“I will be chasing a starlight / Until the end of my life / I don’t know if it’s worth it anymore.” Muse, Starlight (2006)
Ulasan Buku: Widhyanto Muttaqien
Buku Life (volume kelima dari seri The Best of Edge https://www.edge.org, Life. 2014. John Brockman, (ed.) Edge Foundation. ) merangkum perjalanan sains kontemporer tentang evolusi dan bioteknologi melalui esai, wawancara, dan diskusi para pemikir terkemuka – mulai dari Richard Dawkins hingga Craig Venter. Buku ini menampilkan percakapan dan kontroversi yang membentuk pemahaman kita tentang kehidupan: dari perdebatan seleksi alam versi ‘selfish gene’, konflik genetik, hingga implikasi teknologi seperti Human Genome Project. Formatnya bukan sekadar laporan ilmiah, namun refleksi tercerahkan dari “third culture“: komunitas intelektual yang menerjemahkan sains untuk publik melalui gaya bahasa informal dan narasi kolektif.
Life hadir saat sains—khususnya biologi molekuler dan rekayasa genetika—mendominasi diskursus global. Proyek monumental seperti Human Genome Project (HGP), yang selesai tahun 2003, tidak sekadar merevolusi pengetahuan genetika manusia, tetapi juga membuka era bioteknologi dengan potensi memperbaiki penyakit serta mengubah evolusi spesies secara sadar. Teknologi mutakhir seperti CRISPR telah membuat rekayasa genetika semakin murah dan mudah diakses, menimbulkan pertanyaan etis mendalam tentang batas campur tangan manusia terhadap alam.
Diskusi demi diskusi yang diangkat Edge.org memberikan ruang lintas-disiplin—di antara ilmuwan genom, fisikawan, insinyur bioteknologi, sampai filosof dan penulis—untuk mengeksplorasi topik seperti asal-usul kehidupan, konflik dalam genom, dan masa depan evolusi: apakah cenderung analog atau digital, apakah biosfer terikat hukum universal tertentu, dan bagaimana estetika serta keragaman biologis seharusnya diposisikan dalam riset evolusi. Para pemikir seperti Dawkins, Wilson, Trivers, hingga Sapolsky, tidak hanya membahas “data” tapi juga mempertanyakan tanggung jawab moral manusia di era evolusi yang sebagian besar bisa dikendalikan oleh tangan manusia sendiri.
Dibalik keunggulan intelektual, Life juga menuai kritik atas kurangnya keberagaman perspektif gender dan ras yang berimbas pada bias pengetahuan sains modern. Isu ini sejalan dengan tantangan biologi era baru: bagaimana tetap melibatkan heterogenitas manusia dalam riset dan percakapan publik, seperti diakui dalam Edge.org yang menjadi “salon” virtual global, menyalurkan hampir 10 juta kata, ribuan video, dan esai lintas disiplin kepada publik dari seluruh dunia.
Di era pasca-Human Genome Project, sains bukan lagi ruang tertutup: Edge.org serta buku Life menjadi bukti sains adalah bagian dari percakapan sosial yang lebih besar—merangsang rasa ingin tahu, menantang dogma, dan membuka wacana tentang ulang-alik evolusi biologis, estetika kehidupan, dan rekayasa masa depan umat manusia. Melalui pendekatan ‘third culture’ (narasi populer dalam penyebarluasan wacana dari kalangan akademik), buku ini menghidupkan peran teknokrat dan humanis untuk mendorong sains tetap relevan secara etis dan sosial bagi masa depan dunia.
Robert Trivers (seorang ahli biologi evolusioner dan sosiobiolog yang mengajar di Universitas Rutgers. Ia dikenal luas karena teori-teorinya yang berpengaruh dalam bidang biologi sosial, termasuk teori altruisme timbal balik, konflik antara orang tua dan anak, serta strategi reproduksi dalam evolusi manusia dan hewan), yang mencermati biologi evolusioner mengatakan, bahwa interaksi genetik di dalam individu sangat mirip dengan interaksi sosial antar individu dalam suatu kelompok, dengan konsep seperti perilaku “egois,” “spiteful (iri hati, dengki, benci),” “kooperatif,” dan “altruistik” yang dapat diterapkan pada tingkat genetik maupun sosial. Trivers menyoroti kompleksitas dan ironi dalam genetika evolusioner, khususnya konsep self-deception atau penipuan diri yang juga berperan dalam interaksi sosial manusia. Misalnya, kesadaran bahwa manusia sering kali menyesatkan kesadaran mereka sendiri untuk menyembunyikan motif tertentu dari diri sendiri dan orang lain, mirip dengan strategi gen untuk mempromosikan keberlangsungan dirinya sendiri.
