Dinamika Kriminalisasi dan Politik Api di Perkebunan Sawit Dari Kalimantan ke Frontier Papua

oleh: Widhyanto Muttaqien

Antara Pertanggungjawaban Mutlak dan Realitas Sosial

Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Indonesia bukan sekadar peristiwa ekologis, melainkan sebuah fenomena kompleks yang melibatkan dimensi hukum, ekonomi politik, dan konflik sosial. Sejarah panjang deforestasi di Indonesia menempatkan negara ini sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, terutama saat musim kemarau tiba. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2015 saja, krisis Karhutla menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari $16 miliar dan menempatkan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia hanya dalam waktu enam minggu. Koordinator Teknis MapBiomas Fire Indonesia, Sesilia Maharani Putri mencatat puncak kebakaran sejak 2000-2024 terjadi pada tahun 2014, 2015, dan 2019 dengan total area terbakar tahunan mencapai 19,6 juta hektar. Laporan itu merujuk pada citra satelit Landsat 5,7, dan 8.  https://lestari.kompas.com/read/2025/12/16/193500186/kalimantan-dan-sumatera-jadi-pusat-kebakaran-hutan-dan-lahan-selama-25-tahun?page=all. Masih dalam laporan ini, 35 persen kebakaran di Indonesia atau sekitar tiga juta hektar terdeteksi berada di dalam kawasan konsesi pertambangan, izin usaha pemanfaatan hutan (PBPH), dan perkebunan sawit. Dari jumlah tersebut, 93 persen kebakaran dalam konsesi terjadi di Kalimantan dan Sumatera.

Di tengah kabut asap yang berulang, muncul perdebatan sengit mengenai siapa yang harus bertanggung jawab. Apakah korporasi besar yang memegang konsesi, atau petani kecil yang berjuang membuka lahan? Dokumen-dokumen yang ada menyoroti proses kriminalisasi dan penegakan hukum yang seringkali penuh dengan ketegangan. Di satu sisi, terdapat konsep hukum Strict Liability (tanggung jawab mutlak) yang dirancang untuk menjerat pemegang izin. Di sisi lain, konstruksi media dan penegakan hukum di lapangan seringkali memperlihatkan wajah yang berbeda, di mana petani kecil atau “oknum” menjadi sorotan utama, sementara akar masalah struktural seperti konflik lahan dan ketimpangan penguasaan tanah seringkali terabaikan

Tulisan ini akan mengupas tuntas proses kriminalisasi di kebun sawit, mulai dari kerangka hukum yang berlaku, studi kasus penegakan hukum terhadap korporasi, hingga analisis sosiologis mengenai mengapa api digunakan sebagai “senjata” dalam konflik agraria.

Kerangka Hukum: Menjerat Pelaku dengan Strict Liability

Dasar hukum utama dalam proses kriminalisasi pembakaran hutan di area konsesi merujuk pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Secara spesifik, Pasal 49 undang-undang ini menjadi momok bagi pemegang izin usaha perkebunan. Pasal ini menegaskan bahwa “Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”.

Ketentuan ini menjadi landasan bagi penerapan prinsip Strict Liability atau tanggung jawab mutlak. Dalam konteks ini, korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana maupun perdata tanpa perlu membuktikan adanya unsur kesalahan (intent) atau kelalaian secara mendalam, cukup dengan bukti bahwa kebakaran terjadi di wilayah konsesi mereka. Masyarakat dan penegak hukum menganggap pasal ini sudah cukup kuat untuk menjerat pelaku pembakaran, yang diilhami oleh kebakaran hebat tahun 1997-1999

Dalam dokumen kasus PT XXX, dijelaskan bahwa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada korporasi meliputi tiga aspek:

  1. Sanksi Administrasi: Terkait pelanggaran kewajiban pencegahan kebakaran, seperti tidak adanya sarana pemadam yang memadai.
  2. Sanksi Perdata: Berupa ganti rugi atas kegagalan melakukan pencegahan.
  3. Sanksi Pidana: Diberikan karena adanya unsur pembakaran itu sendiri.

Penyegelan lahan seringkali menjadi langkah awal dari proses “kriminalisasi” atau penegakan hukum ini, yang merupakan manifestasi dari prinsip tanggung jawab mutlak tersebut. Namun, penerapan pasal ini di lapangan tidaklah sederhana. Pembuktian seringkali melibatkan penelusuran apakah kebakaran terjadi karena perbuatan pengurus korporasi, untuk tujuan korporasi, atau apakah korporasi mendapatkan keuntungan dari kebakaran tersebut.

