Sisa Makan dari MBG

oleh: Widhyanto Muttaqien

Total food waste harian 4.100 ton

Warta Ekonomi, 24 Maret 2025

Indonesia menghasilkan sekitar 68 juta ton sampah per tahun, dengan 60% organik termasuk sisa makanan yang berkontribusi pada emisi metana 20-30% dari sektor sampah. Strategi nasional saat ini, seperti UU No. 18/2008 dan PP No. 81/2012, masih bergantung pada pengangkutan ke TPA tanpa pengurangan signifikan di sumber, menyebabkan overload TPA seperti Bantar Gebang (untuk wilayah Jakarta), bandingkan kekisruhan pengelolaan sampah di Kota Tangerang Selatan Menggunung, Tumpukan Sampah ‘Banjiri’ Ciputat Tansel-Ditutupi Terpal

Di Amerika, National Academies of Sciences merekomendasikan strategi nasional pengurangan sampah makanan konsumen hingga 50% pada 2030 melalui tiga jalur: perubahan lingkungan makanan, penguatan MOA konsumen, dan riset teknologi.  Model The Stop (Saul dan Curtis, 2013) menunjukkan pengurangan sampah makanan melalui pusat makanan komunitas yang mengintegrasikan pendidikan, taman kota, dan donasi, mengurangi limbah hingga 30% di lokasi serupa.

Sejumlah kendaraan melintas di antara tumpukan sampah yang berserakan di beberapa titik Pasar Ciputat, Kebayoran Lama, Selasa (16/12/2025). (CNBC Indonesia/Romys Binekasri)
Menggunung, Tumpukan Sampah ‘Banjiri’ Ciputat Tansel-Ditutupi Terpal

Perbandingan Strategi AS-Indonesia dalam Pengurangan Sampah

Strategi AS fokus pada konsumen dengan kampanye nasional Winning on Reducing Food Waste Initiative oleh USDA-EPA-FDA, yang menargetkan pengurangan 50% sampah makanan melalui harmonisasi label tanggal (“best if used by”), insentif finansial seperti diskon makanan suboptimal (ukuran kecil, bentuk cacat, namun aman untuk dimakan).

Label tanggal saat ini di AS bervariasi, “sell by”,use by“, “best by” sehingga 33% sampah makanan berasal dari ketakutan kadaluarsa prematur. Strategi nasional National Academies merekomendasikan undang-undang federal untuk standarisasi dua frasa ini,  “BEST if Used By” menandakan puncak rasa (bukan aman/tidak), sementara “USE By” untuk produk cepat busuk seperti daging), dan intervensi perilaku seperti piring kecil di kantin.

Sementara, di Indonesia, melalui Keputusan Menteri LH No. 2648/2025, menekankan petunjuk teknis pemilahan terpilah (sisa makanan hijau, residu abu-abu, B3 merah) di TPS kawasan, dengan Rencana Pengelolaan Sampah Kawasan (RPSK) yang wajib melibatkan pengelola dan masyarakat.

Sistem Insentif

Amerika menerapkan sistem insentif seperti “Nudge” finansial merujuk pada dorongan halus berbasis ekonomi yang mengubah perilaku pembuangan sampah tanpa larangan langsung, seperti sistem Pay-As-You-Throw (PAYT) di mana rumah tangga bayar per kg sampah organik yang dibuang, semakin sedikit limbah, semakin rendah tagihan. Di AS, ini diterapkan di lebih dari 6.000 kota, mengurangi sampah makanan 10-50% karena konsumen termotivasi memilah dan kompos sisa makanan daripada membuang.

Tax credits untuk donasi makanan suboptimal (bentuk cacat atau mendekati kadaluarsa), memungkinkan bisnis mengurangi pajak hingga 15% pendapatan kena pajak, mendorong redistribusi daripada pembuangan. Di restoran, menghilangkan diskon bulk purchase atau mengenakan biaya piring kotor, kombinasikan dengan piring kecil untuk kurangi pengambilan makanan berlebih.

Feedback apps memberikan umpan balik personal tentang volume sampah makanan rumah tangga, seperti aplikasi dalam struk belanja vs. timbangan limbah mingguan, tampilkan “Anda buang Rp 500 ribu makanan bulan ini” (sesuai dengan struk belanja, di Indonesia sulit karena, pasar tradisional dan tukang sayur keliling tidak menyediakan struk belanja). Di Indonesia bisa lewat aplikasi self asessment yang diintegrasikan ke dalam pembayaran sampah bulanan. Jika sampah terlalu banyak, pergunakan penyimpanan yang lebih kecil untuk mengurangi limbah akibat basi prematur yang menyumbang 20% sampah rumah tangga. Strategi nasional AS menggunakan platform Winning on Reducing Food Waste Initiative, dengan elemen gamifikasi (poin reward tukar voucher) dan norma sosial seperti tagline “Tetangga Anda kurangi 30% limbah”.