Dalam konteks sosial, hal ini mencerminkan bagaimana individu dalam kelompok dapat menunjukkan perilaku yang tampaknya menipu atau menyembunyikan niat sebenarnya demi keuntungan bersama atau pribadi, dan bagaimana dinamika ini penting dalam interaksi sosial manusia. Contoh konflik antara gen maternal dan paternal yang mempromosikan kepentingan berbeda dalam tubuh yang sama juga merefleksikan bagaimana kepentingan individu dalam masyarakat bisa saling bertentangan namun tetap berinteraksi dalam satu sistem sosial.
Dengan demikian, ruang sosial dan interaksi sosial dapat dipahami sebagai cerminan dari proses evolusi genetik, di mana struktur dan dinamika sosial manusia mengalami refleksi dari konflik, kolaborasi, dan penipuan yang juga terjadi pada tingkat gen. Teori ini membuka kemungkinan untuk memahami perilaku manusia dan psikologi evolusioner sebagai hasil dari mekanisme-mekanisme yang sama yang mengatur dinamika genetik, sehingga menghubungkan biologi evolusioner dengan ilmu sosial secara mendalam.
Ketika survei burung pertama di Pegunungan Cyclops dilakukan (Pegunungan Cycloop – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas), saya merasa sulit membayangkan bagaimana seseorang bisa bertahan menghadapi kesulitan dalam survei pertama tahun 1928, mengingat betapa beratnya survei kedua saya pada tahun 1990. Survei tahun 1928 itu dilakukan oleh Ernst Mayr yang saat itu baru berusia dua puluh tiga tahun, dan baru saja menyelesaikan pencapaian luar biasa: menyelesaikan tesis doktoralnya di bidang zoologi sambil menyelesaikan studi praklinis di sekolah kedokteran/ Ernst berhasil menjalin hubungan baik dengan suku-suku setempat, sempat dilaporkan secara resmi namun keliru telah dibunuh oleh mereka, dan berhasil bertahan dari serangan malaria, demam berdarah, disentri, serta penyakit tropis lainnya, termasuk terpaksa turun dari air terjun dan nyaris tenggelam akibat kano terbalik. Ia berhasil mencapai puncak kelima gunung tersebut dan mengumpulkan koleksi burung yang besar, termasuk banyak spesies dan subspesies baru.
Ernst Mayr menegaskan bahwa evolusi adalah fakta ilmiah yang telah didukung oleh berbagai bukti dari berbagai disiplin ilmu, termasuk fosil, genetika, dan biogeografi. Ia menjelaskan bahwa teori evolusi, seperti yang dikembangkannya, didasarkan pada konsep-konsep seperti seleksi alam dan populasi, serta bahwa teori ini terus didukung melalui observasi dan inferensi yang terus-menerus diperbarui. Mayr juga menyoroti bahwa dalam biologi tidak ada hukum universal seperti di fisika, melainkan konsep dan narasi yang berfungsi sebagai kerangka kerja untuk memahami keberagaman makhluk hidup, termasuk dalam konteks sejarah dan evolusi manusia. Ia menolak pandangan bahwa tidak adanya bukti langsung berupa fosil yang lengkap merupakan kontra-evolusi, dan menjelaskan bahwa hukum entropi dalam sistem tertutup tidak berlaku dalam sistem terbuka yang didukung energi dari matahari. Selain itu, ia menyatakan pentingnya pemahaman yang benar tentang evolusi untuk melawan kesalahpahaman dan kepercayaan yang bertentangan, dan menganggap Darwin sebagai tokoh yang merubah dasar pemikiran Barat tentang kehidupan.
