Hutan Wakaf Sebagai Alternatif Pengelolaan Sumberdaya Berkeadilan Dan Lestari

Oleh: Widhyanto Muttaqien

Selama beberapa dekade, narasi dominan yang sering diperkuat oleh ilmuwan dan aktivis yang well-intentioned menyatakan bahwa umat manusia secara kolektif, sebagai satu spesies yang homogen, adalah penyebab pemanasan global dan kepunahan massal. Era ini, kata mereka, adalah Antroposen, Zaman Manusia.

Narasi ini nyaman bagi para eksekutif perusahaan minyak, bankir, dan politisi yang kekuasaannya bergantung pada status quo. Dengan menyebarkan kesalahan secara merata ke seluruh umat manusia, dari CEO perusahaan bahan bakar fosil hingga petani subsisten di Afrika, Australia, Brazil, Bangladesh, Papua, sebagian Sulawesi, Kalimantan, dan pulau lainnya di Indonesia. Narasi ini mengaburkan akar penyebab sebenarnya: kapitalisme.

Sejarawan Jason W. Moore menyebutnya Capitalosen, krisis yang bukan berasal dari kemanusiaan yang abstrak, melainkan dari sistem ekonomi tertentu yang telah mengorganisasi alam dan manusia demi akumulasi keuntungan tanpa henti selama 500 tahun terakhir.

AspekAnthropoceneCapitaloscene
Penyebab utama krisisUmat manusia secara kolektifSistem kapitalisme global
Aktor utamaSpesies manusia (homo sapiens)Kelas kapitalis, negara kolonial, korporasi
Waktu mulaiRevolusi Industri (abad ke-18)Abad ke-15 (awal kolonialisme dan kapitalisme)
Fokus kritikKonsumsi berlebihan, teknologi, populasiAkumulasi kapital, eksploitasi tenaga kerja dan alam
Solusi yang ditawarkanTeknologi hijau, perubahan gaya hidupTransformasi sistem ekonomi-politik
Perbedaan Antropscene dan Capitaloscen menurut Moore

Eksploitasi Alam Indonesia dalam Rezim Capitaloscene

Eksploitasi alam di Indonesia bukan sekadar akibat “keserakahan manusia,” melainkan hasil dari sistem kapitalistik yang terstruktur dan bersejarah—itulah inti dari Capitaloscene. Dalam narasi Capitaloscene, eksploitasi alam bukanlah akibat dari umat manusia secara kolektif, melainkan dari rezim ekonomi-politik yang mengorganisasi alam sebagai komoditas.

Sejak era VOC dan Hindia Belanda, tanah dan hutan dijadikan ladang komoditas ekspor seperti rempah, kopi, karet, dan tebu. Sistem tanam paksa dan konsesi tanah besar-besaran menciptakan metabolisme kolonial, di mana alam dan tenaga kerja lokal dihisap demi akumulasi kapital Eropa.

Di bawah Soeharto, eksploitasi alam menjadi tulang punggung pembangunan. Perusahaan seperti Indorayon (TPL) menebang hutan adat demi bubur kertas untuk industrinya dengan dukungan penuh dari negara. Kapitalisme negara memperkuat oligarki sumber daya, pengusaha dan pejabat saling menguntungkan, sementara masyarakat adat dan lingkungan dikorbankan, seperti dalam kasus terbesar tambang emas Freeport di Timika, Provinsi Papua Tengah.

Setelah 1998, liberalisasi ekonomi membuka pintu bagi investasi asing dan ekspansi tambang, sawit, dan infrastruktur. Wilayah kaya sumber daya seperti Papua, Kalimantan, dan Sulawesi menjadi zona ekstraksi brutal, dengan kerusakan ekologis berulang seperti tambang nikel. Negara berperan sebagai penyedia bahan mentah dan tenaga kerja murah, bukan pelindung kehidupan dan ekosistem.

Kapitalisme menciptakan krisis metabolik berupa deforestasi, pencemaran, dan pemisahan manusia dari tanahnya. Ketimpangan generasi muncul karena anak cucu mewarisi tanah rusak, air tercemar, dan iklim tak menentu.

Model pembangunan seperti ini sesungguhnya telah dikoreksi sejak tahun 1970-an, oleh intelektual muslim seperti Dawam Raharjo, pada tahun 1980-1990-an lebih banyak intelektual muslim yang bicara tentang kerusakan akibat pembangunan yang abai terhadap masyarakat seperti Nurcholis Madjid, Amien Rais, Adi Sasono, Gus Dur, dan Emha Ainun Nadjib. Tulisan mereka tentang anti developmentalisme, bukan tentang kerusakan lingkungan an sich, tapi lebih banyak pada penyebab-penyebabnya seperti kapitalisme, hilangnya partispasi masyarakat, tata kelola pemerintah yang koruptif, meminggirkan rakyat kecil dan masyarakat rentan. Pasca reformasi 1998, lebih banyak lagi tokoh muslim yang bersuara, seperti Budhi Munawar Rachman, Kuntowijoyo, Abdul Munir Mulkhan yang menawarkan gaya Islam tranformatif dalam menghadang krisis lingkungan.

