Spiritualitas Alam: Renungan Tentang Masuk Ke dalam Dunia di Luar Diri Saya Sendiri
- 0 Comments
- 13 February 2023
Judul asli: Green Spirituality
Penulis: Veronika Ray
Penerjemah: Dra. Rita S.S.
Penyunting: Dr. Lyndon Saputra
Penerbit: Profesional Books, 1997, Jakarta
Buku ini saya diberikan oleh seorang kawan pada tahun 2003 di Perpustakaan Sinau di Kota Malang. Beberapa pegiat buku dulu sering membincang buku yang pernah mereka baca di kedai, Sebagian lagi menyumbang buku untuk dibaca yang lain. Veronika ray, penerbit buku ini sendiri adalah penulis buku-buku tentang meditasi seperti Moment to Reflect, Choosing Happiness, Design for Growth: Twelve Steps Program for Adult Children.
Buku di hadapan say aini berbentuk buku saku, dengan font 9, Times News Roman, dengan tulisan singkat berisi 500 kata per tulisan. Penulis secara piawai melakukan refleksi mendalam terhadap kehidupan. Dibagi menjadi empat bagian. Bagian 1: Renungan Tentang Diri Sendiri. Bagian 2: Renungan Tentang Diri Saya Sendiri dan Orang Lain. Bagian 3: Renungan Tentang Diri Saya Sendiri dan Masyarakat Saya. Bagian 4: Renungan Tentang Diri Saya Sendiri dan Bumi.
Dalam pendahulaun dikutip tulisan Henry David Thoreau, “Saya pikir jiwa saya pastilah berwarna hijau muda yang samar”.
Diyatakan bahwa Green Spirituality adalah pemaduan kesadran ekologis dan rohaniah, dimana semua di sekitar kita – mulai dari diri sendiri, orang lain, bumi, dan alam semesta merupakan penyataan suci dari energi ilahi. Penulis menyatakan, bahwa permasalahan pertama kita sering tidak menyatakan dalam diri kita ada ‘suci’, ‘ilahiah’, hal yang sama juga kita tidak akui terkandung di alam.
Bagian 1. Berkisah tentang bagaimana manusia memandang dirinya, yang seharusnya menjadi penyumbang kearifan dengan caranya masing-masing. Sebab setiap manusia adalah unik. Di setiap awal tulisan refleksi terdapat kata-kata penyemangat, semisal ‘Apa yang saya lakukan bergantung pada bagaimana saya melihat diri saya sendiri’, ‘Saya menyumbangkan sikap mental positif kepada kesadaran dunia’, ‘Saya memiliki tempat yang khusus di alam’ dan seterusnya. Bagian 1 ini membuka lapisan ego, sebagai manusia kita mengatur konsep tentang diri, yang dipengaruhi oleh prinsip realitas dan ditandai oleh kemampuan untuk menoleransi frustrasi. masing-masing manusia selain unik, indah, juga berharga. Ini yang mesti menjadi landasan ego. Dengan ego inilah kita membangun citra diri, ego ini juga yang menentukan keyakinan pada diri kita sebagai pemenang atau pecundang. Semua kata-kata dalam bagian satu ini mengharapkan kita menghargai, mensyukuri, diri kita sendiri, apa-adanya, sebagaimana adanya – berbagi, bertumbuh, dengan orang lain. Sebab ego kita bertujuan mencari persetujuan atas citra diri kita kepada orang lain. ‘Ekspresi luar saya mencerminkan diri batin saya yang sesungguhnya’ sehingga disarankan kita belajar menggunakan Bahasa verbal dengan tepat, sehingga diri kita bisa dikenal orang lain sesuai harapan kita. Walaupun pengasuhan sangat berpengaruh pada penggunaan kata-kata yang sering ke lontarkan kepada orang lain. Satu-satunya musuh kita adalah ketakutan, karena kita takut mengungkapkan siapa kita sebenarnya, apa yang kita inginkan, apa yang tidak kita sukai. pada akhirnya ketakutan akan menghambat kemajuan kita dan membuat kita merasa kesepian.
