Perlunya Menilai Isu Keadilan Sosial dari Transisi Energi Bersih
- 0 Comments
- 19 March 2024
oleh: Widhyanto Muttaqien
Konsumsi energi didefinisikan sebagai salah satu faktor penentu utama degradasi lingkungan. Oleh karena itu, masalah ini menjadi salah satu poin utama perdebatan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Beberapa penelitian menghadirkan kembali apa yang disebut sebagai paradoks Jevons, dimana di bawah skenario paradoks Jevons, inovasi teknologi menjadi faktor yang mengurangi permintaan energi. Pada abad ke-19, seorang ekonom terkenal bernama William Stanley Jevons dalam The Coal Question (1865), menyatakan bahwa peningkatan efisiensi dalam penggunaan batubara di Skotlandia antara tahun 1830 dan 1863 menyebabkan peningkatan permintaannya, bukan penurunan. Jevons mendefinisikan kasus ekstrem dari apa yang sekarang kita kenal sebagai “efek pantulan”: efek tak terduga dari peningkatan efisiensi, produktivitas, atau konservasi sumber daya—tidak diprediksi oleh analisis teknik—pada penggunaan sumber daya ini karena respons sosioekonomi dan perilaku konsumen.
Penyebaran proyek ET yang lebih luas saat ini sedang berlangsung di Global South, dan negara-negara seperti Cina, India, Brasil, dan Meksiko termasuk di antara sepuluh negara dengan investasi paling signifikan dalam teknologi ini (WB, 2017; McCrone et al. , 2018). Selain itu, mengingat bahwa kondisi politik, fitur proyek tertentu, dan karakteristik sosial-budaya dan lingkungan lokal semuanya memengaruhi oposisi sosial (Martínez et al., 2016; Devine-Wright, 2011; Miller et al., 2015), kurangnya penelitian dalam geografi ini membatasi pemahaman teoretis yang diperlukan tentang aspek kontekstual SIA.
Selama dua dekade terakhir, struktur perekonomian Indonesia telah mengalami pergeseran. Pada tahun 2000, pertanian menyumbang sekitar 17% dari PDB dan industri hampir 50%. Pada tahun 2021, pangsa pertanian turun sekitar lima poin persentase dan pangsa industri dalam PDB (termasuk ekstraksi minyak dan gas) turun delapan poin persentase (EIA, 2021).
Figure 1. GDP by sector, 2000 – 2021, and GDP per capita in 2021
Meskipun terjadi penurunan di sektor migas, sektor komoditas ini tetap signifikan bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2021, subsektor pertambangan batubara menyumbang sekitar 2,4% dari PDB atas dasar harga konstan, sedikit menurun dari puncaknya sebesar 3,1% pada tahun 2013. Secara keseluruhan, ekstraksi batu bara, minyak dan gas alam menyumbang sekitar 5% dari PDB Indonesia pada tahun 2021, diukur dengan harga konstan. Namun, diukur dengan harga saat ini, ekstraksi minyak, gas, dan batu bara menyumbang sekitar 6,5% dari PDB pada tahun 2021, turun dari puncaknya sebesar 9,1% pada tahun 2011 selama periode harga tinggi dari siklus super komoditas (EIA, 2021), hal tersebut dapat dilihat dari Gambar 2.
Figure 2. Oil, natural gas, coal and palm oil in goods trade in Indonesia (IEA, 2021)
Figure 3. Total energy supply by source in Indonesia, 2000 – 2021 (IEA, 2022)
Indonesia juga telah melihat perubahan yang signifikan dalam neraca perdagangan minyaknya. Pada tahun 2000, ekspor minyak bersihnya setara dengan hampir seperempat konsumsi domestik. Ini telah berubah secara dramatis pada tahun 2021, dengan impor bersih menyumbang lebih dari separuh konsumsi minyak dalam negeri. Porsi bahan bakar fosil dalam total pasokan energi Indonesia telah meningkat lebih banyak dari sepuluh poin persentase sejak tahun 2000, meskipun tren ini menunjukkan tanda-tanda stabil akhir-akhir ini dengan pertumbuhan energi terbarukan modern.