Secara ruang sosial dan interaksi sosial, percakapan ini menunjukkan bahwa pemahaman evolusi yang benar dan penyebarannya sangat dipengaruhi oleh narasi ilmiah dan kepercayaan masyarakat terhadap fakta ilmiah. Perdebatan dan resistensi terhadap evolusi, seperti yang terlihat di Amerika Serikat, seringkali berkaitan dengan identitas budaya dan kepercayaan keagamaan. Penekanan Mayr bahwa evolusi adalah fakta memperkuat pentingnya komunikasi ilmiah yang jernih dan edukasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang ilmu pengetahuan, agar misinformasi dan penolakan terhadap teori evolusi tidak mengakar dalam ruang sosial. Dengan demikian, studi evolusi tidak hanya bergantung pada bukti empiris, tetapi juga pada bagaimana narasi ilmiah ini diterima dan dipahami dalam konteks budaya dan sosial masyarakat tersebut.
Lebah atau burung kolibri datang dan memperhatikan bunga itu, bertanya pada dirinya sendiri, “Apakah saya ingin mencari makan di bunga itu sekarang?,” dan kemudian memutuskan untuk melakukannya atau tidak. Untuk memperoleh deskripsi lengkap tentang fungsi bunga, kita membutuhkan jenis data yang benar-benar baru. Bukan sekadardeskripsi dunia fisik, tetapi sesuatu yang lain di dalamnya, jika Anda mau—pikiran organisme lain ini, kognisi ini. Yang saya simpulkan adalah bahwa ini merupakan titik balik dalambiologi evolusi, dan bahwa terdapat proses tersendiri yangterjadi ketika evolusi terjadi melalui substrat kognitif ataumental—yaitu, ketika evolusi berkaitan dengan menarik individu lain. Saya akan menyebut area ini sebagai evolusi estetika, dan topik utamadalam evolusi estetika adalah asal mula keindahan.
Richard Prum adalah kurator bidang ornitologi dan kepala kurator zoologi vertebrata di Museum Sejarah Alam Peabody, Universitas Yale, menjelaskan inti dari evolusi estetika adalah gagasan bahwa organisme adalah agen estetika dalam evolusinya sendiri. Dengan kata lain, burung itu indah karena mereka sendiri indah. Dan kesimpulan ilmiah itu memiliki kekuatan untuk mengubah hubungan kita dengan alam sebagai manusia yang dapat berjalan-jalan di alam dan memperhatikan bunga-bunga dan mendengarkan kicau burung dan mengamati burung serta menghargainya dengan cara yang baru.
Evolusi estetika sebagai sebuah konsep ilmiah memiliki kekuatan untuk mengubah cara kita mengalami alam itu sendiri, dan saya tahu bahwa pengamatan burung saya sendiri telah diubah oleh hal ini. Ketika saya melihat burung bunting indigo, yang merupakan burung biru yang indah, atau burung tanager merah, yang berwarna merah cerah dengan bercak-bercak hitam cincin dan ekor hitam, kemudian membayangkan bagaimana mereka terbentuk melalui tarian ko-evolusi antara sifat-sifat jantan dan preferensi betina mengubah seperti apa rasanya.
Ketika Anda mendengarkan kicauan seruling kompleks burung wood thrush dan menyadari proses estetika yang memunculkannya, hal itu memiliki efek transformatif. Saya berharap pandangan tentang alam ini dapat diketahui publik dan mengubah cara kita memandang alam. Dan meskipun otak saya sendiri mungkin memiliki ratusan bahkan ribuan neuron yang didedikasikan untuk mempelajari dan mengetahui kicauan burung yang tidak lagi dapat saya dengar, latihan pergi ke alam dan mengamatinya sebagai manusia, dengan memahami ilmu pengetahuan dan kehidupan estetika organisme itu sendiri, merupakan pengalaman yang sangat istimewa.

Evilution di Papua
Rawa dataran rendah Papua, surga bagi burung endemik yang kini menjadi lahan incaran tanaman seperti sawit dan tebu. Siapa sangka, habitat yang dulu jadi panggung megah bagi cendrawasih dengan warna bulu spektakuler dan suara merdunya kini berubah menjadi ladang monokultur tanpa rasa seni. Burung-burung endemik, yang dulu bebas menari dan bernyanyi, kini harus menghadapi fragmentasi habitat sekaligus kehilangan “panggung” estetika evolusi mereka. Tentu saja, ini bukan hanya soal keanekaragaman hayati yang hilang, melainkan juga matinya proses artistik alam yang ribuan tahun terbentuk. Jadi, mari bertepuk tangan sambil menyaksikan konser terbesar kehancuran ekologis, di mana keindahan dan kehidupan burung endemik perlahan ditelan oleh ekspansi industri yang serakah—sebuah masterplan evolusi manusia.