Sumber: Perputaran Ekonomi dalam MBG Sangat Besar, UMKM yang Terlibat Diproyeksikan Terus Bertambah

Food Waste MBG

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan Januari 2025 oleh pemerintahan Presiden Prabowo Subianto seharusnya dapat menjadi katalisator pengurangan food waste dan food loss skala nasional. Dengan mengintegrasikan pengelolaan teknisberdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup /Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 2648 Tahun 2025 Tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Sampah Di Kawasan Permukiman, Kawasan Industri, Kawasan Komersial, Dan Kawasan Khusus yang bertujuan menciptakan siklus ekonomi sirkular dari limbah makanan menjadi pangan bergizi untuk 20 juta penerima manfaat awal (siswa PAUD-SMA, ibu hamil/menyusui, balita).

Sisa makanan dari rantai pasok diubah menjadi makanan siap saji di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), sambil terapkan petunjuk teknis Kepmen LH No. 2648/2025 untuk pemilahan terpilah dan pengolahan organik di kawasan sekolah/permukiman. MBG menargetkan 82 juta penerima Perputaran Ekonomi dalam MBG Sangat Besar, UMKM yang Terlibat Diproyeksikan Terus Bertambah di prioritas  daerah 3T dan  UMKM lokal, dengan anggaran Rp 171 trilyun Ini Pihak yang Diuntungkan Jika Anggaran Makan Bergizi Gratis Jadi Rp 171 T,  potensi serap 30% food loss dari petani (buah cacat, sayur suboptimal) dan food waste konsumen (sisa nasi, kulit ayam). Food loss terjadi pra-konsumen (panen-transportasi), food waste pasca-pembelian.

Perkiraan food waste jikasetiap anak mendapatkan jatah 1.000 gram/1 kg makanan per hari. Dan sisa makanana 50 gr per hari, total food waste harian: 4.100 ton (82 juta penerima dikalikan 50 gr). Total food waste bulanan 123.000 ton. Dan dalam setahun menghasilkan sampah 1.496.000 ton. Sebagai pembanding, Laporan Bapenas (2021) Indonesia menghasilkan14,73 juta ton sampah makanan rumah tangga per tahun, yang merupakan food waste.

Grafik 1. Food Waste Program MBG

Food Loss & Waste (FLW) di Indonesia dan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sama-sama menyentuh isu pangan, tetapi dengan fokus berbeda. FLW menyoroti inefisiensi sistem pangan (produksi–distribusi–konsumsi), sedangkan MBG menekankan akses gizi seimbang bagi kelompok rentan. Keduanya bisa saling melengkapi: pengurangan FLW memperkuat keberlanjutan MBG, sementara MBG dapat menjadi kanal distribusi untuk pangan yang berisiko terbuang.

Tabel 1. Food Loss and Waste dan Program MBG

AspekFood Loss & Waste (FLW)Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Tujuan utamaMengurangi kehilangan dan pemborosan pangan di seluruh rantai pasokMenjamin akses gizi seimbang bagi anak sekolah, ibu hamil, menyusui, dan balita
Skala masalah/target23–48 juta ton pangan hilang/terbuang per tahun; 40,91% sampah nasional berupa sisa makananMenjangkau 20 juta penerima (anak sekolah, anak belum sekolah, ibu hamil/menyusui). pada akhir Program 82 juta penerima.
Dampak utamaKerugian ekonomi, emisi karbon, ketahanan pangan tergangguPeningkatan kehadiran sekolah, perbaikan status gizi, penciptaan 290 ribu lapangan kerja
Aktor kunciPetani, nelayan, distributor, retail, rumah tanggaBadan Gizi Nasional (BGN), sekolah, dapur SPPG, pemerintah daerah
Solusi yang ditawarkanEkonomi sirkular, redistribusi pangan, teknologi cold chain, edukasi konsumsiPenyediaan menu sesuai AKG, distribusi gratis, fokus 1000 HPK (hari pertama kehidupan)
KeterkaitanFLW dapat menjadi sumber pangan untuk MBG (donasi, redistribusi)MBG dapat mengurangi FLW dengan menyalurkan surplus pangan ke kelompok rentan