Korporasi sulit dijerat karena pembuktian sulit meski Pasal 88 UU PPLH mendukungnya. Tren opini publik baru yang masih condong ke “kriminalisasi ke bawah”. Sebenarnya dalam kasus di bawah ini, yang menjadi “kriminal” pada akhirnya, petani lokal, seorang buruh tani, transmigran. Dihukum 4 bulan, buruh tani ini langganan Polsek setempat karena menjadi sopir truk “pencuri sawit”. Menurut pengakuan seorang informan, sebuah truk sawit bisa keluar dalam semalam dengan uang 4-5 juta rupiah. Tiap malam ada “truk pencuri”  yang ditangkap, belum lepas subuh sudah dilepas dengan “uang pelicin”.

Sosiologi Api

Kasus yang menimpa PT XXX memberikan gambaran nyata mengenai bagaimana proses hukum ini berjalan. Perusahaan tersebut menghadapi sanksi penyegelan lahan akibat kebakaran yang terjadi di area konsesinya. Namun, pembelaan diri dari pihak perusahaan membuka tabir kompleksitas lain, yakni konflik tenurial.

Dalam rilis persnya, PT XXX menyatakan bahwa mereka sebenarnya sudah berhenti melakukan akuisisi lahan sejak tahun 2017. Alasannya adalah kegagalan memperoleh persetujuan dari masyarakat pemilik tanah melalui proses Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Perusahaan berargumen bahwa mereka tidak memiliki niat untuk menanam di lahan yang terbakar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kebakaran di area konsesi tidak selalu berkorelasi langsung dengan aktivitas operasional perusahaan saat itu, melainkan bisa menjadi residu dari konflik penguasaan lahan yang belum tuntas.

Metodologi Event Ecology (Ekologi Peristiwa) yang digunakan dalam investigasi kasus ini mencoba melihat melampaui sekadar “siapa yang membakar”. Pendekatan ini menelusuri peristiwa spesifik untuk menghilangkan bias, mencari sebab-sebab pengapian (ignition), dan memahami konteks sosial di baliknya. Investigasi lapangan menemukan bahwa kebakaran seringkali terjadi di area yang menjadi sengketa atau di mana akses sumber daya diperebutkan. Dalam situasi konflik serius, api dapat digunakan sebagai “senjata” (fire as a weapon), baik oleh petani kecil maupun spekulan tanah, untuk mengklaim lahan atau merusak aset pihak lawan.

Untuk memahami mengapa kriminalisasi seringkali menyasar masyarakat atau petani kecil, kita perlu memahami sosiologi masyarakat di sekitar perkebunan, khususnya di lahan gambut Kalimantan Barat. Dokumen mencatat sejarah transmigrasi di Desa Z sejak tahun 1971, di mana para pendatang dari Jawa mengalami kesulitan beradaptasi dengan lahan gambut.

Teknik pertanian konvensional seperti membajak sawah ternyata tidak cocok dan justru merusak tanah gambut dengan meningkatkan keasaman. Akibatnya, para transmigran mengadopsi cara masyarakat lokal (Dayak) yaitu dengan teknik tebas-bakar (slash and burn). Namun, ada pergeseran makna dan praktik. Jika masyarakat adat memiliki sistem handel (pengelolaan kelompok dengan aturan ketat), para petani migran dan masyarakat modern seringkali melakukan pembakaran untuk tujuan efisiensi ekonomi semata.

Praktik membakar lahan dianggap sebagai cara termurah untuk mempersiapkan lahan pertanian. Secara ekonomi, pembersihan lahan secara mekanis (land clearing dengan alat berat) memakan biaya yang jauh lebih mahal dibandingkan dengan membakar. Bagi masyarakat, “bau api” bukan sekadar polusi, melainkan aroma harapan akan kesuburan tanah dan panen yang sukses. Abu hasil pembakaran dianggap sebagai pupuk alami yang krusial bagi tanah gambut yang miskin hara.