Burung Endemik Papua Selatan yang Terancam Punah
- Cendrawasih kuning kecil (Paradisaea minor) – Terancam oleh perburuan dan hilangnya hutan primer
- Cendrawasih raja (Cicinnurus regius) – Terkena dampak fragmentasi habitat
- Burung kasuari selatan (Casuarius casuarius) – Rentan terhadap konflik manusia-satwa dan pembukaan lahan
- Burung kakatua raja (Probosciger aterrimus) – Terancam oleh perdagangan ilegal dan deforestasi
- Burung merpati tanah Papua (Gallicolumba spp.) – Sangat sensitif terhadap gangguan habitat rawa
Mamalia dan Satwa Endemik Papua Selatan yang Terancam Punah
- Kuskus bercincin emas (Spilocuscus maculatus) – Terancam oleh perburuan dan konversi hutan
- Kanguru pohon (Dendrolagus spp.) – Beberapa spesies hanya ditemukan di dataran rendah Papua dan sangat rentan terhadap monokultur
- Echidna moncong panjang (Zaglossus spp.) – Salah satu mamalia paling langka di dunia, terancam oleh hilangnya habitat
- Buaya Irian (Crocodylus novaeguineae) – Terancam oleh pencemaran dan perubahan ekosistem air
- Katak pohon Papua (Litoria spp.) – Terancam oleh perubahan iklim dan pengeringan rawa
Lirik lagu Muse “Starlight” di atas berbicara tentang perjalanan menjauh dari masa lalu dan orang-orang yang peduli, serta mengejar sebuah cahaya bintang (kejora!) —sebuah simbol harapan dan tujuan yang mungkin tak pasti atau bahkan sia-sia. Dalam konteks kepunahan (ecocide) di Papua, lirik ini bisa disamakan dengan perjalanan manusia yang meninggalkan habitat alami yang kaya—rawa dataran rendah Papua yang indah, dirampas paksa ruang hidupnya. Pertanyaan Oran Asli Papua adalah apakah semua ini sepadan jika yang hilang adalah keindahan dan kehidupan yang sejati?
Seperti halnya lirik “I don’t know if it’s worth it anymore,” masyarakat yang terbujuk dan generasi mendatang mungkin mulai merasakan keraguan terhadap harga yang harus dibayar atas kehancuran ekosistem alami ini, yang tak hanya menghapus spesies tapi juga menyurutkan proses estetika alamiah yang membentuk keindahan itu sendiri. Kepunahan bukan hanya soal kehilangan biologis, tapi juga kehilangan makna, kenangan, dan eksistensi yang pernah begitu hidup dan diidamkan—sebuah pengejaran “Bintang Kejora” yang berujung pada pertanyaan tentang nilai sejati keberlangsungan hidup dan kelestarian alam.
“And our hopes and expectations / Black holes and revelations” menggambarkan situasi menghadapi kehancuran ekologis akibat eksploitasi besar-besaran. Papua disebut sebagai ”the last frontier” ambisi yang tinggi, “our hopes and expectations”, yang dimiliki banyak pihak, terutama perampas lahan. Namun, ambisi ini menimbulkan “black holes,” lubang hitam dari kerusakan lingkungan, hilangnya hutan adat, dan keseimbangan ekologis yang mengancam kehidupan masyarakat adat dan biodiversitas. Dalam perjalanan eksploitasi ini, “revelations” atau pencerahan yang pahit muncul, yakni kesadaran bahwa kerakusan sumber daya membawa kutukan, bukan berkah, dan bahwa harapan akan kemakmuran seringkali berujung pada kehancuran yang mendalam, bukan pada kehidupan yang adil dan lestari.
Pustaka
Status Burung Indonesia 2025: Harapan dan Ancaman Kepunahan
5 Hewan Khas Papua yang Hampir Punah, Segera Dilestarikan – Jurnal Flores
5 Spesies Hewan Indonesia Yang Terancam Punah Dan Perlu Perlindungan – Environesia
Mengenal-Lebih-dekat-satwa-langka.pdf
The Evolution of Beauty: Dr. Richard Prum’s endowed lecture at UMBS | U-M LSA Program in Biology

