oleh: widhyanto muttaqien
Membayangkan lurah, camat, walikota, sampai gubernur di DKI Jakarta mengalami pencerahan tentang lingkungan, terutama dalam mengurus sampah kota. Limbah kota, daur ulang air bisa dijadikan satu tempat. Misalnya daerah Utara Jakarta yang sedang mengalami reklamasi. Kumpulan cendikiawan, praktisi lingkungan, anak muda yang gemar menjadi relawan dapat diajak serta untuk mencari jalan keluar yang kreatif dalam pengelolaan sampah dan daur ulang air (limbah cair kota). Sebagai daerah tropis yang gampang memanen sinar matahari, teknologi ramah lingkungan dengan menggunakan ganggang sesungguhnya sangat murah dan aman, standar baku mutu air , kelangkaan air di utara Jakarta perlahan terpecahkan.
Gambar 1. Tempat Sampah kering dan sampah basah
Alternatif pulau reklamasi sebagai kawasan taman kota – bisa jadi taman lahan basah mangrove – ditambah dengan kawasan belajar teknologi, kawasan terbangun – terencana permukiman nelayan merupakan tantangan bagi Jakarta, yang memiliki alter city Meikarta yang digembar-gemborkan sebagai ‘modern’ (atau justru gated city seperti halnya daerah Pantai Indah Kapuk atau kawasan lain yang memiliki ciri komunitas berpagar yaitu kawasan permukiman yang memiliki ciri pengamanan lingkungan dalam bentuk fisik, seperti penggunaan portal, pagar keliling, satpam, dan kamera CCTV) .
Dalam iklannya Meikarta terus membuat cemas dengan asumsi komunitas berpagar yang memiliki orientasi seperti aspek prestise, sebagai media imaji untuk menaikkan status sosial. Kedua adalah aspek ekonomi, dimana dalam sudut pandang developer, kawasan eksklusif gated community dinilai akan mampu menaikkan nilai lahan dan mudah untuk dijual. Sedangkan yang terakhir adalah aspek keterpaksaan, dimana pembentengan ini memang kadang terpaksa dilakukan karena berada di kawasan kota yang sangat rawan kriminalitas. (lihat https://ridwankamil.wordpress.com/2008/10/02/arogansi-gated-community-di-kota-kita/ )
Kembali kepada harapan: agar aparat Pemda memiliki keinginan untuk peduli lingkungan dan kreatif dalam mengatasi masalah lingkungan kota, dibutuhkan penyebarluasan teknologi pengelolaan limbah yang telah dimiliki oleh lembaga penelitian, aktivis lingkungan, sehingga percontohan dan replikasi secepatnya dapat dikerjakan, sebab momentum seorang gubernur hanya lima tahun. Dibutuhkan keterampilan menyusun prioritas sesuai dengan harapan warga kota terhadap layanan publik. Pembuatan taman di kelurahan-kelurahan misalnya sudah dimulai sejak jaman Ali Sadikin dengan Gelanggang Olah Raga dan taman bermain di tiap kecamatan, dilanjutkan oleh gubernur berikutnya lewat artifak taman kota yang menjadi hits di jaman Ahok ketika menggandeng swasta dalam membuat Ruang Terbuka Hijau dan Anak. Swasta dengan strategi kehumasan selain mempromosikan kebaikan perusahaan juga berhasil dalam mengemas kampanye fungsi ruang publik. Paradoks memang – di sisi lain pengusaha yang merupakan penguasa lahan terbesar di Jakarta membangun komunitas berpagar yang membatasi publik dan membuat segregasi sosial.
Teknologi ramah lingungan yang cukup murah sudah banyak dikembangkan oleh masyarakat cinta lingkungan. Salah satunya pengelolaan limbah jelantah di DKI Jakarta yang dikembangkan di RT 11/03 kelurahan Jagakarsa yang didampingi oleh Konphalindo. Hasil pendampingan dan kampanye ini adalah Pergub No. 167 Tahun 2016, berbagai langkah kreatif lainnya terkait pengelolaan lingkungan yang baik, seperti Jakarta Berkebun, penguatan solidaritas warga dengan komunitas bentukan lain yang sevisi menjadikan warga kota yang tadinya anonim, tanpa wajah menjadi komunitas yang berdaya.
Gambar 2. Biodigester
Gambar 1. di atas adalah tempat sampah yang dipilah menjadi sampah kering dan sampah basah (tempat sampah basah dihilangkan) digantikan dengan biodigester atau tempat pengolahan pupuk cair, sehingga sampah basah di level komunitas tidak lagi dibuang ke dalam kontainer yang akan membutuhkan ‘ruang penampungan’ sementara atau akhir’. Muaranya menjadi permasalahan kota yang ‘tidak terselesaikan’.
Dengan mengolah sampah di tingkat komunitas seperti ini, yang sudah mendapatkan payung hukum dalam Perda Sampah No. 3 Tahun 2013, sesungguhnya setiap kelurahan bisa mengangggarkan dalam APDD Kelurahan setiap tahun. Sehingga perlahan permasalahan sampah, limbah cair, baku mutu air bersih, dapat diselesaikan dengan peran warga – bukankah ini, solidaritas warga kota yang diimpikan untuk membuat Jakarta maju dan bahagia. Jakarta dengan cinta yang menggebu.
When I’m feeling blue, all I have to do
Is take a look at you, then I’m not so blue
Anytime you want to you can turn me onto
Anything you want to, anytime at all
(Groovy Kind Of Love – Phil Collins)