Sehubungan dengan adanya target penurunan emisi GRK Indonesia, guna mencapai NZE di tahun 2060 atau lebih awal, maka pengembangan energi terbarukan harus dilakukan secara lebih masif lagi. Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) memperkirakan, untuk mencapai NZE di tahun 2060, komposisi pembangkit listrik dari EBT akan berasal dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebesar 421 GW, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) sebesar 94 GW, PLTA 72 GW, pembangkit listrik tenaga bioenergi (PLTBio) mencapai 60 GW, PLTN 31 GW, PLTP (panas bumi) 22 GW, dan PLT Arus Laut mencapai 8 GW. Sedangkan untuk teknologi penyimpanan (storage) akan terdiri dari pumped storage sebesar 4,2 GW, dan BESS sebesar 56 GW.
Figure 4. Kapasitas pembangkit pada kondisi Net Zero Emission di tahun 2060 (GW) (Iswahyudi dan Kusdiana, 2022)
Sektor energi di dalam NDC Indonesia yang pertama, ditargetkan dapat menurunkan sekitar 314-446 juta2 ton CO2-ek pada tahun 2030, melalui upaya-upaya pengembangan energi terbarukan, pelaksanaan efisiensi energi, konversi energi, dan penerapan teknologi energi bersih. Untuk melaksanakan hal ini, Indonesia mulai memperhitungkan untuk melakukan early retirement dari beberapa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Indonesia, yang berasal dari batu bara (Gambar 5).
Figure 5. Sebaran proyek PLTU yang dibatalkan dalam rangka transisi energi (Wanhar, 2022)
Studi dampak sosial pada sektor ini akan memperlihatkan i) pengaruh pendekatan studi dampak sosial dalam pengelolaan dampak sosial proyek transisi energi secara makro; ii) efektifitas dari desain dan praktek studi dampak sosial; dan iii) pengaruh regulasi pada sektor energi terhadap rancangan dan praktik studi dampak sosial.
Saat ini Indonesia sedang mengembangkan skenario untuk melakukan phase down/phase out pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Akan tetapi, perlu diingat juga, bahwa pada saat Indonesia melakukan phase down/phase out pembangkit listrik berbahan bakar batu bara, maka ada pasokan listrik yang harus dipenuhi dari pembangkit listrik lain yang seharusnya tidak berasal dari fosil. Itu sebabnya, dalam mengembangkan skenario phase down/phase out pembangkit fosil, Indonesia perlu mengembangkan skenario phase-in dari energi terbarukan untuk memenuhi pasokan listrik yang sebelumnya dipasok dari bahan bakar fosil. Indonesia juga perlu memperkuat jaringan (grid) yang ada, sehingga memastikan akses listrik terdistribusi dengan baik (Andayani, Marthen, Imelda, Setiadi, 2022).
Tingkat konsumsi energi per provinsi diasumsikan akan dipengaruhi oleh faktor sebagai berikut.
- Pertumbuhan ekonomi
- Pertumbuhan penduduk/migrasi sirkuler
- Pertumbuhan industri dan lapangan kerja
- Pertumbuhan infrastruktur
- Peningkatan kesejahteraan sosial
- Perubahan budaya kehidupan sosial seperti meningkatnya ekonomi digital dan gaya hidup hijau
Figure 6. Grafik metodologi pertumbuhan konsumsi energi dan faktor yang memengaruhi
Konsep ini sejalan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27: (i) Semua warga negara harus sama di depan hukum dan pemerintah dan harus menghormati hukum dan pemerintahan, tidak ada kecualinya; (ii) Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan untuk mencari penghidupan yang manusiawi, dan (iii) Setiap warga negara berhak dan berkewajiban untuk berpartisipasi dalam upaya pembelaan negara.