Masyarakat transmigran yang membawa kebiasaan bertani dari Jawa yakni mencangkul lahan sebelum menanam padi, mendapatkan pengajaran atau pengaruh dari petani setempat yaitu memulai bercocok tanam dengan cara membakar lahan terlebih dahulu, area lahan gambut tidak bisa dibalik atau dibajak tanahnya seperti tanah di Jawa. Kebiasaan itu kemudian menjadi mengakar pada sebagian petani transmigran, sehingga sampai sekarang pun masih ada petani transmigran yang menanam padi dengan cara dibakar. “Sejak datang tahun 1989, semua wilayah Kalimantan Barat, juga Desa XXX, mengelola lahan dengan cara dibakar”. Membakar lahan 1 Ha pun dibagi empat tahap. “Pembakaran setempat jika di lahan gambut dikerjakan 1/4 Ha, dijaga oleh 6 orang, empat orang di empat sisi, dua orang di titik bakar. Masing-masing orang memegang ranting dengan daun yang masih hijau persiapan untuk memadamkan api dengan cara digebuk, Jika ranting telah layu atau kering, digunakan ranting lain untuk memadamkan api. Sekarang diwajibkan dengan mesin pompa robin untuk menyiram api, memastikan api benar-benar padam. ” .

Bau api demikian masyarakat  menyebutnya merupakan perasaan yang mengikat mereka terhadap lahan gambut dan pola budi daya dengan pembakaran setempat. “Ketika musim kemarau tiba, semangat untuk menanam menggebu-gebu, keinginan untuk membersihkan lahan diiringi bayangan bau api. Bau api dari pembakaran semak ini sebanding dengan kesegaran bau tanah yang ditimpa hujan setelah lama kering. Bau api adalah bayangan panen yang sukses”.

Dalam konteks inilah kriminalisasi terhadap petani kecil menjadi problematis. Penegakan hukum yang kaku seringkali membentur realitas bahwa membakar adalah satu-satunya metode yang terjangkau bagi mereka untuk bertahan hidup. Di sisi lain, spekulan tanah (disebut ‘belukar’ dalam bahasa Melayu) juga memanfaatkan metode ini untuk membersihkan lahan sebelum dijual ke perusahaan, menambah kerumitan dalam mengidentifikasi pelaku sebenarnya.

Budidaya kacang-kacangan dan sayuran di Kalimantan
Budaidaya nanas di lahan gambut di Kalimantan

Konstruksi Media: Membingkai “Penjahat” Lingkungan

Proses kriminalisasi tidak berjalan di ruang hampa, ia sangat dipengaruhi oleh opini publik yang dibentuk oleh media massa. Analisis terhadap pemberitaan Tribun Pontianak dan Kompas pada tahun 2018 menunjukkan adanya pembingkaian (framing) tertentu terhadap kasus Karhutla.

Media cenderung mencitrakan aparat pemerintah, khususnya kepolisian, secara positif dalam upaya penegakan hukum. Fokus pemberitaan seringkali diarahkan pada penangkapan pelaku pembakaran skala kecil atau perorangan. Narasi yang dibangun menekankan perlunya “sanksi tegas bagi oknum pembakar hutan”, yang secara implisit sering merujuk pada individu di lapangan ketimbang korporasi pengendali.

Framing ini dinilai belum berimbang. Media kurang memberikan ruang bagi suara korban terdampak atau menganalisis secara mendalam mengenai penerapan Strict Liability terhadap korporasi. Akibatnya, “kriminalisasi” terkesan tajam ke bawah. Petani kecil yang tertangkap tangan membakar lahan, meskipun mungkin hanya sekpetak kecil untuk makan—lebih mudah diekspos sebagai kriminal, sementara kompleksitas tanggung jawab korporasi yang arealnya terbakar hebat seringkali tertutup oleh narasi teknis atau prosedural hukum.

Penelitian menunjukkan bahwa media seharusnya lebih menekankan pada unsur strict liability sebagai edukasi publik dan pendukung penyelesaian masalah jangka panjang, bukan hanya sensasi penangkapan sesaat. Ketimpangan narasi ini melanggengkan pandangan bahwa akar masalah Karhutla adalah perilaku individu yang “tidak bermoral” atau “kurang edukasi”, padahal ada faktor ekonomi politik yang jauh lebih besar bermain di belakangnya.

