tirto.id – Di Brighton, Inggris, ada sebuah restoran bernama Silo. Ia berbeda dari restoran kebanyakan. Piring-piringnya terbuat dari tas plastik yang didaur ulang. Minuman disajikan dalam gelas bekas selai. Air untuk membersihkan jambannya berasal dari limbah mesin kopi. Bukti pembayaran pun tak dicetak di atas kertas, melainkan dikirim lewat surat elektronik.
Sebagai sebuah restoran, Silo tampak berupaya untuk tak berkontribusi memperbesar angka limbah makanan. Ia menjadi restoran pertama di Inggris yang hadir dengan konsep restoran tanpa sampah atauzero waste restaurant.
Si pemilik restoran yang juga seorang juru masak bernama Douglas McMaster dan baru berusia 29 tahun, tak hanya menyiapkan konsep di tataran hilir, tetapi juga hulu. Artinya, ia tak hanya berusaha mengolah limbah yang ada, tetapi juga sebisa mungkin meminimalkan limbah itu.
Ini bisa dilihat dari menu restoran yang bisa dikatakan tak banyak pilihan. Dalam situs resmi restoran, hanya terpampang delapan pilihan menu makanan. Itu pun empat menunya adalah menu vegetarian.
Menurut Douglas, menu yang sedikit berarti sampah yang sedikit. Restoran yang memiliki menu sebanyak 40 atau lebih, katanya, harus menyiapkan bahan makanan untuk seluruh menu. Namun, belum tentu seluruh menu itu dipesan oleh pelanggan. Bahan makanan yang belum tentu terpakai itu adalah potensi sampah.
Selain karena alasan sampah, Douglas juga menyinggung soal penurunan kualitas bahan makanan. Semakin lama bahan makanan disimpan, semakin menurun kualitasnya.
Silo memiliki pabrik tepung sendiri untuk membuat roti. Ia juga memproses minuman keras sendiri, dan mendaur ulang semua limbah makanan. Untuk kebutuhkan listrik, restoran ini juga mengandalkan tenaga surya.
“Silo didirikan dari sebuah keinginan untuk menginovasi industri makanan yang menghormati lingkungan dan menghargai makanan,” tulis Douglas dalam situs resmi Silo. Limbah makanan yang dihasilkan Silo, diolah menjadi kompos dengan mesin pengolah sendiri. Douglas juga mengizinkan tetangganya—baik rumah tangga maupun komersial—untuk menggunakan mesin itu.
Silo menginspirasi banyak restoran di Inggris. Kini ia tak sendiri, beberapa restoran yang mengusung visi serupa hadir. Tiny Leaf di london, salah satunya.
Di Indonesia, mimpi memiliki restoran tanpa limbah tampaknya masih jauh. Di Depok, ada sebuah gerakan yang mendorong hal itu terjadi. Sebuah perkumpulan bernama Creata menginisiasi gerakan Zero Waste Resto. Creata adalah singkatan untuk Center for Research on Environment, Appropriate Technology and Advocacy.
Gerakan yang diusung Creata ini mendorong pemilik usaha hotel, restoran, dan kafe di Depok untuk menerapkan konsep restoran tanpa limbah. Ke depan, ia punya visi adanya regulasi dari pemerintah yang mengatur tentang restoran tanpa limbah ini, bukan hanya di pengelolaan sampah, tetapi juga aksi-aksi dari restoran untuk mengurangi jumlah makanan yang terbuang.
Namun, sejauh ini, gerakan itu masih berkutat di tataran pengolahan limbah masakan, sebab gerakan ini memang masih baru. Ia belum masuk terlalu jauh sampai ke pembuatan menu, atau penggunaan produk daur ulang untuk perlengkapan hingga dekorasi. Gerakan ini juga belum bisa mengintervensi porsi makanan yang seringkali terlalu besar dan berpotensi menjadi limbah.
Meski begitu, apa yang dilakukan Creata harus diapresiasi. Sebab tidak mudah memang melakukan persuasi kepada begitu banyak restoran, terlebih jika pemiliknya tak memiliki kepedualian akan lingkungan. Creata sendiri baru berdiri selama setahun, meskipun orang-orang yang berkutat di dalamnya telah lama berkecimpung di dunia pengolahan limbah.
Dari hasil riset awal yang dilakukan tim Creata, jumlah restoran yang melakukan pemilahan sampah saja masih sedikit. Ini masih di tataran pemilahan, belum pengolahan. “Memang perlu upaya lebih keras untuk meyakinkan seluruh restoran dan elemen masyarakat di Depok,” kata Rakhmawati dari Perkumpulan Creata.
Dia menjelaskan, konsep zero waste resto sebenarnya terdiri dari empat aspek utama. Pertama, bahan makanan harus berasal dari sumber yang memenuhi standar lingkungan. Lalu, pemilik restoran juga harus memperhatikan aspek kandungan gizi dari makanan yang disajikan. Ketiga, melakukan pemilahan dan pengolahan sampah dan sisa aktivitas memasak, seperti minyak jelantah.
Terakhir adalah mengumpulkan sisa makanan yang seharusnya masih bisa dikonsumsi dan memanfaatkannya untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan.
Jika seluruh sisa makanan di restoran, di rumah-rumah, di resepsi pernikahan, di supermarket seluruh dunia dikumpulkan selama setahun, beratnya mencapai 1,3 miliar ton. Harga seluruh makanan yang terbuang ini menyentuh angka $1 triliun.
Menurut Barilla Center for Food and Nutrition (BCFN), seperempat dari total makanan yang terbuang ini bisa memenuhi seluruh kebutuhan makanan 800 juta orang yang kelaparan. Ya, hanya seperempatnya saja.
Riccardo Valentini, seorang profesor di Universitas Della Tuscia yang juga merupakan dewan penasehat BCFN mengatakan perubahan iklim akan membuat harga bahan makanan di dunia melonjak. Kisaran lonjakannya bisa mencapai 84 persen pada 2050 nanti. Ini dikarenakan panen-panen akan terganggu sebab cuaca yang kian yang menentu.
Sialnya, perubahan iklim ini juga salah satunya disebabkan oleh limbah-limbah makanan. Seandainya limbah makanan di seluruh dunia yang dikumpulkan itu adalah sebuah negara, ia akan menjadi negara penghasil karbon dioksida terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat dan Cina. Menurut BCFN, limbah-limbah ini akan mengeluarkan 3,3 miliar ton karbon dioksida dan mempercepat perubahan iklim.
“limbah makanan berdampak negatif pada lingkungan, ekonomi, ketahanan pangan, dan nutrisi,” kata Ludovica Principato, peneliti di Yayasan BCFN.
Gerakan yang dilakukan Creata, jika berhasil, akan membantu mengurangi angka limbah makanan di dunia, meski mungkin hanya sedikit. Tetapi gerakan itu masih akan melewati jalan panjang, dan tentu akan berliku.
https://tirto.id/20160910-42/mewujudkan-mimpi-restoran-bebas-sampah-325508