Pelajaran paling berharga dalam menghadapi pandemik covid19 adalah wacana tentang batas negara yang hilang semakin nyata, hilangnya teritorial, menjadi masyarakat dunia. Dengan paparan potensi ancaman dan risiko yang sama.
Masyarakat risiko seperti yang diungkapkan oleh Beck (1992) yang memiliki atribut ketidakpastian tinggi, implikasinya bisa dirasakan sekarang: masyarakat tidak memiliki asuransi/jaminan karena risiko yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya tiba-tiba tidak lagi diiringi oleh ancaman atau dugaan/ramalan akademisi sebelumnya namun telah menjadi peristiwa sejarah.
Kondisi ini sebenarnya telah banyak contohnya, ledakan reaktor Fukushima tahun 2011, adalah contoh ketidakpastian jika dihubungkan dengan jaminan kehidupan. SARS outbreak 2002-2004 juga salah satu pengalaman manusia dalam menghadapi risiko global. Beck menjelaskan ”risiko” (risk) sebagai, “kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (termasuk mental dan sosial yang disebabkan oleh proses teknologi dan proses-proses lainnya, seperti proses sosial, politik, komunikasi, seksual”. Risiko berhubungan sangat erat dengan sistem, model, dan proses perubahan di dalam masyarakat. Semakin modern dan terbuka semakin tinggi risiko serta keuntungan yang didapat. Brodie (1996) menjelaskan keselamatan sebagai salah satu naluri alamiah sejak prasejarah berevolusi menjadi berbagai pengaturan, mulai dari berbagai sistem asuransi baik pribadi maupun sosial, pabrik obat-obatan sampai pabrik senjata. Bahkan narasi ketakutan pun menurut Brodie bagian dari naluri keselamatan.
Lantas bagaimana melihat pandemi Covid19 secara lebih positif. Pertama mesti disadari bahwa pandemi Covid19 adalah sebuah bencana. Jika sebuah bencana terjadi maka akan terjadi kerugian material dan jiwa. Berbeda dengan bencana alam yang berdampak parah pada teritorial tertentu, pandemi atau wabah penyakit seperti covid19 menjalar seiring dengan mobilitas manusia, sehingga dampak bencana tidak terbatas pada sebuah teritorial. Risiko global yang terjadi adalah risiko ekologis, yang berlanjut pada risiko sosial ketika bencana ini berlanjut. Risiko sosial pertama adalah risiko kelas rentan, dimana distribusi kekayaan tidak merata semakin rentan kelompok ini menghadapi bencana, di Indonesia khususnya di episentrum bencana yaitu Jakarta, tempat dimana 60% uang beredar, tampak nyata risiko ini. Risiko sosial kedua adalah tumbuhnya penyakit sosial berupa indispliner, fatalitas, egoisme, ketakacuhan sampai pada krisis kepercayaan kepada otoritas. Risiko sosial kedua ini dapat dilihat mulai dari grafiti, tindakan masa bodo terhadap aturan, penyimpangan sosial (yang patalogis) seperti membuat drama hoaks sampai pada protes sosial seperti yang terjadi di Amerika di pertengahan April.
Beck menjelaskan bahwa walau terdapat risiko dalam modernitas, tetapi manusia tetap melakukan refleksivitas. Manusia akan mengumpulkan data tentang risiko dan akibatnya. Kemudian merefleksikannya dalam tindakan untuk mengubah situasi, seperti menjaga keselamatan diri dan orang terdekat sampai dengan saling berbagi. How’s Appreciative Inquiry Works During Corona Pandemic adalah tulisan singkat yang ingin menjelaskan bagaimana AI dan muatan berpikir positifnya menjadi bagian dari tindakan refleksi tersebut. AI merupakan pendekatan reflektif sehingga isu atau masalah yang ada di depan mata diselesaikan lewat ‘ kemungkinan terbaik yang bisa kita lakukan dengan kekuatan kita sendiri’. Urutan dalam AI mulai dari Discovery, Dreams, Design sampai Destiny adalah sebuah refleksivitas, dimana tahapan menerima sebuah kenyataan menjadi prasyaratnya, dan pengalaman terbaik kita dalam sebuah tindakan penyesuaian (coping strategy).
