oleh: Widhyanto Muttaqien
Para teoretikus ekologi politik seperti Murray Bookchin berargumen bahwa krisis lingkungan saat ini tidak bisa dilepaskan dari struktur politik-ekonomi modern yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi, eksploitasi alam, dan dominasi teknologi atas alam serta manusia.
Dalam kerangka ini, apa yang disebut “modernitas”, yaitu rasionalitas instrumental, industrialisasi, dan dominasi manusia atas alam, telah memunculkan apa yang sering disebut sebagai krisis ekologis global seperti kerusakan lingkungan, perubahan iklim, degradasi ekosistem, serta meningkatnya ketimpangan sosial-ekologis.
Maka dari itu, solusi teoretis terhadap krisis ini tidak bisa hanya teknis, seperti memakai teknologi “lebih hijau” atau efisiensi, tetapi butuh perubahan struktural perubahan sistem politik dan ekonomi yang mengedepankan keadilan sosial, partisipasi demokratis, dan keberlanjutan ekologis.
Konsep demokrasi ekologis atau demokrasi sosial-ekologis muncul sebagai alternatif terhadap demokrasi liberal tradisional yang memperlakukan alam sebagai objek dan memisahkan antara manusia dan lingkungan. Demokrasi ekologis menekankan interdependensi manusia dan alam, partisipasi publik, serta tata kelola bersama atas sumber daya.
Futurisme, Utopia, dan Masa Depan, Peran Imajinasi Kritikal
Sementara itu, tradisi futurisme (dan utopia) mewarnai imajinasi kita tentang masa depan, bukan masa lalu yang dijaga, tetapi masa depan yang dibentuk, bukan kemapanan, tetapi transformasi.
Dalam literatur kontemporer muncul gagasan seperti “Artificial Utopia”, yaitu simulasi dan model berbasis kecerdasan buatan (AI) atau agen cerdas untuk bereksperimen dengan sistem politik, sosial, dan ekonomi yang demokratis dan berkeadilan, sebelum diimplementasikan di dunia nyata. Pendekatan ini menawarkan kemungkinan eksplorasi utopis–futuristik secara aman, memodelkan bagaimana sistem “demokrasi + ekologi + keadilan sosial” bisa berjalan dalam skenario berbeda.
Ada pula penelitian di ranah “sosiologi–ekologi” yang menggunakan konsep “anticipation-induced social tipping”, artinya kesadaran sosial terhadap krisis ekologis bisa memicu perubahan perilaku kolektif, menstabilkan sistem ekologis-sosial, dan mencegah keruntuhan struktural.
Krisis ekologis global, seperti kerusakan alam, pemanasan global, polusi, hilangnya keanekaragaman hayati tidak terjadi secara merata. konsekuensi paling besar sering dirasakan oleh kelompok termiskin atau paling rentan, sementara kelompok kaya/berkuasa memberikan kontribusi besar terhadap kerusakan.
Menurut peneliti seperti Lucas Chancel, ketimpangan sosial dan lingkungan ini saling mendukung, ketidakadilan sosial memperparah kerusakan lingkungan, dan degradasi lingkungan memperdalam ketidakadilan sosial. Dengan kata lain tanpa redistribusi kekayaan dan akses sumber daya secara adil, serta tanpa pengakuan terhadap hak-hak masyarakat atas lingkungan, solusi terhadap krisis ekologis akan selalu dangkal, hanya kosmetik atau sementara.
Indonesia Emas

Gagasan “Indonesia Emas 2045” bisa dilihat sebagai versi modern dari utopia nasional: visi sebuah Indonesia maju, adil, sejahtera, berdaya saing, ideal bagi rakyat dan generasi masa depan. Namun, jika visi itu dibangun atas model modernitas tradisional, pertumbuhan ekonomi cepat, industrialisasi massif, ekspansi kapitalisme, maka kita berisiko menghadapi paradoks: kemajuan material, tapi kerusakan lingkungan, ketimpangan, dan disintegrasi sosial. Apalagi jika kita menganggap utopia tersebut sebagai harmoni dan keseragaman semata, maka konsep utopia tersebut menjadi konsep yang penuh dengan otoritarianisme, dimana kepatuhan adalah jalan bagi terbentuknya maksyarakat ideal.
Sebaliknya, jika kita menyinergikan elemen dari futurisme dan utopia menggunakan imajinasi futuristik + kesadaran ekologis + prinsip keadilan sosial + demokrasi ekologis, maka “Indonesia Emas 2045” bisa menjadi visi yang bukan hanya capaian material, tetapi berkelanjutan, manusiawi, dan egaliter.
