit (lokal & multinasional) dengan menggunakan RSPO Certified atau ISPO Bersertifikat, tetapi membuka lahan dengan pembakaran hutan. Mengiklankan investasi hijau tentang penanaman kembali, sambil terus mengonversi hutan primer. Terjadinya Karhutla sepanjang 2023, citra satelit memperlihatkan lebih dari 100.000 hektare hutan terbakar di Kalimantan & Sumatra (KLHK, 2024). Kasus PT RBA di Provinsi Riau, dengan sertifikat ISPO dicabut (2022) karena terbukti bakar lahan. Laporan Greenpeace (2021) yang menyebutkan 30% perkebunan “berkelanjutan” di Indonesia masih terkait deforestasi.
- Zero Waste Plastik oleh FMCG, dilakukan oleh perusahaan Unilever, Nestlé, Danone, menggunakan pola greenwash, kampanye “packaging recyclable” dan “circular economy“, tetapi produksi plastik sekali pakai meningkat. Menjadi sponsor acara lingkungan (beach clean-up), sambil lobi menunda Extended Producer Responsibility (EPR). Data BPS tahun 2022 menyebutkan sampah plastik Indonesia dari 9,6 juta ton/tahun, hanya 11% didaur ulang. Laporan Ecoton (2023) menyebutkan 58% sampah plastik di Sungai Brantas berasal dari Unilever, Wings, dan Indofood. GAIA Report (2022): Perusahaan FMCG di Indonesia menghindari tanggung jawab daur ulang dengan skema waste-to-energy (insinerator berpolusi).
- Green Energy” Batu Bara yang dilakukan perusahaan PLN, Adaro, berbagai perusahaan PLTU. menggunakan pola greenwash, dnegan klaim teknologi bersih (supercritical) untuk PLTU, tapi emisi CO₂ tetap tinggi. Mengiklankan diri melakukan transisi energi sambil bangun PLTU baru seperti , Jawa 9 & 10. Laporan CREA (2023) menyebutkan PLTU Indonesia penyumbang 40% emisi CO₂ nasional. Kasus Walhi vs KLHK (2021), memnyebutkan Izin lingkungan PLTU dirampungkan tanpa kajian kesehatan publik. Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) melaporakan 67% energi Indonesia pada tahun 2023 masih dari batu bara.
- Pertambangan Ramah Lingkungan dilakukan oleh perusahaan, Freeport, Aneka Tambang (ANTAM), menggunakan pola greenwash, dengan program reklamasi dan eco-mining tetapi limbah tailing mencemari sungai/laut, seperti di Teluk Buli, Halmahera Timur. Mengunakan CSR pendidikan/kesehatan untuk “pemberdayaan”, sambil menutup pelanggaran HAM lingkungan. Pada sasus Freeport, tailing di Sungai Ajkwa (Papua) mengandung tembaga & arsenik (KLHK, 2022). Laporan Jatam tahun 2023 menyebutkan 15 anak di Sulawesi Tenggara keracunan merkuri dari tambang emas ilegal yang didukung “perusahaan besar”.
- Eco-Friendly, produk kimia pertanian oleh perusahaan Bayer (pemilik Monsanto), Syngenta. yang menggunakaan pola greenwash, mengklaim pestisida biodegradable dengan produk parakuat versi baru), tetapi residu ditemukan di air tanah. Melakukan iklan pelatihan “petani modern” untuk promosi produk kimia, gantikan praktik pertanian organik. Laporan BPOM tahun 2022 menyebutkan 32% sayuran di pasar tradisional mengandung residu pestisida berbahaya (klorpirifos, parakuat). Laporan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) tahun 2021 terjadi keracunan pestisida di Brebes akibat penyemprotan berlebihan.
Daslam konteks Indonsia pola greenwahsing ini masih terjadi karena 1. Regulasi lemah, dengan penegakkan hukum dan sanksi pelanggaran lingkungan terlalu ringan seperti denda maksimal Rp. 10 miliar untuk karhutla vs keuntungan triliunan. Disahkannya UU Cipta Kerja mempermudah izin lingkungan tanpa partisipasi publik. Pengabaian partisipasi publik, menyebabkan klaim proyek dipromosikan sebagai “solusi hijau” tanpa melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan. UU Cipta Kerja menghapus sanksi pidana bagi pencemar lingkungan (hanya denda administratif).
