Pengulas: Widhyanto Muttaqien
Tulisan ini hanya menjelaskan Bab 4 dan 8 karya David Mosse yang berisi laporan etnografis kritis tentang tantangan yang dihadapi oleh Proyek Pertanian Tadah Hujan Indo-Inggris (Indo-British Rainfed Farming Project/IBRP) dalam mengimplementasikan metode-metode Penilaian Pedesaan Partisipatoris (Participatory Rural Appraisal/PRA) pada masyarakat suku Bhil di India bagian barat. Melalui lensa dari sebuah pelaksanaan PRA yang gagal di desa Bharola, Mosse menginterogasi asumsi-asumsi yang mendasari pembangunan partisipatoris, mengungkap bagaimana dinamika kekuasaan lokal, ketidakpercayaan historis, dan praktik-praktik budaya membentuk – dan sering kali menumbangkan – intervensi dari luar.
Bab 4
Bab ini dibuka dengan narasi yang jelas mengenai upaya tim proyek untuk melakukan PRA di Bharola. Upaya tim digagalkan ketika penduduk desa memprioritaskan ritual spontan untuk dewi (mataji) daripada PRA yang telah direncanakan. Kejadian ini melambangkan ketegangan antara cita-cita teknokratis dan partisipatoris proyek dengan realitas kehidupan penduduk desa. Kedatangan sang dewi, yang ditafsirkan sebagai seruan reformasi moral (misalnya, tidak minum alkohol), menjadi alat bagi para pemimpin lokal untuk menentang proyek tersebut, yang dipicu oleh desas-desus tentang perampasan tanah dan ketidakpercayaan terhadap orang luar. Pengusiran tim menggarisbawahi kesenjangan antara retorika partisipatif dan kompleksitas sosial-budaya dari “masuknya orang asing ke desa.”
Mosse mengkritik gagasan bahwa PRA secara netral memperkuat suara lokal. Sebaliknya, ia menunjukkan bagaimana elit desa—seperti Patel (kepala desa) dan Sarpanch (kepala dewan terpilih)—mendominasi proses partisipatif. PRA, yang dilakukan di ruang publik dan dibingkai sebagai latihan membangun konsensus, sering kali menekan perbedaan pendapat dan meminggirkan kaum miskin. Misalnya, di Kalpura, PRA yang berhasil diatur oleh garis keturunan yang dominan, dengan mengesampingkan kelompok kekerabatan yang lebih kecil. Para elit membingkai ulang kepentingan pribadi (misalnya, irigasi untuk tanah di dasar lembah yang mereka kuasai) sebagai kebutuhan masyarakat, memanfaatkan PRA untuk mengonsolidasikan otoritas mereka.
Partisipasi perempuan terpinggirkan secara struktural. Norma budaya membatasi mobilitas dan suara mereka di ruang publik, sementara metode PRA (misalnya, pemetaan, bagan) selaras dengan ruang yang didominasi laki-laki. Bahkan ketika ada gagasan dari kelompk perempuan, kontribusi mereka disaring melalui prioritas laki-laki. Staf proyek perempuan berjuang untuk menjembatani kesenjangan ini, karena ketidakjelasan perempuan Bhil mencerminkan hierarki sosial dan ketidaksesuaian antara pengalaman hidup mereka dan perangkat formal PRA. Mosse menyoroti bagaimana kerangka kerja pembangunan sering kali gagal melibatkan pengetahuan praktis perempuan (misalnya, pemilihan benih, pengelolaan pakan ternak), sehingga membatasi peran mereka pada peran domestik.
Bab ini menantang pandangan PRA yang diromantisasi sebagai pemberdayaan. Sebaliknya, Mosse berpendapat bahwa metode partisipatif bersifat relasional —dibentuk oleh struktur kekuasaan yang ada alih-alih mengubahnya. PRA mengutamakan pengetahuan yang eksplisit dan terkodifikasi (misalnya, preferensi tanaman pangan pria) sambil mengabaikan keahlian praktis non-linguistik (misalnya, keterampilan agroekologi wanita). Alat-alat itu sendiri, seperti pemetaan sosial, menjadi strategi resmi yang melegitimasi agenda elit. Dengan demikian, partisipasi berisiko memperkuat ketimpangan alih-alih menghilangkannya.
Mosse juga menjelaskan ketika pengorganisir komunitas (CO) menavigasi identitas yang menegangkan sebagai orang luar. Untuk membangun kepercayaan, mereka menggunakan titik masuk (misalnya, uji coba tanaman pangan, kamp medis), yang sering kali memprioritaskan kemenangan yang terlihat dan cepat (quick win) daripada perubahan sistemik. Kegiatan-kegiatan ini, meskipun penting untuk legitimasi, secara tidak sengaja melayani kaum elit dan menciptakan ketergantungan. Upaya para CO untuk menargetkan kaum miskin menjadi rumit karena presentasi diri yang strategis dari penduduk desa (misalnya, rumah tangga kaya yang mengaku miskin) dan ketidakjelasan hierarki lokal.
Pengalaman historis suku Bhil ketika eksploitasi kolonial, pengasingan lahan hutan, dan peran rentenir predator—membentuk skeptisisme mereka terhadap orang luar. Ritual dewi di Bharola menjadi metafora untuk perlawanan terhadap agenda eksternal, yang mencerminkan “malaise” yang lebih dalam (dikutip Mosse dari Skaria 1999) di antara masyarakat yang terpinggirkan. Proyek-proyek pembangunan, yang dianggap sebagai perpanjangan dari kekuasaan negara atau perusahaan, memicu ketakutan akan perampasan, yang menggemakan trauma masa lalu.