Ekonomi Politik: Akar Masalah yang Terlupakan

Melihat kriminalisasi hanya dari kacamata hukum positif seringkali menjebak kita pada solusi teknokratis yang tidak menyentuh akar masalah. Krisis ekosistem ini tidak bisa dipahami jika mengabaikan gurita kuasa politik dan kontestasi otoritas pengetahuan. Akar masalah Karhutla seringkali direduksi menjadi empat asumsi: perilaku manusia yang buruk, teknologi yang kurang canggih, gap regulasi, atau perubahan iklim. Padahal, masalah utamanya seringkali berkaitan dengan (1) Ketimpangan struktural, sejarah penguasaan tanah (tenurial) yang timpang antara korporasi besar dan masyarakat. 2. komodifikasi alam, tanah dan hutan diperlakukan sepenuhnya sebagai barang dagangan (komoditas) untuk mekanisme pasar global, mengabaikan fungsi ekologis dan sosialnya. 3. Relasi kuasa terjadi unequal power relation di mana perijinan sumber daya alam seringkali menjadi mahar politik, menciptakan perlindungan implisit bagi aktor-aktor kuat.

Kriminalisasi yang hanya berfokus pada “menghukum pelaku pembakar” tanpa menyentuh struktur penguasaan lahan ini ibarat mengobati gejala tanpa menyembuhkan penyakitnya. Selama ketimpangan akses lahan masih terjadi, dan selama biaya pembukaan lahan tanpa bakar masih tidak terjangkau bagi rakyat kecil, maka api akan terus menjadi pilihan rasional, dan kriminalisasi akan terus memakan korban dari kalangan paling rentan.

Data menunjukkan bahwa kebakaran terkonsentrasi di area konsesi. Laporan Global Forest Watch Fires menyebutkan bahwa kebakaran hutan cenderung berpusat di konsesi pertanian dan lahan gambut karena karakteristik lahan ini yang kaya karbon menjadi pilihan populer untuk ekspansi. Ironisnya, meskipun korporasi memegang izin, banyak area konsesi yang tumpang tindih dengan klaim lahan masyarakat, menciptakan zona konflik di mana api menjadi alat tawar-menawar yang destruktif.

Melangkah ke Papua

Investigasi mengenai pembakaran hutan di Papua selama 15 tahun oleh perusahaan Korea Selatan (Korindo Group) membuka kotak pandora baru dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Berbeda dengan kasus di Kalimantan yang seringkali kabur karena tumpang tindih klaim lahan dengan masyarakat, kasus di Papua menyajikan bukti forensik visual yang kuat.

Namun, investigasi kasus Papua menawarkan bukti yang mematahkan argumen klasik tersebut. Jika di Kalimantan kebakaran sering dinarasikan sebagai tindakan “oknum” atau petani kecil yang tidak terkontrol, investigasi di Papua menunjukkan pola api yang “rapi”. Citra satelit menunjukkan api bergerak seiring dengan garis pembukaan lahan (land clearing).

Bagi petani transmigran di Kalimantan, membakar adalah “cara termurah”. Hal yang sama berlaku bagi korporasi. Membuka lahan hutan hujan perawan di Papua secara mekanis sangat mahal. Analisis ekonomi politik menunjukkan bahwa pembakaran sistematis adalah upaya korporasi menekan biaya operasional (CAPEX) secara drastis demi profitabilitas.

Bukti pola api yang mengikuti blok pembukaan lahan ini dapat menjadi bukti “niat” (dolus) yang lebih kuat daripada sekadar kelalaian. Ini memungkinkan jaksa tidak hanya menggunakan pasal kelalaian, tetapi pasal pembakaran sengaja dengan ancaman pidana lebih berat.

Penerapan Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak) dalam konteks Papua, penerapan prinsip ini seharusnya lebih mudah (secara hukum) dibandingkan kasus Kalimantan karena area konsesi di Papua umumnya lebih terisolasi dan berada di bawah kontrol ketat perusahaan dibandingkan perkebunan di Kalimantan yang sering dikelilingi permukima padat dan lahan garapan masyarakat.

Di Kalimantan, perusahaan sering berdalih kebakaran dipicu oleh masyarakat yang membuang puntung rokok atau membuka ladang. Di pedalaman Papua, di tengah blok hutan yang baru dibuka, argumen adanya aktivitas masyarakat luar yang menyebabkan kebakaran masif menjadi kurang logis dan sulit dibuktikan oleh perusahaan.

Di Kabupaten Asmat ada program pemberdayaan, salah seorang fasilitatornya pernah bekerja di Kalimantan, di lahan gambut. Kabupaten Asmat, Mappi, dan Merauke adalah lahan gambut terluas yahg tersisa di Indoensia. Fasilitator tersebut mengajarkan menanam sayuran dan kacang-kacangan. Masyarakat Papua di Asmat pada tahun 2015 dimana penulis kesana, tidak mengenal pola budidya dengan komoditas di atas. Fasilitator pemberdayaan mengajarkan cara membakar semak, persis seperti di Kalimantan. Namun karena budaya masyarakat Asmat adalah peramu, banyak yang tidak meneruskan program bertani di atas lahan gambut ini.