Bagian 2. Adalah renungan tentang diri saya dan orang lain. Hubungan dengan orang lain adalah Langkah pertama keluar dari diri sendiri dan masuk ke dalam dunia. Orang menilai kita dari apa yang keluar dari dalam diri kita. Senyuman yang kita berikan, kata yang penuh kasih, atau menahan kata-kata mengandung amarah secara sederhana memengaruhi orang lain dan kita akan membuat perbedaan yang kuat jika kita melakukan sebaliknya. bagian nyata dari diri kita dapat terkoneksi dengan orang lain hanya jika kita mendengarkan suara hati kita sendiri dan mendengar suara hati orang lain. Dan dari mana kita akan memulainya? Dengan mengasihi diri kita sendiri, yaitu menghargai, memnghormati, dan memelihara kecantikan dan keunikan yang ada dalam diri kita. Kita tidak boleh membahayakan orang lain, karena setiap orang seharusnya mendapatkan kesucian kita. Dan alam kita pelihara untuk kesejahteraan kita sendiri, dengan berempati kepada semua mahluk kita akan merasakan bahwa semesta mampu menyembuhkan luka-luka kita.
Bagian 3. Bagian ini menjelaskan bahwa kita adalah milik semua orang. Dikutip dari Robert Augros dan N Stanciu, penulis The New Biology: Discovering The Wisdom In Nature, ‘manusia yang baik adalah barang publik’. Sebagai mahluk sosial, kita terikat pada masyarakat – dan apapun yang kita lakukan baik itu membangun fisik, sekolah, masjid, gereja, jalan, sesuai dengan profesi kita adalah ‘membangun masyarakat’. Tanggung jawab kita dan keterlibatan kita dalam masyarakat meningkatkan citra diri kita – barang public seperti yang kita ketahui adalah barang dimana ada manfaat sosial yang dikandungnya, kita secara sadar mesti mengambil peran sesuai kapasitas kita. Citra diri kita, sekali lagi tidak bisa dilepaskan dari harmoni, di dalam diri kita tidak bisa mengatakan saya lebih baik, lebih benar, lebih dominan, terpisah dari orang lain. Dan orang lain yang berbeda dengan saya adalah salah. Kita mesti menghargai kehidupan orang lain, kehidupan masyarakat kita. Dan itu bisa dilaksanakan Ketika kita sudah ke luar dari diri kita dan masuk ke dalam orang lain, masuk ke dalam semesta. Ego yang sesungguhnya kecil itu sesungguhnya merupakan jaringan ego yang rumit, saling terhubung, dan harmonis. Dan tujuan hidup bersama adalah kebaikan bersama, sangatlah sederhana.
Bagian 4. Dimulai dengan segala sesuatu bertumbuh dan berkembang dalam siklus. Irama kehidupan secara alamiah akan berputar, hari, minggu, bulan, musim, semuanya siklus yang belum berakhir. Jika kita berpikir linier maka kita akan cepat frustasi, karena, misalnya Ketika kita jatuh – maka kita tidak berpikir bahwa ini saaat untuk bangkit, namun saat untuk terpuruk. Kita mesti menikmati setiap perjalanan hidup, mengalami, menghargai setiap likunya. Dan semesta mendukung jika kita berpikir bahwa saya bagian darinya. Saya bukanlah semata pemakai/pengguna dari bumi melainkan saya bertanggungjawab atasnya, saya hanya unsur dari bumi. Kita tidak bisa mengonsumsi bumi speerti dalam pasar swalayan, asala memiliki uang bisa kita beli, kita buang sesuka hati. Citra diri kita haruslah mengatakan bahwa kita bagian integral dari bumi, jika merusak bumi maka kita sesungguhnya sedang merusak diri kita sendiri. Dan bahwa kesadaran bahwa alam raya melingkupi diri kita dimanpun kita berada, adalah kualitas ilahiah yang dimaksud dalam buku ini.
Saya teringat Capra, yang mengingatkan berbagai krisis di dunia, dari krisis pangan, krisis energi, krisis Kesehatan dan krisis ekologi merupakan krisis ontologis pemikiran manusia itu sendiri (Fritjof Capra dalam The Turning Point: Science, Society, and Rising Culture, 1984) . Buku ini dalam perspektif Capra adalah ‘keberanian untuk mengada’ yang secara aktif hadir dan ada disini, saat ini (living in present moment). Ego kita yang disebutkan jejaring ego yang rumit adalah bersama-sama mencemplungkan diri kepada ‘kehadiran bersama’ saat ini, walaupun ada yang berusaha menampiknya, dalam buku ini disebut sebagai ego yang ketakutan, kita memanipulasi dan berharap itu tidak terjadi. Ini bagian dari strategi pertahanan, namun jika timbul permasalahan penolakan terus menerus terhadap hal yang terjadi pada kita – maka sesungguhnya kita berhenti mengada. Dan pada saat itu kita menjadi manusia yang tidak utuh lagi. Nah, persoalan keberanian mengada dalam buku ini sebenarnya laku, perbuatan, amal yang lebih sulit dari berfilsafat atau berteori tentang diri atau orang lain.
Pengulas: Widhyanto Muttaqien