2. Pengawasan minim, hanya 18% perusahaan di Indonesia yang diaudit lingkungan (KLHK, 2023). Audit bersifat sampel, KLHK tidak mampu mengaudit semua 3.000+ perusahaan berizin lingkungan tiap tahun, KLHK hanya 122 auditor lingkungan di seluruh Indonesia (KLHK, 2023) sehingga mustahil awasi semua perusahaan dan TNC, hal ini juga disebabkan Kontribusi pajak dan PNBP TNC besa seperti Freeport bayar Rp 107 T ke negara pada 2023, sehingga tekanan untuk “lunak” dalam audit. UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 32/2009 tentang Lingkungan Hidup memang melarang informasi menyesatkan, tapi belum cukup untuk menindak greenwashing secara sistemik dengan modus
3. Masyarakat belum kritis, kampanye korporasi sering “ditelan mentah-mentah” karena iming-iming lapangan kerja dan CSR. Selain belum kritis juga terjadi pelemahan legitimasi gerakan lingkungan, aktivis yang membongkar greenwashing dijadikan target hukum (seperti tuduhan “mengganggu ketertiban”), kasus Christina Rumahlatu dan Thomas Madilis, yang melakuka protes bencana nikel di Halmahera, pada Agustus 2024, dua mahasiswa ini melakukan aksi damai di depan kantor PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Jakarta, menyoroti banjir besar akibat deforestasi tambang nikel di Halmahera. Mereka dilaporkan ke polisi dan menghadapi intimidasi serta ancaman. penangkapan, intimidasi, dan kekerasan fisik. Banyak dari mereka hanya menyuarakan hak atas lingkungan hidup yang sehat dan aman. Kasus ini menunjukkan bagaimana aktivis yang menentang greenwashing dan kerusakan lingkungan sering kali dihadapkan pada jerat hukum, meskipun dilindungi oleh Pasal 66 UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Greenwashing melindungi investasi korporasi, banyak dugaan para pembisik Presiden Prabowo (dan juga Jokowi) selalu mengkriminalisasi dan mendelegitimasi gerakan lingkungan. Kasus-kasus kriminalisasi sampai tuduhan terorisme di Poso atau di Papua berkaitan dengan tentangan masyarakat setempat dan adat terhadap perampasan lahan yang dilakukan oleh korporasi dengan stempel pemerintah seperti yang dilakukan oleh Proyek Strategis Nasiona. Delegitimasi juga dilakukan lewat wacana penolakan klausul deforestasi yang dihubungkan dengan industri kelapa sawit dalam EUDR atau wacana pelonggaran ketertelusuran dalam produk sertifikasi kayu Indonesia. Greenwashing adalah bagian dari iklan korporasi dalam mengakumulasi kapital mereka. Seringkali ongkos untuk merepresi masyarakat dengan penggunaan aparat negara seperti polisi dan tentara lebih besar dari ongkos pemberdayaan masyarakat, namun hal ini merupakan ‘ruang gelap’ dari praktik buruk korporasi. Dan represi seperti ini berhasil karena memecah belah kekuatan masyarakat dengan menciptakan rasa takut, bahkan teror fisik pada protes yang dilakukan secara damai.
Para aktivis lingkungan (yang berkolaborasi dengan tokoh adat) yang bekerja di banyak daerah di Indonesia, tuduhan anti kemajuan seringkali diutarakan oleh ‘kolega akademis mereka’. Slavoj Zizek dalam Against Progress (2025), menyatakan bahwa seringkali para akademisi tahu bahwa kemajuan telah menyebabkan krisis iklim, ketimpangan, dan populisme, seperti kampanye ketahanan pangan rezim Jokowi dan Prabowo, tapi mereka tetap melanjutkannya, memberikan stempel ‘lestari’ pada perampasan lahan dan kerusakan ekologi. Žižek menyebut ini sebagai disavowal, kita sadar akan kerusakan, tapi memilih untuk tidak bertindak. Para akademisi berusaha meredam resistensi publik dengan ilusi solusi lingkungan, sekaligus melindungi investasi elit politik-ekonomi.
Referensi tambahan
Alonso, C. et al. 2014. Repression and Criminalization of the Ecologist Movement in the Basque Country
Bowen, F. 2014. After Greenwashing: Symbolic Corporate Environmentalism and Society.
Žižek , Slavoj. 2025. Against Progress. Bloombury
Pengulas: Widhyanto Muttaqien