Analisis Mosse menggarisbawahi apa yang disebut sebagai paradoks partisipasi, meskipun dimaksudkan untuk mendemokratisasi pembangunan, metode partisipatif sering kali mereproduksi ketidaksetaraan yang ada. Ia menyerukan pendekatan refleksif yang mengakui politik pengetahuan—mengakui bahwa “pengetahuan lokal” tidak netral atau monolitik, tetapi tertanam dalam hubungan kekuasaan. Praktik pembangunan yang efektif, menurutnya, memerlukan kerendahan hati, kesadaran sejarah, dan kemampuan beradaptasi untuk menavigasi realitas kehidupan perdesaan yang kadung berantakan.
Bab 8
Bab 8 dari buku ini fokus pada analisis alasan dan dinamika di balik kegagalan proyek-proyek bantuan, yang kontras dengan bab-bab sebelumnya yang membahas keberhasilan dan produksi sosial dari pencapaian pembangunan. Bab ini menantang pemahaman konvensional tentang bagaimana proyek-proyek pembangunan berfungsi dan bagaimana keberhasilan atau kegagalannya dibangun.
Kebijakan vs. Praktik adalah tema utama buku ini adalah disjungsi antara kebijakan yang ditulis dan pembangunan sebagaimana dipraktikkan. Proposisi-proposisi dalam bab ini memperkuat hal ini dengan menunjukkan bahwa keberhasilan dan kegagalan bukanlah hasil yang objektif, tetapi dihasilkan melalui interpretasi dan narasi peristiwa oleh berbagai aktor. Hal ini mencerminkan argumen yang lebih luas bahwa kebijakan pembangunan terutama berfungsi untuk melegitimasi dan mempertahankan dukungan politik daripada untuk memandu praktik yang sebenarnya.
Proyek-proyek pembangunan bekerja untuk mempertahankan diri mereka sendiri sebagai ide-ide kebijakan yang koheren atau sistem representasi, terlepas dari realitas di lapangan. Hal ini sejalan dengan kritik Mosse yang lebih luas bahwa wacana pembangunan sering kali menjadi tujuan itu sendiri, yang membentuk persepsi keberhasilan atau kegagalan lebih dari sekadar hasil empiris. Proyek pembangunan sering terjebak dalam ideologi developemtalisme walaupun menggunakan teknik-teknik partisipatif.
Tindakan individu yang terlibat dalam pembangunan tidak terlalu didorong oleh arahan kebijakan, tetapi lebih oleh tuntutan organisasi dan kebutuhan untuk menjaga hubungan, terutama ketika program dijalankan oleh sebuah organisasi pelaksana. Analisis kegagalan proyek menggambarkan bagaimana dinamika ini dapat mengesampingkan maksud teknis atau partisipatif. Mosse berpendapat bahwa proyek tidak hanya gagal; sebaliknya, proyek tersebut “gagal” karena jaringan dukungan dan validasi yang lebih luas. Keberhasilan dan kegagalan dengan demikian menjadi penilaian yang berorientasi pada kebijakan yang dapat mengaburkan dampak sebenarnya dari suatu proyek. Dengan mengungkap kesenjangan antara wacana kebijakan dan realitas yang dijalani. Bab ini melihat pemahaman yang lebih bernuansa etnografis tentang pembangunan—yang melampaui narasi yang sederhana dan didorong oleh selebritas serta mengakui kompleksitas dan kekacauan praktik pembangunan di dunia nyata.
Argumen Mosse yang lebih luas menjelaskan bahwa pembangunan tidak terlalu berkaitan dengan pencapaian teknis dari tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya, tetapi lebih berkaitan dengan negosiasi yang berkelanjutan tentang makna, legitimasi, dan hubungan di antara berbagai aktor. Perspektif ini menantang model pembangunan tradisional dan linier serta menyerukan pendekatan yang lebih kritis dan bernuansa untuk memahami kebijakan dan praktik bantuan.
Usulan dalam bab ini menantang pandangan tradisional tentang pembangunan dengan mempertanyakan pendekatan yang sempit, berfokus pada hasil, dan sering kali teknokratis yang telah mendominasi pemikiran pembangunan arus utama. Pandangan tradisional sering kali menyamakan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi, industrialisasi, atau pencapaian target terukur tertentu, seperti peningkatan Pertumbuhan Nasional Bruto atau pemenuhan kebutuhan dasar. Pendekatan ini cenderung memprioritaskan hasil agregat dan efisiensi, sering kali mengesampingkan pertanyaan tentang agensi, kebebasan, dan proses sosial yang membentuk hasil pembangunan.
Alih-alih memandang pembangunan hanya sebagai kemajuan ekonomi atau perbaikan material, Mosse (berdasarkan karya Sen) berpendapat bahwa pembangunan harus dipahami sebagai perluasan kebebasan substantif dan kemampuan manusia—apa yang dapat dilakukan dan menjadi manusia. Perspektif ini menegaskan bahwa pembangunan adalah tentang meningkatkan pilihan dan peluang nyata, bukan hanya menyediakan barang atau jasa. Sen, menekankan bahwa proses pengambilan keputusan dan peluang untuk mencapai hasil yang bernilai merupakan hal yang penting dalam pembangunan, menantang pendekatan yang memperlakukan orang sebagai penerima pasif daripada agen aktif dan mengkritik keyakinan bahwa perbaikan teknis atau manajemen yang lebih baik saja dapat menyelesaikan masalah pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan semacam itu sering mengabaikan realitas sosial yang lebih dalam dan bahkan dapat melemahkan kemampuan manusia jika tidak selaras dengan kebutuhan dan kebebasan lokal.