Mengadopsi ekonomi komunitas berbasis nilai bersama, bukan eksploitasi masif, adalah langkah krusial dalam menghadapi tantangan zaman. Konsep “community-based economies” mengajarkan kita bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mendemokratisasi ekonomi, menjaga alam, dan memperkuat solidaritas komunitas. Ekonomi tidak harus selalu tentang keuntungan besar yang mengorbankan lingkungan dan manusia, sebaliknya, ia bisa menjadi sarana untuk membangun kehidupan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Selain itu, memperkuat demokrasi deliberatif lewat musyawarah publik menjadi fondasi penting dalam pengambilan keputusan yang melibatkan kebijakan lingkungan, akses sumber daya, distribusi kekayaan, serta konservasi alam. Semua itu selaras dengan gagasan demokrasi ekologis yang menempatkan partisipasi masyarakat sebagai kunci keberhasilan pengelolaan bersama sumber daya alam yang terbatas.
Dari Krisis Menuju Krisis
Bruno Latour mengingatkan bahwa politik harus membuka ruang bagi “aktor non-manusia” alam, ekosistem, bahkan spesies lain, untuk diakui dalam tata kelola. Demokrasi ekologis hadir sebagai alternatif: sebuah sistem politik yang menekankan interdependensi manusia- alam. Salah satu karya penting Latour adalah “We Have Never Been Modern” (1991), di mana ia mengkritik modernitas dan mengusulkan cara baru memahami hubungan antara manusia dan non-manusia (alam, teknologi), yang membuka ruang bagi pemikiran tentang masa depan yang inklusif dan ekologis.
Dalam menghadapi krisis ekologi global, kita harus menggeser paradigma politik-ekonomi lama yang berorientasi pada pertumbuhan tak terbatas menuju logika keberlanjutan. Proses ini menuntut integrasi keadilan sosial dengan keadilan ekologis, mengakui bahwa kesejahteraan manusia tidak bisa dilepaskan dari kesejahteraan alam. Pola pikir yang berfokus pada akumulasi modal semata kini harus berubah jadi solidaritas dan tanggung jawab bersama terhadap planet ini. Hal ini berbeda dengan saran dari Club of Rome pada tahun 1972 yang hanya fokus pada batas biofisik, mengabaikan aspek demokratisasi sosial-ekologis yang menyoroti dimensi politik dan keadilan: siapa yang menanggung beban krisis, siapa yang menikmati keuntungan.
Membangun demokrasi ekologis adalah langkah berikutnya adalah menerima hak alam sebagai bagian komunitas politik yang punya suara dan perlindungan hukum. Partisipasi publik harus diperluas ke pengambilan keputusan atas sumber daya alam, memastikan bahwa suara masyarakat terutama yang terdampak langsung, tidak terpinggirkan oleh kepentingan elite dan rentenir ekologi (karena mereka mengambil keuntungan dari kelangkaan atau monopoli akses, bukan dari produksi berkelanjutan, mereka mengabaikan biaya sosial-ekologis seperti kerusakan hutan, pencemaran air, hilangnya tanah masyarakat adat, atau krisis iklim, mereka memperkuat ketimpangan dimana kelompok kaya semakin diuntungkan, sementara masyarakat miskin dan rentan menanggung beban kerusakan). Demokrasi ekologis menawarkan kerangka inklusif yang nyata bagi perlindungan sumber daya dan pemberdayaan masyarakat.
Imajinasi kritis dan utopis dapat menjadi laboratorium ide bagi masa depan alternatif. Futurisme bukan sekadar fantasi, melainkan eksperimen sosial-ekologis yang dapat memperkaya desain sistem politik-ekonomi baru. Misalnya, simulasi berbasis kecerdasan buatan dapat membantu merancang struktur pemerintahan yang adil dan ramah lingkungan sebelum diterapkan di dunia nyata, meminimalisir kesalahan dalam merumuskan kebijakan transformatif.
Namun transformasi ini harus memberi perhatian khusus pada ketimpangan sosial-ekologis yang ada. Redistribusi akses sumber daya dan kekayaan perlu digalakkan agar kelompok rentan, mereka yang paling merasakan dampak krisis lingkungan menerima perlindungan (hukum) dan sumber daya yang setara. Tanpa keadilan ekologis yang menyertai keadilan sosial, masa depan kita berisiko memperdalam jurang ketidaksetaraan dan kehancuran ekosistem.
Dalam konteks Indonesia dan dunia, visi keberlanjutan yang berlandaskan demokrasi ekologis dan keadilan sosial-ekologis adalah kebutuhan mendesak. Kita bisa mendesain kebijakan yang tidak hanya menanggulangi krisis saat ini, tetapi juga membangun mekanisme tangguh menghadapi ketidakpastian di masa depan. Masa depan yang adil dan berkelanjutan hanya bisa tercapai jika kita berani melangkah keluar dari paradigma lama menuju ruang-ruang baru kemungkinan.

Pustaka
The Ecology of Freedom | The Anarchist Library
Peters, M. A. (2017). Ecopolitical philosophy, education and grassroots democracy: The “return” of Murray Bookchin (and John Dewey?). Geopolitics, History, and International Relations, 9(2), 7–14. content
Social tipping dynamics for stabilizing Earth’s climate by 2050
Latour, B. (1993). We have never been modern (C. Porter, Trans.). Cambridge, MA: Harvard University Press

