Land Banking, IUP Sawit, dan Konsolidasi yang Mengorbankan Hak Masyarakat
- 0 Comments
- 25 December 2025
oleh: Widhyanto Muttaqien
Dalam era “pembangunan nasional” yang agresif, regulasi tanah sering kali menjadi alat negara dan korporasi untuk mengakumulasi lahan. Namun, praktiknya justru merugikan rakyat kecil, fokus kesejahteraan sila ke lima seperti petani, masyarakat adat, dan warga miskin perkotaan. Regulasi tanah menciptakan spekulasi, lahan tidur, dan konflik hak. Land banking, seperti izin – izin yang dikeluarkan Kementrian terkait seperti Izin Usaha Perkebunan (IUP) sawit yang tak terealisasi, serta konsolidasi lahan, semuanya memperkuat ketimpangan akses lahan.

Cadangan Pembangunan atau Penimbunan Spekulatif?
Land banking, diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) 2020 dan Perpres 16/2022, dirancang sebagai mekanisme negara mengumpulkan lahan untuk proyek strategis nasional (PSN). Negara atau badan usaha bisa “mem-bank” lahan dengan status cadangan, dikelola oleh Badan Pengelola Investasi (BPI) atau PT Bank Tanah Indonesia. Tujuannya adalah efisiensi lahan siap pakai untuk infrastruktur tanpa proses akuisisi panjang.
Namun, praktik lapangan menunjukkan sisi gelapnya. Di Bogor dan sekitar Jabodetabek, lahan pertanian produktif ditimbun bertahun-tahun sebagai “cadangan”, menghalangi petani mengakses mata pencaharian mereka. Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2023 mencatat 1,2 juta hektare lahan tidur akibat land banking, sering tumpang tindih dengan klaim masyarakat adat. Kerangka hukum baru ini memperkuat kekuasaan negara tanpa jaminan partisipasi publik memadai, UUCK hanya mewajibkan sosialisasi minimal, bukan persetujuan bebas, sebelumnya, informed consent (FPIC) seperti dalam Konvensi ILO 169.
Akibatnya, rakyat kehilangan akses jangka panjang. Spekulasi merajalela, korporasi memegang izin sambil menunggu nilai lahan naik, sementara petani terlantar. Kasus di Kalimantan Tengah, di mana 50.000 ha lahan adat “dibankir” untuk PSN sawit, berujung pada konflik kekerasan. Secara ekonomi, ini menekan harga pangan lokal dan memaksa migrasi ke kota, memperburuk kemiskinan struktural. Hukum menjadi merugikan masyarakat luas karena prioritas “pembangunan nasional”. Land banking/IUP sawit yang tidur merugikan ketahanan pangan masyarakat melanggar mandat “kemakmuran rakyat” (Pasal 33(3) dan hak hidup sejahtera (Pasal 28A).
IUP perkebunan sawit, diatur UU Perkebunan No. 39/2014 dan turunannya, menjadi bom waktu agraria. Ribuan perusahaan memegang IUP seluas jutaan hektare tanpa Hak Guna Usaha (HGU) atau pengelolaan nyata. Laporan WALHI dan Sawit Watch 2024 mengungkap 2.500 IUP sawit yang tidur, total 3,5 juta ha, menyebabkan lahan menganggur, tumpang tindih klaim adat, dan penundaan pemulihan hak rakyat.
Masalah praktisnya akut. Tanpa HGU (yang terbatas 100 tahun per UU Agraria 1960), perusahaan tak bisa tanam, tapi tetap blokir lahan. Investigasi Tempo 2023 temukan ratusan perusahaan sawit beroperasi ilegal tanpa HGU, hal ini merugikan negara sampai Rp 50 triliun dari pendapatan pajak dan royalti. Di Riau dan Papua, lahan adat dikuasai IUP “hantu”, petani dan masyarakat adat tak bisa garap atau menjadikannya perusahaan daerah, sementara deforestasi liar merajalela. Ini langgar prinsip tata kelola agraria yang baik (good governance) izin diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) – sekarang Kementrian Kehutanan tanpa verifikasi lapangan memadai.