Dalam kerangka etika Islam, prinsip hifdh al-nafs atau perlindungan jiwa raga merupakan salah satu tujuan utama dari maqashid al-shariah, yaitu menjaga kehidupan manusia dari segala bentuk ancaman, kekerasan, dan eksploitasi. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dengan aman, sehat, dan bermartabat. Sejalan dengan itu, konsep muhtaram menyatakan bahwa semua makhluk adalah mulia dan memiliki nilai yang harus dihormati, baik manusia maupun alam. Oleh karena itu, tindakan yang merusak kehidupan, mencemari lingkungan, atau mengeksploitasi makhluk hidup secara tidak adil bertentangan dengan nilai-nilai dasar ini. Mengintegrasikan kedua prinsip ini dalam praktik sosial dan ekologis berarti membangun sistem yang berorientasi pada keadilan, keberlanjutan, dan penghormatan terhadap seluruh ciptaan.

Moore dan filsuf seperti Kohei Saito berargumen bahwa kapitalisme tidak hanya mempengaruhi lingkungan, kapitalisme adalah cara mengorganisasi alam. Sistem ini bergantung pada apa yang disebut sebagai metabolisme antara masyarakat dan alam, proses di mana kita mengambil, mengubah, dan mengembalikan sumber daya. Kapitalisme, telah merobek metabolisme ini.

Dalam Q.S. Al-A’raaf : 58, Allah menggambarkan tanah yang baik sebagai tempat tumbuh tanaman yang bermanfaat, sementara tanah yang buruk hanya menghasilkan sedikit manfaat. Ayat ini tidak hanya berbicara tentang kesuburan fisik, tetapi juga mengandung makna sosial dan ekologis yang mendalam. Tanah sebagai sumber nafkah dan sumber daya bersama memiliki potensi untuk menjadi ruang pertanian yang produktif dan berkelanjutan, jika dikelola dengan nilai-nilai keadilan dan keberkahan. Dalam konteks ini, tanah bukan sekadar aset ekonomi, melainkan amanah yang harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, menjadi medium tumbuhnya kehidupan, pangan, dan kesejahteraan umat.

Dalam bidang sains dan teknologi, pengelolaan tanah memerlukan pemajuan pengetahuan yang bersifat interdisipliner dan kontekstual. Salah satu pendekatan yang relevan adalah agroekologi, yaitu ilmu dan praktik yang mengintegrasikan prinsip ekologi dalam sistem pertanian. Agroekologi tidak hanya berfokus pada produktivitas, tetapi juga pada keberlanjutan, keadilan sosial, dan hubungan harmonis antara manusia dan alam. Dalam kerangka ini, istilah tanah buruk seperti yang disebut dalam Q.S. Al-A’raaf :58 bukan sekadar merujuk pada kesuburan fisik, tetapi juga mencerminkan kondisi sosial-ekologis yang rusak akibat praktik pertanian yang tidak berkelanjutan, seperti penggunaan bahan kimia berlebihan, deforestasi, atau pemisahan manusia dari tanahnya.

Agroekologi menawarkan solusi dengan mendorong regenerasi tanah melalui teknik seperti rotasi tanaman, kompos alami, konservasi air, dan keterlibatan komunitas lokal dalam pengelolaan lahan. Pengetahuan lokal juga penting untuk diarsipkan dalam bentuk pertanian berkelanjutan, arsip yang bukan ada di jurnal, namun sebagai pengetahuan yang dipraktikan turun temurun.

Hutan Wakaf sebagai Titik Terang

Dalam hukum Islam, wakaf adalah aset yang disumbangkan secara permanen untuk kepentingan umum, biasanya sebidang tanah, yang hasilnya tidak boleh dialihkan untuk keuntungan pribadi. Ia dikelola untuk komunitas, bukan untuk pemegang saham. Dalam bahasa teori metabolisme, wakaf dapat berfungsi sebagai titik metabolik, sebuah ruang di mana hubungan antara manusia dan alam direorganisasi di luar logika kapitalis.

Hutan wakaf sebagai sumber daya milik bersama yang bersifat ilahiah sangat sejalan dengan konsep Jason W. Moore tentang world-ecology dan kritiknya terhadap kapitalisme sebagai sistem yang merusak hubungan manusia dengan alam. Hutan wakaf menawarkan model alternatif yang menolak logika kepemilikan privat dan akumulasi, serta mengembalikan alam sebagai bagian dari kehidupan sosial dan spiritual umat. Sebagai milik bersama (commons) yang diikat oleh nilai-nilai ilahiah, hutan wakaf tidak hanya berfungsi sebagai ruang ekologis, tetapi juga sebagai ruang sosial dan spiritual. Ia menjadi medium rekoneksi antara manusia dan alam, di mana kerja manusia (seperti konservasi, budidaya, dan pendidikan lingkungan) dilakukan bukan untuk keuntungan pribadi, melainkan untuk kemaslahatan kolektif.