Beberapa langkah yang dibutuhkan dalam menggnakan metode AI dalam menghadapi bencana ini bagi sebuah organisasi adalah sebagai berikut.
- Melakukan perubahan persepsi dari negatif menjadi positif, perubahan persepsi ini terjadi secara fisologis, lewat apa yang dialami langsung misalnya orang yang berhadapan dengan orang batuk atau bersin maka secara langsung ada perubahan sikap lewat kampanye memakai masker, bisa juga lewat perubahan lewat sikap dengan sebuah ‘penilaian baru’, misalnya dalam shalat berjamaah di masjid, dilakukan penjarakkan fisik, nilai shaf shalat harus rapat dalam keadaan darurat bisa berubah.
- Melakukan penilaian organisasi ke dalam, apakah mandat organisasi kita, apakah organisasi kita memiliki rencana kontijensi (sustainable bussiness) dalam menghadapi krisis, apakah sumberdaya organisai kita cukup untuk menghadapi krisis. Penilaian ini penting sebelum kita terburu-buru ‘ikut-ikutan’ terjun tanpa parasut. Ingat: keselamatan adalah naluri purba.
- Menanyakan agenda perubahan apa yang ingin dilakukan oleh organisasi, baik ke luar atau ke dalam. Apa yang ingin dicapai. Apa yang menjadi tujuan, hal ini akan memudahkan kita mengukur keberhasilan tindakan.
- Bentuk tindakan apa yang paling sesuai dengan mandat organisasi. Sumberdaya apa yang telah kita nilai sebagai aset dalam situasi krisis.
- Faktor apa yang dianggap akan memengaruhi keberhasilan, siapa saja yang bisa diajak terlibat, apakah jejaring kita memiliki ketahanan terhadap krisis yang sama, bagiamana mengkomunikasikan keinginan kita terhadap pemangku kepentingan.
- Melakukan penggalian aspirasi anggota organisasi dan orang-orang di jaringan untuk mencari tahu apa yang sebaiknya dilakukan dan bisa dikolaborasikan.
- Menyusun berbagai kemungkinan yang didasarkan dari impian atau aspirasi indivudu samapai menanyakan apa yang bisa kita buat sebagai sebuah koletif, ini yang disebut sebagai dialog dengan impian. Menyusun peta impian, jika organisasi sangat besar dan aspirasi beragam maka peta impian memudahkan organisasi secara terbuka menyediakan berbagai alternatif tindakan sesuai dengan peta kekuatan yang dimiliki.
- AI percaya bahwa semua tindakan berpusat pada nilai, sehingga dsetiap tindakan akan memiliki makna. Kita dapat melihat kembali interior dan eksterior organisasi kita, bagaimana bentuk pintu, ruang makan, ruang sosial di dalam organiasi. Siapa yang memiliki keterampilan khusus atau keterampilan yang pas dengan tugas-tugas di saat krisis, siapa yang bisa menjadi pemimpin gugus tugas, siapa yang bisa melampaui peran-peran utamanya menjadi orang-orang yang bekerja di luar perannya sekarang. Krisis menyediakan kesempatan orang untuk berkembang di luar bidang atau departeman yang mengungkungnya, krisis bisa membauat kebebasan.
- Apa yang ingin kita ukur dalam tahap Takdir atau Desain, apakah setiap orang bergairah dalam tindakan kolektif, bagiamna selanjutnya kita bisa menduklung organisasi kita, bagaimana menularkan segenap kebaikan yang telah kita capai dalam masa krisis, bagaimana kita merayakannya dan mengkomunikasikannya ke setiap anggota dan pemangku kepentingan.
Mark Manson (2020) menuliskan dalam bab terakhirnya, barangkali kita tidak menjadi siapa-siapa, atau barangkali kita bisa memilih menjadi apa. Harapan selalu ada dan muncul tergantung apa yang kita yakini.
widhyanto muttaqien
How’s Appreciative Inquiry Works During Corona Pandemic