Mempertimbangkan empat prinsip keadilan, keadilan distributif, restoratif keadilan, keadilan antargenerasi, dan keadilan prosedural, sebuah kerangka transisi yang adil yang sesuai konteks lokal sangat diperlukan. Pertanyaan mengenai Just Transition mestinya mengacu pada keadilan ekologi, ekonomi, dan sosial. Dalam konteks lokal perubahan energi dalam suatu komunitas dijadikan contoh untuk dinamika sosial, misalnya kebijakan satu harga di wilayah Timur tidak akan pernah tercapai, karena unsur pengawasannya sangat kurang, terbukti harga gas subsidi (gas melon 3 kg) tetap melambung. Sementara proyek konservasi yang dijalankan tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan kayu bakar. Jika energi menjadi sebuah indikator pertumbuhan ekonomi yang dapat menjadi modal dasar industrialisasi, maka keadilan antar wilayah masih jauh api dari panggang selama 10 tahun ini. Beberapa proyek energi dijalankan untuk memberi pasokan kepada perusahaan-perusahan besar, baik industri perkebunan sawit atau pertambangan emas dan nikel di daerah Timur Indonesia (khususnya di Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi tengah, Maluku Utara, Papua, Papua Barat dan Papua Selatan dan ) bukan pengembangan sektor pertanian atau maritim.
Keterkaitan antara pembangunan sosial dan ekologi menjadi semakin banyak terlihat, karena perubahan iklim dan kebijakan mitigasi dan adaptasinya memengaruhi kelompok rentan tidak proporsional. Transisi yang adil membutuhkan reformasi makro-fiskal yang mendorong pembangunan netral karbon dan pada saat yang sama disertai dengan jaring pengaman yang memadai untuk bagian masyarakat yang paling rentan dan terpinggirkan. Biaya sosial dari transisi perlu dikurangi dan dimitigasi, sambil meningkatkan manfaat tambahan untuk semua. Penilaian dimulai dengan identifikasi pemangku kepentingan yang terkena dampak (individu, kelompok/ komunitas, atau kelembagaan). Menyangkut hal-hal sebagai berikut.
- Availability : Ketersediaan pasokan energi
- Accessibility : Kemudahan konsumsi/ketersediaan infrastruktur.
- Affordability : Keterjangkauan harga/daya beli.
- Acceptability : Penerimaan masyarakat dan lingkungan
- Sustainability : Keberlanjutan pasokan jangka panjang
Sudah umum diketahui bahwa transisi energi sangat membutuhkan pergeseran yang signifikan dari listrik yang dihasilkan bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Selama fase transisi, ada beberapa dampak sosial ekonomi yang mungkin terjadi, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Di antaranya, manfaat pensiun dini pembangkit listrik berbahan bakar batubara.
Sementara itu, risiko atau kerugian awal termasuk dampak kesehatan kumulatif yang terkait dengan penanganan dan membuang limbah beracun, kehilangan pekerjaan mengakibatkan hilangnya pendapatan pajak penghasilan, hilangnya mata pencaharian dan pendapatan, berkurangnya keandalan pasokan listrik yang menyebabkan hilangnya kegiatan ekonomi, meningkat tekanan pada sistem kesejahteraan negara dan perlindungan sosial, peningkatan rumah tangga rentan; mengurangi pendapatan dari menyewakan properti dan nilai properti, dan meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga dan berbasis gender karena hilangnya pendapatan.
Pada skala mikro individu dan keluarga, studi dampak sosial harus mengeksplorasi cara peristiwa yang berdampak berinteraksi dengan keadaan sosial dan pandangan psikologis individu. Pada skala komunitas atau ‘meso’, pertimbangan mencakup sejauh mana peristiwa yang berdampak memicu perubahan terus-menerus di luar individu yang secara langsung dipengaruhi, dan berinteraksi dengan kondisi dan tren sosial untuk menghasilkan serangkaian hasil yang unik bagi komunitas. Pada skala makro kebutuhan analisis dampak dilakukan pada aspek kebijakan, di dalamnya terdapat berbagai aktor seperti Negara sebagai regulator dan fasilitator, pelaku bisnis sebagai importir dan eksportir energi dan distribusinya termasuk sektro swasta dan BUMN, dan asosiasi konsumen.
Indonesia bercita-cita mencapai kondisi maju dan sejahtera dalam seratus tahun ke depan kemerdekaan (visi Indonesia 2045). Transisi yang efektif dan inklusif ke rendah emisi gas rumah kaca dan pembangunan yang tahan iklim membutuhkan transisi yang adil dari tenaga kerja, penciptaan pekerjaan yang layak dan pekerjaan berkualitas, memenuhi kebutuhan kesetaraan gender dan keadilan, antar generasi dan kelompok rentan termasuk masyarakat adat dan lokal yang terkena dampak proyek energi baru dan terbarukan.