Lebih jauh, hutan wakaf dapat menjadi titik metabolik yang menyembuhkan keretakan antara manusia dan alam. Dengan pengelolaan berbasis komunitas, nilai spiritual, dan prinsip keberlanjutan, hutan wakaf menciptakan sistem produksi yang tidak merusak, melainkan merawat kehidupan. Dalam konteks ini, Moore dan konsep wakaf bertemu dalam visi yang sama: membangun dunia di mana alam bukan objek eksploitasi, tetapi bagian/mitra dalam kehidupan bersama.

Bayangkan sebidang tanah wakaf. Ia tidak dapat dijual atau digadaikan. Tujuannya bukanlah menghasilkan laba finansial, tetapi menghasilkan nilai sosial dan ekologis, pertanian regeneratif, konservasi hutan, energi terbarukan, atau pendidikan. Di sini, kerja bukanlah sekadar upah buruh, tetapi—seperti yang ditunjukkan Moore—sebuah relasi ekologis yang menyatukan kembali manusia dengan tanahnya. Yang sering terlupa, hutan wakaf juga bisa masuk pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti hutan mangrove dan terumbu karang, yang kini juga menjadi ancaman serius di Indonesia, mulai dari Kepulauan Riau, – sampai ke Raja Ampat di Papua.

Wakaf, dalam bentuk idealnya, menolak prinsip fundamental kapitalisme, bahwa segala sesuatu, termasuk alam, harus menjadi komoditas yang dapat diperdagangkan untuk mendapatkan keuntungan. Ia mengingatkan kita bahwa tanah dapat menjadi sebuah hubungan, sebuah amanah, dan sebuah warisan, bukan sekadar aset finansial.

No.Prinsip IntiKeterangan dan Tautan World-Ecology
1.Prinsip De-komodifikasi PermanenWorld-Ecology Critique Secara tegas menolak pengorganisasian alam sebagai “alam murah” (cheap nature). Fungsi Wakaf Menginstitusikan tanah, hutan, dan ekosistem sebagai aset abadi (trust) yang tidak dapat diperjualbelikan (hukum waqf ghairu mu’abbad) dan tidak dapat dimanfaatkan untuk akumulasi modal pribadi, sehingga secara struktural menghentikan proses komodifikasi.
2.Prinsip Kesatuan Metabolik (Tawhid Ekologis)Menolak dualisme Nature/Society. Wakaf Ekologis harus dikelola dengan pandangan bahwa kesejahteraan manusia (hifz al-nafs) tidak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem. Wakaf bertindak sebagai penjaga kesatuan web of life (jaringan kehidupan).
3.Prinsip Keadilan Ekologis GlobalAdvokasi ini harus berfokus pada komunitas yang paling terdampak oleh metabolic rift (keretakan metabolik) kapitalis, yang seringkali adalah masyarakat di Global South atau kaum minority-world. Wakaf diarahkan sebagai bentuk reparasi ekologis dan distribusi ulang sumber daya.
4.Prinsip Kelestarian IntergenerasiMeletakkan hak dan kebutuhan generasi mendatang sebagai pertimbangan utama dalam pengelolaan Wakaf. Hal ini menginterupsi logika kapitalis yang mengorbankan masa depan demi keuntungan jangka pendek.
Kesesesuaian Manfaat Wakaf dengan Konsep Kritik World Ecology

Wakaf memiliki landasan hukum dan etis, yang mengembalikan otoritas dan martabat  lewat pengelola/nazir kepada penerima manfaat komunitas (kelompok tani, di Muhammadiyah disebut Jaringan Tani Muhammadiyah) sebagai penjaga pengetahuan ekologis yang telah teruji waktu. Pengakuan ini kemudian harus diterjemahkan ke dalam kemitraan kelola yang setara, disinilah  mata pencaharian berkelanjutan akan bertumbuh, bukan sebagai proyek bantuan jangka pendek, melainkan sebagai hasil alami dari sebuah sistem yang menghargai keseimbangan ekologis, memastikan bahwa kesejahteraan ekonomi komunitas berjalan selaras dengan regenerasi alam, sehingga menciptakan sebuah lingkaran nilai yang memulihkan hubungan metabolisme antara manusia dan bumi.

Tentu saja, wakaf menjadi kotak pandora, bukan panacea. Institusi ini memiliki sejarahnya sendiri yang kompleks dan tantangan modern dalam pengelolaannya. Namun, prinsip-prinsipnya seperti pengelolaan bersama, keberlanjutan, dan pengabaian terhadap akumulasi kapital membuat wakaf menawarkan cetak biru yang radikal. Kita membutuhkan lebih banyak titik metabolik seperti wakaf, ruang di mana kita dapat mempraktikkan cara hidup yang berbeda, yang didasarkan pada pemulihan, bukan ekstraksi pada komunitas  dan  komoditas.

Referensi Penting

Moore, J. W. (2015). Capitalism in the Web of Life: Ecology and the Accumulation of Capital. Verso.

Moore, J. W. (2016). Anthropocene or Capitalocene? Nature, History, and the Crisis of Capitalism. PM Press.

Saito, K. (2022). Marx in the Anthropocene: Towards the Idea of Degrowth Communism.

Comments

comments