Pada kesempatan lain, di wilayah Boven Digoel berbatasan dengan Mappi, sekitar tahun 2019, penulis sempat melihat langsung konflik yang disebabkan oleh adanya kebakaran lahan yang terjadi di “hutan”  suku Awyu. Masyarakat protes ke perusahaan sawit di sekitar lokasi, mereka mempermasalahkan cara ‘orang’ perusahaan merusak mental orang Papua, dengan menyuruhnya membakar hutan, sebab selain memicu keributan horizontal di antara mereka, kebakaran yang tak terkendali tersebut merusak habitan flora dan fauna  yang merupakan bahan pangan dan apotik hidup orang Papua.

Seorang ibu sedang mengambil pisang di hutan
Suasana kampung di sekitar Agats
Daerah dusun sagu di Mappi

Sama seperti narasi sawit di Kalimantan sebagai penggerak ekonomi, di Papua, perusahaan sering dicitralkan sebagai pembawa “pembangunan” ke wilayah terisolasi. Kriminalisasi terhadap investor besar asing (Korsel) memiliki implikasi diplomatik dan ekonomi yang seringkali membuat penegak hukum ragu (fenomena impunity). Di Papua, akses geografis yang sulit dan kontrol keamanan yang ketat seringkali menghalangi investigator independen atau KLHK untuk mendapatkan bukti fisik (“abu panas”) sesegera mungkin setelah kejadian, tidak seperti di Kalimantan yang lebih mudah diakses.

Berbeda dengan framing analysis di Kalimantan, kasus Papua terbongkar bukan oleh media nasional arus utama pada awalnya, melainkan oleh media internasional dan LSM Riset. Tanpa tekanan media nasional yang masif (seperti saat asap menyelimuti Jakarta atau Singapura dari Riau/Kalimantan), tekanan politik untuk mengkriminalisasi perusahaan di Papua cenderung lemah. “Jauh dari mata, jauh dari hati” berlaku di sini; karena asap Papua jarang sampai ke ibu kota, urgensi penegakannya seringkali kalah prioritas.

Berkaca dari kasus PT XXX di dokumen Anda, perusahaan Korea atau pun perusahaan lain yang masif menadapatkan ijin di era Jokowi, di Papua kemungkinan akan menggunakan strategi pertahanan berupa, argumen FPIC (Free, Prior, Informed Consent). Perusahaan akan bahwa kebakaran dilakukan oleh pemilik hak ulayat yang sedang berburu atau membuka ladang sagu, memanfaatkan celah konflik tenurial. Adanya,  iaktor Iklim (El Nino) dengan menyalahkan kekeringan ekstrem sebagai penyebab api membesar, menafikan fakta bahwa api dipantik secara sengaja. Pembantahan citra satelit dengan mempertanyakan validitas data hotspot vs firespot (titik panas belum tentu titik api), sebuah perdebatan teknis yang sering digunakan untuk mengulur proses hukum.

Bacalah!

Cahyono, E. (2019). Epilog: “Krisis ekosistem (KarHutLa) dalam kuasa politik dan pengetahuan; Soal kedaulatan dan keadilan-nya, dimana?”. Dalam Politik Kebakaran Hutan. [Penerbit tidak tersedia dalam dokumen].

Kusumaningdyah, H. (2020). Konstruksi pemberitaan media pada kebakaran hutan dan lahan di Tribun Kalimantan dan Kompas pada 2018 [Manuskrip tidak dipublikasikan/Artikel Jurnal].

Muttaqien, Widhyanto. (2020). Diadili narasi: Laporan singkat mengenai kasus kebakaran lahan di sekitar dan dalam area konsesi PT XXX. [Dokumen tidak dipublikasikan].

https://www.globalforestwatch.org/blog/id/forest-insights/riwayat-kebakaran-di-indonesia-untuk-mencegah-kebakaran-di-masa-depan/

Investigasi 15 Tahun Kebakaran Hutan di Papua oleh Perusahaan Korsel

KLH Ingatkan Perusahaan Sawit Antisipasi Karhutla

Comments

comments