Kerugian bagi rakyat begitu nyata yaitu hilangnya sumber protein dari hutan, konflik sosial (1.200 kasus per KPA 2024), dan kerusakan ekosistem yang picu banjir. Lemahnya sanksi seperti pencabutan IUP jarang, hanya 5% kasus sejak 2020, sehingga korporasi seenaknya berspekulasi. KPA Catatan Akhir Tahun 2023 (PDF), Fakta di Balik Pemutihan Sawit Ilegal (PDF), Pemetaan Tutupan Komoditas Unggulan Perkebunan Indonesia 2023 (PDF)
Efisiensi yang Mengabaikan Hak Kecil Pemilik
Konsolidasi tanah, diatur Permen ATR/BPN No. 16/2021, dimaksudkan merapikan kepemilikan untuk skala ekonomi. Petani kecil digabung jadi lahan besar untuk pertanian modern atau PSN. Namun, ini sering jadi alat tekanan, seperti kompensasi rendah, relokasi paksa tanpa pengaduan efektif.
Di Jawa Barat, program konsolidasi untuk food estate merapikan 100.000 ha milik petani gurem, tapi banyak kasus intimidasi oleh aparat. Tak ada mekanisme pengaduan independen, sengketa diselesaikan BPN. Data BRWA 2024 menunjukkan 40% petani meerima kompensasi di bawah harga pasar, dipaksa relokasi ke pinggiran kota tanpa infrastruktur (seperti Rempang) atau lebih jauh lagi valuasi ekonomi masa depan (nilai lahan dan tempat di masa depan) yang jauh dari keadilan. Semua ini melanggar asas keadilan agraria, di mana negara memprioritaskan efisiensi korporasi atas hak individu (Pasal 6 UU Agraria).
Tabel 1. Perbandingan Data Petani
| Sumber Data | Fokus | Angka Utama | Catatan |
| BPS – Sensus Pertanian 2023 | Jumlah rumah tangga usaha pertanian | 28,4 juta rumah tangga (naik 8,74% dari 2013) | Data resmi, mencakup seluruh Indonesia, berbasis pencacahan lengkap |
| Kementan – Statistik Pertanian 2024 | SDM pertanian & kelembagaan | Distribusi petani menurut umur, pendidikan, kelembagaan | Menunjukkan tren penuaan petani dan lemahnya regenerasi |
| BRWA/LaporIklim – Survei Persepsi Petani 2024 | Kondisi petani di wilayah adat & akses produksi | 40% petani kesulitan akses irigasi | Survei 304 petani, fokus pada persepsi & pengalaman lapangan |
| Tempo.co (berita 2024) | Dampak kebijakan agraria & pangan | Penurunan produksi padi, konflik agraria | Menyoroti pandangan kritis terhadap kebijakan pemerintah |
Ringkasan Hasil Survei Persepsi Petani 2024 – LaporIklim, Badan Registrasi Wilayah Adat
ecara struktural, konsolidasi lahan ini memperkuat oligarki tanah dimana 1% pemilik kuasai 70% lahan sawit (KPA 2023), sementara petani miskin terpinggir.
Moratorium, Pencabutan, dan Redistribusi Progresif
Moratorium Segera. Hentikan akuisisi land banking baru dan penerbitan/transfer IUP selama 6-12 bulan. Ini akan memberi ruang audit independen oleh tim gabungan KPK, BPK, dan LSM. Moratorium sawit khusus perbaiki tata kelola, cegah pasar gelap CPO. Moratorium sawit 2018-2021 mengurangi deforestasi 30% (Data KLHK). Laporan Kinerja KLHK 2021 (PDF)
Pencabutan IUP Bermasalah. Cabut izin berdasarkan evaluasi tumpang tindih, ketidakpatuhan, dan lahan tidur lebih dari >2 tahun. Kembalikan lahan ke negara (bukan TNI atau Polri) atau alihkan ke program masyarakat. Prosesnya harus transparan, data GISdibuka untuk publik luas sehingga setiap saluran pengaduan efektif dan bermakna, audiensi adat, kompensasi pekerja lokal via BLT dan pelatihan. Pemerintah dapat membuat target 1 juta ha dicabut dalam 2 tahun.
Alternatif Redistribusi. Alihkan lahan tidur ke HGU koperasi petani (UU Koperasi 2020), skema land-for-housing (perumahan sosial), atau sewa murah. Bank tanah difokuskan untuk kepentingan publik, 70% untuk rakyat miskin, bukan spekulasi. Ini bisa dilihat contoh suksesnya pada reforma agraria Brasil redistribusi 10 juta ha ke 900.000 keluarga. FAO Land Tenure in Brazil (PDF)
Penguatan Tata Kelola. Wajibkan pendaftaran HGU/IUP transparan via platform digital yang bisa diakses publik, peta partisipatif (one-map policy), pengaduan independen via Komnas HAM cabang agraria, dan sanksi kriminal (pidana korupsi lahan).