Tantangan

Logistik Distribusi MBG dan Pencegahan FLW

Di lapangan, distribusi Makan Bergizi Gratis (MBG) ke 20 juta penerima awal sering mengalami food loss (FLW) hingga 15-20% akibat rantai dingin putus di daerah 3T—contoh pilot Jakarta Selatan Oktober 2025, 12% sayur layu karena truk tanpa pendingin mencapai sekolah pelosok dalam 4 jam. SPPG harus terapkan standar HACCP ala Kemenkes, dimana pengadaan imperfect produce dari petani (kentang cacat diskon 30%) langsung ke hub dingin 0-4°C, pisah etilen (pisang dari brokoli), dan armada GPS-tracked dengan pendingin.

Di Kota Bogor Pasar tradisional kehilangan 25% buah pasca-panen, hal ini dapat dijadikan solusi dengan kontrak MBG langsung petani-UMKM-SPPG via aplikasi tracking expiry seperti FoodKeeper USDA (Amerika), yang akan mengurangi food loss 10% dengan kita penyimpanan (wortel gelap, daging bawah kulkas).

Pengawasan rantai dingin dilakukan melalui sensor Internet of Things pada truk pengiriman yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional, dengan sanksi administratif bagi kontraktor jika tingkat kerugian makanan melebihi 5 persen. Hasil uji coba di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi Bandung menunjukkan penghematan delapan juta rupiah per bulan, didukung standar keamanan pangan Badan Pengawas Obat dan Makanan yang mewajibkan label “terbaik jika digunakan sebelum” pada semua bahan baku.

Koordinasi Multi-Aktor Kebijakan Terintegrasi

Koordinasi antar Kementerian sering mandek di lapangan, KLHK menerapkan Kepmen 2648/2025 TPS3R SPPG, tapi Kemendikbud kirim bahan ber-plastik multilayer, Kemenkes fokus gizi tapi abaikan waste 20% piring siswa. Realitas lapangan di SPPG Depok pada November 2025 terjadi overload TPA karena sisa makanan campur B3, kurang sinergi Badan Gizi Nasional dengan pengelola kawasan sekolah.

Integrasi via “Forum MBG Zero Waste” bulanan, KLHK (RPSK + pemilahan hijau/abu/merah), Kemendagri (Dana Desa subsidi komposter), Kemenkeu (PPN insentif UMKM kompos), Kemenkes (HACCP menu sisa). Contoh sukses percontohan di Solo, terdapat MoU lima kementerian hasilkan SPPG dengan drop point reusable, pupuk kompos balik ke taman sekolah, reduksi sampah 28%, ciptakan 50 jobs UMKM pakan ternak dari sisa nasi. Pengawasan Proper Hijau wajib, pelaporan triwulan SIPSN ukur kontribusi ketahanan pangan nasional.

Edukasi Perilaku Masyarakat Konsumsi Bijak

Kebiasaan masyarakat buang sisa nasi sebagai “rezeki Allah jangan dibuang” tidak ada praktik baiknya, yang terjadi sisa nasi dibuang menambah sampah organik 60% di skala rumah tangga. Survei lapangan Bogor 2025 temukan 35% orang tua siswa SPPG tetap menyediakan nasi lebih di rumah, mereka menganggap MBG “gratis boleh boros”. Hal ini membutuhkan edukasi di rumah tangga.

Buatlah kampanye “Nol Waste MBG” via influencer lokal dan apps SIPSN dengan gamikfikasi seperti di Amerika, untuk sekolah dan rumah tangga. “Keluarga Anda hemat 2kg/minggu = pupuk 5 pohon”, “Sekolah Anda merupakan sekolah terbaik dalam mengelola sampah”.  “Kelas 5A zero waste 5 hari!”.

Bacalah!

  1. https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/pemerintah-salurkan-makan-bergizi-gratis-mbg-ini-sasaran-utama-penerimanya
  2. https://kemkes.go.id/id/kemenkes-tegaskan-keamanan-pangan-sebagai-kunci-keberhasilan-program-makan-bergizi-gratis
  3. https://www.setneg.go.id/baca/index/program_makan_bergizi_gratis_sentuh_20_juta_penerima_ciptakan_290_ribu_lapangan_kerja
  4. https://hellosehat.com/sehat/informasi-kesehatan/cara-mengurangi-sampah-sisa-makanan/
  5. https://dki.kemenag.go.id/berita/min-20-jakarta-mulai-jalankan-program-makan-bergizi-gratis-mbg-3e56r

Comments

comments