Keberagaman Agraria

Penulis: Widhyanto Muttaqien

Indonesia, negeri agraris dengan jutaan petani yang bergantung pada lahan sawah sebagai pangkalan kehidupan, saat ini menghadapi krisis penyusutan lahan sawah yang mengkhawatirkan. Data terbaru menunjukkan bahwa lahan subur sawah di sejumlah wilayah terutama di Pulau Jawa mengalami konversi lahan dengan tingkat yang sangat tinggi. Misalnya, di kawasan aglomerasi Bekasi, lahan sawah berkurang dari 46% pada tahun 2019 menjadi sekitar 29,2% lima tahun kemudian (2024) dengan tingkat alih fungsi mencapai 8,7% per tahun. Lahan-lahan produktif ini banyak yang beralih fungsi menjadi kawasan perumahan, industri, dan infrastruktur lain yang bersifat permanen, sehingga mengurangi kapasitas ekologis lahan untuk pertanian pangan pokok.

Sayangnya, upaya pengimbangan melalui pencetakan sawah baru di luar Jawa belum mampu menutup defisit ini. Faktor budaya, karakteristik lahan yang berbeda-beda, serta kebutuhan investasi infrastruktur besar seperti irigasi dan waduk membuat perluasan lahan sawah baru tidak semudah yang dibayangkan. Akibatnya, ketahanan pangan nasional menghadapi tantangan berat karena basis produksi padi sebagai makanan pokok semakin tergerus. Selain itu, krisis lahan ini berdampak langsung pada kesejahteraan petani yang mengandalkan pertanian subsisten dan tradisional. Penyusutan lahan menyebabkan petani kehilangan akses terhadap sumber penghidupan mereka dan memunculkan kerentanan sosial-ekonomi yang serius.

Krisis ini tidak hanya soal kuantitas lahan, tetapi juga kualitas kehidupan petani yang semakin terpinggirkan dalam proses modernisasi agraria yang sarat tekanan kapitalistik dan ekspansi korporasi besar. Petani kecil yang selama ini mempertahankan pertanian tradisional dengan kearifan lokal dan sistem agraria adat menghadapi risiko hilangnya pengakuan atas cara hidup dan sistem produksi mereka. Dalam konteks ini, perjuangan mempertahankan lahan sawah dan pengakuan terhadap keberagaman sistem agraria menjadi hal krusial bukan hanya untuk menjaga ketahanan pangan, tetapi juga keadilan sosial dan keberlanjutan budaya pertanian Indonesia.

Menurut Jan Douwe van der Ploeg dalam The New Peasantries (2008), “Farming styles are characteristic configurations of farming practices that reflect a specific way of life, combining technical choices, resource management, and social relations.” (van der Ploeg, 2008, hlm. 45). Pendekatan ini menegaskan bahwa petani tidak hanya menjalankan pertanian sebagai usaha ekonomi, tetapi juga sebagai ekspresi budaya dan identitas sosial yang khas. Petani mengembangkan gaya bertani yang berakar pada sumber daya lokal dan pengetahuan turun-temurun, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan kedaulatan atas produksi pangan dan menolak sepenuhnya dominasi pasar global.

Van der Ploeg juga menekankan bahwa farming styles adalah bentuk resistensi aktif terhadap tekanan globalisasi dan liberalisasi ekonomi. Petani yang mengadopsi gaya bertani tertentu melakukan diversifikasi produksi, penggunaan input yang disesuaikan dengan konteks lokal, dan memperkuat jaringan sosial solidaritas. Hal ini tidak hanya mendukung keberlanjutan ekologi dan sosial, tetapi juga menciptakan sistem produksi alternatif yang menentang logika kapitalistik yang homogen dan ekploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Dengan demikian, farming styles bukan hanya strategi teknis, tetapi juga politik dan kultural untuk mempertahankan kemandirian petani di tengah tekanan eksternal (van der Ploeg, 2008, hlm. 60-62).

Dalam konteks Indonesia, konsep ini membantu menjelaskan bagaimana komunitas adat dan petani kecil mempraktikkan diversifikasi usaha dan kearifan lokal yang tidak tercermin dalam kebijakan agraria nasional yang formal. Pengakuan terhadap farming styles ini membuka ruang bagi reforma agraria yang inklusif, yang tidak hanya fokus pada redistribusi tanah, tetapi juga menghormati nilai-nilai sosial dan ekonomi moral petani sebagai subjek sejarah dalam perlawanan terhadap kapitalisasi lahan.

Kasus Papua menjadi salah satu cermin kegagalan negara dalam mengakui pluralisme agraria dan keberagaman petani. Komunitas adat di Papua mengelola tanah dan sumber daya secara kultural dan ekologis, berbeda dengan model yang ada di pulau lain, apalagi Pulau Jawa dan pertanian korporasi. Namun, mereka banyak kehilangan akses dan kontrol atas tanah adatnya akibat kebijakan pengelolaan lahan yang tidak mengakomodasi sistem mereka. Ini bukan semata soal tanah, melainkan juga pengingkaran terhadap nilai sosial, ekonomi moral, dan spiritual yang melekat dalam praktek pertanian tradisional masyarakat adat. Ketidakmampuan negara mengintegrasikan pluralisme agraria berpotensi memicu konflik, memperdalam ketimpangan sosial, dan mengancam keberlanjutan komunitas serta lingkungan.

Model pertanian korporasi yang menekankan efisiensi dan skala besar sering mengabaikan keberlanjutan sosial-ekologi serta pluralisme sistem agraria yang seharusnya diakui negara. Akibatnya, pola penguasaan tanah dan lahan kian terpusat, sementara sistem pertanian berbasis kearifan lokal dan ekonomi moral petani terpinggirkan, terutama di wilayah-wilayah seperti Papua yang kaya keragaman budaya agraria.

Selamat Hari Tani

Comments

comments