100 Tahun Naar de Republiek Indonesia

Kritik yang telah berusia seabad terhadap kompromi dan sekutu palsu terasa sangat segar di dunia oligarki dan aktivisme yang di-greenwashing saat ini.

Oleh : Widhyanto Muttaqien

Tan Malaka merupakan seorang revolusioner dalam imajinasi global abad ke-20, namanya sejajar dengan Che. Namun, salah satu tokoh yang paling visioner dan kontroversial ini sebagian besar terabaikan di Barat, bahkan di negara yang turut ia lahirkan: Indonesia.

Namanya Tan Malaka, dan ia adalah seorang intelektual Marxis, seorang anti-kolonial yang gigih, dan seorang kritikus kompromi yang gigih. Seabad yang lalu, ia memaparkan visi kemerdekaan Indonesia yang sangat populer, internasionalis, dan tanpa kompromi. Ia akhirnya dikhianati dan dieksekusi oleh aparat negara yang turut ia bangun, karena gagasan-gagasannya dianggap terlalu berbahaya.

Saat ini, arwahnya masih menghantui. Di sebuah bangsa dan dunia yang bergulat dengan jurang pemisah antara kebebasan politik dan keadilan ekonomi, dengan kekuasaan oligarki dan gerakan sosial yang terkooptasi, tulisan-tulisan Tan Malaka yang berusia seabad menawarkan sudut pandang yang menyegarkan sekaligus meresahkan untuk melihat ketidakpuasan kita di zaman modern.

Kritik utamanya, bahwa kemerdekaan sejati adalah kebebasan dari eksploitasi manusia oleh manusia, tetap relevan. Indonesia adalah negara demokrasi yang dinamis, namun ketimpangan yang sangat besar masih ada. Sumber daya alam diekstraksi dari daerah-daerah terpencil, membuat masyarakat lokal miskin dan ekosistem hancur. Kelas politik sering dipandang sebagai oligarki transaksional, lebih tertarik membagi hasil daripada mewakili para pemilih. Kebebasan formal dalam kotak suara belum diterjemahkan menjadi pembebasan dari perbudakan ekonomi.

Inilah kemerdekaan hampa yang ditakuti Tan Malaka. Ia menyimpan kritiknya yang paling pedas untuk apa yang ia lihat sebagai elit yang berkompromi — kaum nasionalis yang akan membuat kesepakatan dengan kekuatan kolonial, melestarikan struktur eksploitasi lama di bawah bendera pribumi yang baru. Hal ini masih dapat kita dengar gaungnya saat ini dalam kekecewaan publik yang mendalam terhadap politik ruang belakang dan persepsi bahwa pemerintah melayani konglomerat, bukan warga negara.

Mungkin konsep modernnya yang paling mencolok adalah serangannya terhadap apa yang ia sebut dengan sarkastis sebagai “Serikat Hijau”. Dalam bukunya yang terbit tahun 1925, “Naar de Republiek Indonesia” (“Menuju Republik Indonesia”), ini bukanlah perayaan lingkungan hidup. Melainkan sebuah peringatan.

Bagi Tan Malaka, “Serikat Hijau” adalah organisasi buruh atau tani yang tampak radikal di permukaan—mengibarkan bendera yang tepat, menggunakan slogan yang tepat—tetapi pada akhirnya merupakan alat status quo. Kelompok-kelompok ini, menurutnya, “hijau” bukan dalam kesadaran ekologis mereka, melainkan dalam ketidakdewasaan politik mereka. Mereka mengupayakan reformasi yang dangkal, bekerja sama dengan para administrator dan korporasi kolonial, dan meredakan kemarahan rakyat alih-alih menyalurkannya menjadi perubahan revolusioner yang sejati. Mereka hanyalah bentuk kamuflase.

Tidak perlu lompatan besar untuk melihat paralel kontemporernya. Serikat Hijau saat ini mungkin merupakan organisasi nirlaba atau gerakan yang memperjuangkan suatu tujuan seperti lingkungan hidup atau hak-hak buruh, tetapi secara finansial terikat pada sponsor perusahaan atau kepentingan negara. Mereka berfokus pada perbaikan teknis berbasis proyek yang menghindari tantangan terhadap struktur inti kekuasaan dan ketimpangan. Mereka hanyalah simbolisme tanpa substansi, yang secara efektif melegitimasi sistem yang mereka klaim ingin reformasi.

Ini bukan argumen melawan pragmatisme, melainkan seruan untuk kejelasan. Tan Malaka memaksa kita untuk bertanya: Apakah gerakan ini berusaha mengubah sistem, atau hanya membuatnya sedikit lebih mudah diterima? Apakah solidaritasnya nyata, atau hanya sebuah merek?

Dan apa yang Tan usulkan sebagai gantinya? Bukan simpati sentimental, melainkan solidaritas yang ditempa dalam api perjuangan bersama dan kesadaran kelas. Ia menyerukan front persatuan kaum tertindas—buruh, petani, kaum miskin kota—melintasi batas etnis dan regional. Ia membayangkan sebuah internasionalisme yang menghubungkan perjuangan melawan kolonialisme Belanda di Jawa dengan perjuangan global melawan kapital.

Visi solidaritas politik dari bawah ke atas yang menantang ini bergema kuat hingga saat ini. Hal itu terlihat dalam pengorganisasian keras para petani yang merebut kembali lahan mereka dari perkebunan kelapa sawit, dalam komunitas adat yang mempertahankan hutan mereka, dan dalam perjuangan buruh untuk upah layak. Solidaritas mereka bukanlah solidaritas tagar, melainkan solidaritas risiko bersama dan musuh bersama.

Dunia Tan Malaka adalah dunia yang penuh pilihan hitam-putih, revolusi atau pengkhianatan. Dunia kita tentu lebih kompleks. Namun, tulisannya tetap menjadi penawar vital bagi rasa puas diri. Ia adalah pengingat bahwa kebebasan formal saja tidak cukup, bahwa sekutu harus diteliti, dan bahwa ancaman paling menggoda bagi sebuah gerakan seringkali bukanlah serangan langsung, melainkan pelukan yang menetralisir.

Di era krisis iklim, meningkatnya otoritarianisme, dan kesenjangan yang memusingkan, pertanyaannya bergema selama beberapa dekade: Apakah gerakan yang kita lakukan benar-benar membebaskan, atau hanya sekadar warna hijau lainnya?

Sumber foto sampul: Indonesian Environmental Groups Criticise EUDR Delay

Comments

comments