KEBIJAKAN PESISIR NASIONAL: MENGUJI ASAS EKOREGION DAN KEADILAN SOSIAL

kapal pesiar

oleh: Widhyanto Muttaqien

Pesisir merupakan ekosistem rentan yang memainkan peran krusial sebagai penyangga iklim, sumber pangan, dan ruang hidup masyarakat. Namun, kebijakan pembangunan nasional, khususnya melalui skema Proyek Strategis Nasional (PSN), seringkali mengabaikan dimensi ekologis ini. Alih-alih memperkuat perlindungan, PSN justru menjadi instrumen akselerasi pembangunan yang mengancam keberlanjutan pesisir dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Prinsip bioregionalisme atau ekoregion sebenarnya telah diamanatkan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan  Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Keduanya menegaskan bahwa kebijakan tata ruang harus didasarkan pada karakteristik alam dan fungsi ekologis—bukan semata pertimbangan ekonomi. Ekosistem sensitif seperti mangrove, lahan gambut, terumbu karang, dan padang lamun harus dilindungi melalui pembatasan ketat terhadap aktivitas ekstraktif.

Namun, norma-norma perlindungan ini semakin terdesak oleh regulasi yang memprioritaskan investasi, seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan skema PSN. Lebih memprihatinkan, Undang-Undang No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi justru memperkenalkan skema konservasi berbasis zona eksklusi yang berpotensi meminggirkan nelayan tradisional dari ruang hidup dan sumber penghidupannya. Alih-alih melindungi, konservasi berisiko menjadi alat pembatasan akses yang tidak partisipatif dan tidak adil.

Skema pendanaan seperti debt-for-nature swap juga menuai kritik. Meskipun bertujuan mendukung konservasi, implementasinya sering mengabaikan hak masyarakat lokal. Di beberapa wilayah, skema ini berujung pada pembentukan kawasan konservasi yang membatasi akses nelayan tradisional tanpa proses konsultasi yang memadai. Demikian halnya dengan pengembangan ekowisata pesisir yang diklaim berkelanjutan, namun dalam praktiknya justru memicu privatisasi ruang dan penguatan kontrol investor atas wilayah kelola masyarakat.

Dampaknya sudah terlihat nyata. Eksploitasi sumber daya pesisir dan marjinalisasi masyarakat bukan hanya merusak ekosistem, tetapi juga menyiapkan krisis ekologis dan sosial jangka panjang. Kerusakan ini berimplikasi pada hak asasi manusia, khususnya hak atas pangan dan lingkungan hidup yang sehat.

Beberapa contoh empiris menunjukkan kompleksitas persoalan ini, seperti di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pembangunan kawasan wisata dan reklamasi pantai di Lombok Utara mengancam ekosistem pesisir dan akses nelayan, faktanya menunjukkan bahwa meskipun ada klaim ekowisata, masyarakat mengalami penurunan akses ke wilayah tangkapan tradisional.

Kasus Sumbawa, pertambangan di pesisir Nusa Tenggara Barat,  telah menyebabkan degradasi kualitas air dan sedimentasi yang merusak terumbu karang. Terindikasi  terdapat tumpang tindih kebijakan antara konservasi dan pertambangan memperparah kondisi ekosistem.

Kasus Raja Ampat, Papua Barat, sebagai kawasan dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, Raja Ampat menghadapi tekanan dari industri pariwisata masif, meskipun ekowisata mendatangkan pendapatan, distribusi manfaat cenderung timpang dan masyarakat lokal seringkali tereksklusi dari proses pengambilan keputusan. Sekarang tekanan pesisir di Kepulauan Raja Ampat diperparah oleh tambang nikel.

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa tanpa pendekatan ekoregional dan inklusi sosial, kebijakan pembangunan pesisir justru berpotensi melanggengkan kerusakan ekologis dan ketidakadilan.

Partisipasi publik tidak boleh hanya bersifat simbolis. Negara harus memastikan bahwa pengelolaan pesisir didasarkan pada prinsip keadilan ekologis dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat. Dalam konteks konstitusi, negara memiliki kewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan menjamin hak atas lingkungan hidup yang sehat serta pangan yang layak.

Oleh karena itu, pemerintah perlu menghentikan praktik pengabaian norma ekoregion dan eksklusi masyarakat lokal. Pembangunan pesisir harus dikembalikan pada khittahnya: bukan sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi menjaga keberlanjutan kehidupan dan menjamin manfaat yang adil bagi seluruh pihak, terutama masyarakat yang hidupnya bergantung pada ekosistem pesisir.

Sudah saatnya kita kembali menegaskan keadilan ekologis dan sosial dalam pembangunan pesisir. Pemerintah harus menghentikan praktik pengabaian norma ekoregion dan eksklusi masyarakat lokal. Pembangunan bukan hanya soal angka pertumbuhan ekonomi atau kemudahan perizinan, tetapi soal menjaga keberlanjutan kehidupan dan menjamin bahwa setiap kebijakan memberi manfaat nyata, berkeadilan, dan tidak merugikan rakyat. Ekosistem pesisir bukan sekadar aset ekonomi, tetapi bagian integral dari warisan kehidupan yang mesti dilindungi demi masa depan bangsa.

Regulasi / InstrumenIsi / Dampak UtamaAktor UtamaPeran / Kepentingan
UU No. 32/2024 tentang KonservasiMenetapkan zona konservasi laut dan pesisir, namun dengan pendekatan eksklusi yang membatasi akses nelayan tradisionalKLHK, Pemerintah Daerah, LSM konservasi internasionalMendorong konservasi berbasis kawasan, kadang tanpa partisipasi lokal
UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja diganti UU No 6/2023Menyederhanakan perizinan dan AMDAL, mempercepat pembangunan PSN termasuk di wilayah pesisirKementerian Investasi, BKPM, investor swastaMemfasilitasi investasi, seringkali mengabaikan dampak sosial-ekologis
Perpres tentang PSN (beragam)Menetapkan proyek strategis di wilayah pesisir, termasuk reklamasi, pelabuhan, dan pariwisataKementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, BUMNMendorong pembangunan infrastruktur skala besar
Skema Debt Swap for NaturePenukaran utang dengan komitmen konservasi, sering kali tanpa konsultasi lokalKemenkeu, donor internasional, NGO konservasi globalMenyasar kawasan pesisir sebagai “zona konservasi” untuk memenuhi komitmen utang
Program Ekowisata PesisirPengembangan wisata berbasis alam, namun sering menyebabkan privatisasi ruang pesisirKementerian Pariwisata, investor pariwisata, pengelola resortMengejar pendapatan wisata, berpotensi mengusir komunitas lokal
Penetapan MPA (Marine Protected Area)Pembatasan zona tangkap ikan, berdampak pada nelayan kecilDinas Kelautan dan Perikanan, NGO konservasiMenjaga biodiversitas, tapi sering tidak melibatkan nelayan dalam desain zona
UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau KecilMenyediakan kerangka pengelolaan berbasis masyarakat, namun implementasinya lemahPemerintah Daerah, masyarakat pesisirHarusnya melindungi hak akses dan partisipasi, tapi sering tidak dijalankan
UU No. 26/2007 tentang Penataan RuangMenekankan pendekatan ekoregion, namun sering diabaikan dalam PSNKementerian ATR/BPN, PemdaHarusnya menjadi dasar tata ruang berbasis ekologi
Regulasi dan Program yang Berdampak pada Kehidupan Masyarakat Pesisir

Comments

comments